Oleh: Budi Rahardjo
1. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi, dan Internet khususnya, telah menciptakan beberapa “produk” baru. Paling tidak, ada istilah-istilah baru yang mulai muncul seperti electronic commerce atau e-commerce, eBook, e-learning dan sejumlah kata dengan awalan e-. Selain kata-kata yang berawalan e-, muncul juga istilah yang menggunakan kata cyber, seperti cyberlaw dan cyber university.
Tulisan ini akan bercerita sedikit mengenai cyber university. Kata cyber sendiri muncul dari kata cybernetics1, yang mana dia menjelaskan sebuah cara untuk mengendalikan (robot) dari jarak jauh. Jadi kata cyber memberikan konotasi “pengendalian” dan “jarak jauh”.
Konsep cyber university terkait dengan hal lain seperti distance learning, cyber campus, virtual university, e-education, e-classes dan bentuk kelas jarak jauh lainnya yang memberikan gelar (degree) kepada pesertanya. Cyber university menggunakan komputer dan jaringan komputer (Internet, LAN, WAN) untuk melaksanakan kegiatan atau fungsinya. Dalam sebuah cyber
university ada:
- Koleksi materi dalam format digital (silabus, buku teks, materi kuliah, pekerjaan rumah, latihan, ujian, bacaan referensi lainnya, eBooks)
- Bulletin / discussion board untuk diskusi secara asinkron (dimana orang tidak harus ada atau hadir pada saat yang sama)
- Chat room untuk melakukan diskusi secara real time (mode sinkron dimana orang yang hadirlah yang dapat berdiskusi)
- Cyber/virtual class
1.1 Cyber University di Luar Negeri
Di luar negeri, konsep kuliah jarak jauh sudah lama diterapkan dengan adanya program korespondensi. Mahasiswa dapat mengikuti program ini melalui surat konvensional. Penggunaan teknologi informasi dan Internet merupakan kelanjutan logis dari kuliah jarak jauh konvensional.
Cyber university berbeda dengan program korespondensi. Pada program cyber university, interaksi dan aktivitas bersama (collaboration) lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan program korespondensi konvensional yang cenderung self pace. Untuk itu perlu ada perubahan (adjustment) pendekatan karena dia tidak langsung merupakan lanjutan yang linier dari program kulai jarak jauh korespondensi.
1.2 Cyber University di Indonesia?
Di Indonesia sudah ada Universitas Terbuka (UT) yang menyelenggarakan program jarak jauh. Namun saya belum mengetahui kesuksesan (dan permasalahan) dari program UT ini. Jika pelaksanaan kuliah jarak jauh UT ini masih mengalami masalah, maka dapat diprediksi bahwa cyber university pun akan mengalami masalah. Sebelum kita “berlari” dengan cyber university, kita harus belajar “merangkak” dengan kuliah jarak jauh ini.
Ada beberapa permasalahan pendidikan di Indonesia yang berbeda dengan negara lain. Salah satu masalah yang besar adalah “kegilaan” kita terhadap gelar sehingga cara apapun ditempuh untuk mendapatkan gelar. Termasuk dalam cara tersebut adalah jual beli gelar. Ditakutkan bahwa cyber university ini hanya akan menjadi tempat jual beli gelar saja.
Banyak orang yang masih skeptis dengan cyber university di Indonesia. Kualitas pendidikan konvensional dengan tatap muka saja masih rendah, apalagi jika pendidikan dilakukan dari jarak jauh tanpa tatap muka. Mahasiswa pada universitas konvensional masih menghadapi kesulitan untuk menyerap ilmu.
Apakah ini dikarenakan dosen pada universitas yang bersangkutan tidak pandai menjelaskan? Jika memang demikian, mungkin cyber university dapat membantu dengan memberikan pilihan atua memberikan suplemen dosen. Ataukah mahasiswa yang malas untuk berusaha dan belum dewasa dalam mengatur cara belajarnya (waktu belajar)? Jika ini masalahnya, maka cyber university tidak memecahkan masalah dan bahkan akan memperburuk situasi.
Inti utama dari semuanya ini adalah adanya kekhawatiran bahwa cyber university ini tidak membawa manfaat malah menambah masalah. Kendala-kendala implementasi cyber university di Indonesia yang lebih rinci akan dibahas pada bagian yang terpisah.
