Oleh Bianca Miglioretto
“Yang aku suka dari World Social Forum adalah bahwa forum ini membawa dunia kepadaku sebagai seorang wanita miskin—dan bukan sekadar dunia tetapi apa yang terbaik dari dunia.”
Begitulah Rangoy Matia dari Parlemen Rakyat Kenya menggambarkan World Sosial Forum (WSF). Ironisnya, dia adalah salah satu dari banyak orang Kenya yang ditolak masuk ke forum tersebut karena tidak bisa membayar bea masuk seharga 7 dollar Amerika.
Kurang lebih 66.000 wanita dan pria menghadiri WSF tahun ini, yang diselenggarakan dari tanggal 20 sampai 25 Januari 2007 di Nairobi. 1.400 organisasi dari 110 negara dihadirkan, 750 jurnalis dan 1.130 sukarelawan dilibatkan demi suksesnya forum tersebut. Para peserta bisa memilih di antara 1.200 aktivitas, seminar, diskusi, dan lokakarya mengenai isu-isu seperti air, hak perempuan, hak pertanahan, alternatif-alternatif ekonomi, hak pekerja, hak berkomunikasi, hak asasi manusia, konflik bersenjata dan pembangunan perdamaian, keragaman seksual, pengentasan kemiskinan, mutilasi kelamin perempuan, pembangunan masyarakat sipil,dan masih banyak lagi.
Stadium olahraga di manaWSF diselenggarakan menjadi ruang untuk saling berbagi pengalaman, saling belajar satu sama lain tentang dampak-dampak neoliberalisme, imperialisme, patriarki, dan fundamentalisme di negara-negara lain. Di sini orang-orang menyadari bahwa mereka tidak sendiri dalam berjuang melawan berbagai bentuk ketidak adilan seperti dilanggarnya hak-hak wanita di hampir semua negara, pembatasan kebebasan berekspresi dengan menekan keberadaan radio komunitas. Ini adalah ruang di mana solidaritas diekspresikan dan jejaring dibentuk untuk bekerja sama melawan musuh-musuh yang sama. Dua jejaring internasional yang baru dibentuk adalah Jejaring Keadilan Pajak untuk Afrika (The Tax Justice Network for Africa), yang bergerak di seputar capital flight illegal dan penghapusan pajak dan Jejaring Air Afrika (African Water Network) yang menentang privatisasi sumber daya air.
AMARC, Asosiasi Penyiaran Komunitas Dunia hadir dengan sebuah tim terdiri atas 20 aktivis dari Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin. Mereka meliput WSF dengan 10 bahasa di antaranya bahasa Inggris, Gujarat, Nepali, dan Indonesia. Laporan mereka bisa dilihat di www.amarc.org. Sangat diharapkan masing-masing peserta radio komunitas yang ikut akan menyiarkan ulang liputannya di jaringan radio komunitas di masing-masing negara.
Jika dibandingkan dengan WSF di Mumbai (2003) atau Puerto Alegre (2005),jumlah peserta di Nairobi hanya setengahnya. Forum tersebut juga kurang menggairahkan, militan,dan meriah. Bila WSF di Mumbai ditandai dengan pertemuan-pertemuan permanen oleh sebagian besar peserta dari India, WSF di Puerto Alegre ditandai dengan pertemuan-pertemuan besar di kota dengan peserta mencapai 100.000 orang yang kebanyakan dihadiri oleh peserta lokal.Tidak demikian di Nairobi.
Pertemuan terbesar selama forum ini adalah pertemuan wanita di seputar stadion. Selebihnya yang lebih menonjol adalah suasana pasar penjualan cinderamata Kenya serta makanan dan minuman dengan harga melonjak hingga dua sampai empat kali lipat dari harga biasa di Nairobi.
Biasanya, setiap WSF ditandai dengan budaya perjuangan politik dari peserta lokalnya. Pengaruh lokal ini hilang di Nairobi. Organisasi-organisasi akar rumput Kenya tidak hadir. Seorang peserta yang ditolak mengatakan,”WSF ini berlangsung di Kenya tetapi orang Kenya yang jadi peserta kurang dari 10%. Seharusnya tidak seperti ini.”