2. Analogi Dunia Pendidikan dengan Dunia Musik
Untuk mencoba lebih mengerti tentang permasalahan yang akan terjadi dengan cyber university atau “pendidikan digital”, saya ingin mencoba menganalogikan dunia pendidikan dengan dunia musik. Analogi ini saya ambil karena ada beberapa persamaan, seperti misalnya materi musik dan materi pendidikan dapat dibuat dalam format digital dengan cara di-digital-kan (digitalized), atau persamaan dalam live show musik dan kuliah tatap muka. Banyak hal yang dapat dipelajari dari analogi ini. Untuk itu mohon bersabar jika saya berpanjang lebar dalam menjelaskan hal ini.
2.1 Masa sebelum ada alat perekam
Sebelum alat perekam suara (audio) ditemukan, musisi harus memainkan musik secara live dan langsung ditonton oleh penonton / pendengar. Kualitas dari musik yang dimainkan bergantung kepada kualitas musiknya. Meskipun komposisi musiknya bagus akan tetapi jika dimainkan oleh musisi yang kurang baik, maka hasilnya menjadi buruk. (Demikian pula dengan dosen yang tidak mampu mengajar dengan baik meskipun bahan ajar sudah disusun dengan baik.)
Penyajian musik secara live ini memiliki banyak kendala, antara lain:
- Waktu yang terbatas (tertentu) bergantung kepada waktu show (mode sinkron).
- Jarak yang dapat dijangkau terbatas kepada batasan geografis (musisi dapat mengadakan tour atau road show tapi masih dalam batas geografis yang dapat dijangkau pada waktu yang tidak terlalu lama, penonton dapat datang dari tempat yang jauh).
- Mahal (penonton yang datang dari jarak jauh harus menginap/indekos, road show harus membawa rombongan).
- Terbatasnya jumlah penonton.
- Pilihan terbatas kepada pemusik lokal.
2.2 Masa Setelah Muncul Alat Perekam
Munculnya alat perekam memungkinkan musisi untuk merekam karyanya dan mendistribusikan (termasuk menjual) hasil rekaman tersebut ke banyak orang. Rekaman musik membuka mode baru untuk menikmati musik:
- Musik dapat dinikmati kapan saja dan dimana saja (mode asinkron).
- Biaya lebih murah dibandingkan live show.
- Jangkauan pendengar lebih banyak (tidak ada batasan fisik).
- Pilihan materi lebih banyak (tidak hanya materi lokal).
Industri musik pun mulai tumbuh. (Perjalanan yang sama akan dialami oleh dunia pendidikan setelah muncul cara untuk melakukan “rekaman kuliah” yang murah dan mudah.)
2.3 Perkembangan Teknologi Rekaman
Di sisi teknologi untuk melakukan rekaman musik terjadi perkembangan. Pada mulanya teknologi rekaman ditandai dengan rekaman analog seperti penggunaan reel tape, piringan hitam records, 8-tracks, dan kaset. Perkembangan teknologi ini juga menekan harga sehingga banyak orang yang mampu membeli rekaman musik. Jika jaman dahulu tidak banyak orang yang memiliki piringan hitam, maka saat ini kaset ada dimana-mana dan bahkan dijual di pinggir jalan.
Kemudian teknologi digital mulai muncul dan menyediakan media lain seperti CD, VCD, DVD, dan (solid state) memory. Teknologi digital membuat kualitas suara menjadi lebih mudah dipertahankan. Kualitas CD yang diputar berulang-ulang tidak menurun, sementara kaset yang diputar berkalikali lama kelamaan akan menjadi aus dan menurun kualitasnya. Teknologi digital ini juga membuat duplikasi media menjadi sangat mudah tanpa menurunkan kualitas rekaman dan aslinya. Akibatnya biaya produksi dapat ditekan lebih murah lagi sehingga dapat terjangkau oleh semua orang.
Materi pendidikan dalam bentuk digital akan menjadi murah dan dapat dimiliki oleh semua orang. Pilihan materi juga akan menjadi banyak. Kemudahan yang diberikan oleh teknologi digital ini juga menimbulkan masalah baru yaitu pembajakan. Pola-pola bisnis baru seperti peer-to-peer networking dengan Napster sebagai tokohnya muncul dan mengganggu pola bisnis lama. “Rekaman pendidikan” dalam bentuk digital akan mengalami masalah yang sama, yaitu adanya saling sharring antara pengguna.