Menanggapi kondisi forum ini, diadakanlah Pertemuan Gerakan Sosial pada tanggal 24 Januari 2007 di mana para peserta dapat melontarkan kritik dan keresahannya. Kemudian dari pertemuan tersebut lahirlah sebuah protes resmi yang menyatakan bahwa WSF 2007 cenderung mengarah ke komersialisasi, privatisasi, dan militerisasi. Sebagian peserta juga mengritik kehadiran organisasi-organisasi yang justru menentang hak-hak wanita dan orang-orang terpinggirkan. Ditegaskan kembali bahwa WSF adalah ruang terbuka bagi semua orang dan gerakan sosial tanpa memandang kemampuan bayar mereka.
Protes tersebut tidak berhenti pada pernyataan resmi saja, tetapi hampir setiap pagi masyarakat akar rumput Kenya dari permukiman-permukiman kumuh di Nairobi memblokade pintu-pintu ke forum, meminta masuk secara gratis. Mereka menerima banyak dukungan dari para peserta internasional, sehingga setiap hari diwarnai dengan perjuangan untuk bisa memasukkan beberapa dari mereka. Pagi hari, tanggal 24 Januari, restoran tenda yang paling mahal di WSF diambil alih oleh masyarakat miskin kota dari Nairobi dengan bantuan para peserta internasional. Karyawan-karyawan restoran tersebut dipaksa untuk mendistribusikan makanan kepada anak-anak dari masyarakat miskin kota yang mengantri. Restoran tersebut ternyata milik Menteri Dalam Negeri. Ia menawarkan pengamanan gratis dengan mengerahkan kendaraan lapis baja dan tentara-tentara bersenjata. Dan sebagai gantinya ia mendapatkan izin untuk membuka restoran. Seorang pemuda yang terlibat pengambilalihan restoran tersebut mengatakan, “Seharusnya orang-orang Kenya miskin yang berjualan makanan di sini dengan harga yang bisa dijangkau dan bukan perusahaan-perusahaan komersial. Situasi ini menguntungkan bagi sang menteri tetapi merugikan bagi kaum miskin!” Hal ini sangat berbeda dengan WSF di Mumbai yang seluruh produknya adalah produk dari organisasi-organisasi dagang yang adil.
Stadion Kasarani di manaWSF diselenggarakan berada di luar kota dan masyarakat miskin tidak bisa mengusahakan transportasi ke sana, apalagi biaya masuknya. Akhirnya Parlemen Rakyat Kenya mengadakan sebuah forum di pusat kota di mana komunitas-komunitas miskin kota dapat mendiskusikan isu-isu yang sama seperti di WSF. Lalu pada Pertemuan Gerakan Sosial mereka memresentasikan hasil-hasil diskusi mereka seperti persoalan masyarakat termiskin di Kenya, upaya untuk memperoleh visa migrasi ke negara lain,juga mengenai akses masyarakat miskin untuk menghadiri WSF. Salah satu permintaan paling penting dari Parlemen Rakyat tersebut adalah perjuangan untuk memperoleh perumahan yang layak harus menjadi bagian integral dari WSF. Perjuangan ini juga harus dilakukan bersama-sama dengan orang-orang yang tidak mempunyai
lingkungan hidup yang layak.
WSF di Nairobi memang jauh dari sempurna. Untuk kemudian hari panitiaWSF harus melakukan perubahan agar ajang ini tetap berbasis pada masyarakat akar rumput.WSF adalah ajang bagi masyarakat akar rumput untuk melontarkan kritik serta memperdebatkannya.Jangan sampai ajang ini menjadi eksklusif yang hanya dihadiri oleh mereka yang mengatasnamakan kaum miskin.
(Bianca Miglioretto, Isis International-Manila dan AMARC WIN Asia Pacific)