Selain muncul dalam bentuk suara (audio) saja, muncul juga penampilan musik dalam bentuk video. MTV yang digemari oleh para remaja merupakan salah satu bukti keunggulan video musik. Bahkan pernah sempat ditakutkan bahwa “video kills radio star”. Namun ternyata keduanya tetap dapat hidup bersama.
Di Indonesia sendiri, pada mulanya industri rekaman lebih banyak didominasi oleh lagi-lagu Barat. Dalam pekembangannya muncul lagu-lagu Indonesia dan tumbuhlah industri musik Indonesia. (Materi e-learning hampir semuanya berasal dari luar negeri. Suatu saat akan muncul materi-materi dari Indonesia sebagaimana munculnya lagu-lagu Indonesia.)
2.4. Live Versus Rekaman
Dunia musik didominasi oleh penjualan kaset, CD, VCD, dan DVD. Berapa kali anda menonton live show dari sebuah group / artis? Sebagian besar akan mengatakan jarang. Atau bahkan ada yang belum pernah pergi ke live show. Namun hampir sebagian besar (bahkan semua?) dari kita pernah memiliki kaset (atau CD, VCD, DVD). Padahal live show lebih bagus daripada rekaman. Orang masih tetap akan suka terhadap live show dan masih mau membayar mahal untuk menyaksikannya. Bahkan saya masih membayangkan orang lebih suka pergi ke pertunjukan opera daripada menyaksikan rekaman opera.
Demikian pula dengan dunia pendidikan. Nantinya akan banyak materi “rekaman” kuliah yang beredar. Bahkan mungkin sebagian besar bisa didominasi oleh materi rekaman. Namun orang masih juga ingin pergi ke kuliah live dengan seorang dosen mengajar di depan papan tulis.
2.5 Dunia Pendidikan Digital
Dunia pendidikan (digital) akan mengalami perjalan yang mirip dengan dunia musik. Secara umum dunia ini dimulai dengan live teaching dengan permasalahan yang sama dengan live show seperti biaya yang mahal, jangkauan pendidikan yang terbatas, terbatasnya jam kuliah, sulit mendapatkan materi (guru) yang berkualitas. Mau tidak mau, akan muncul “industri rekaman pendidikan”.
3. Peran Teknologi Informasi dalam Cyber University
Teknologi informasi beserta dengan teknologi komputer dan telekomunikasi merupakan pendukung terciptanya cyber university.
3.1 Komputer
Kemampuan komputasi (computing power) dari komputer meningkat dua (2) kali lipat setiap delapan belas (18) bulan sesuai dengan hukum Moore. Prosesor Intel Pentium IV sudah memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk keperluan cyber university. Harganya pun sudah dapat dikatakan tidak terlalu mahal. Kemampuan ini akan terus meningkat dengan adanya miniaturisasi komponen dengan adanya nanotechnology. Dengan kata lain, teknologi sudah siap dan menanti untuk aplikasi.
3.2 Perangkat Pengakses Informasi
Perangkat pengakses informasi sudah tidak dibatasi lagi oleh komputer desktop. Laptop mulai hilang digantikan dengan notebook yang tipis dan ringan. Muncul juga perangkat Personal Digital Assistant (PDA) atau palm top yang dapat digenggam yang dapat mengakses informasi seperti layaknya sebuah komputer biasa. Belum lagi perangkat cellphone atau handphone yang juga mulai populer (dan sangat murah). Perangkat pengakses informasi sudah tersedia dan siap digunakan. Ketiga teknologi tersebut sering disingkat menjadi ICT (Information, Computer, and Telecommunication).
3.3 Penyimpanan Data
Teknologi penyimpanan data (storage) juga meningkat sehingga memungkinkan penyimpanan data dalam jumlah yang besar ke dalam sebuah perangkat dalam ukuran kecil. Harddisk saat ini berukuran MegaBytes (MB). Bahkan storage dalam ukuran TerraBytes (TB) juga sudah lazim digunakan pada data center. Storage besar ini memungkinkan kita menyimpan materi digital dari “rekaman kuliah”. Tidak ada lagi alasan kekurangan tempat penyimpanan.
3.4 Jaringan (Komputer)
Jaringan komputer atau networking mulai ada dimana-mana (ubiquitous). Perguruan tinggi mulai dilengkapi dengan Local Area Network (LAN) dan terhubung ke Internet. Akses Internet mulai banyak didapati di rumahrumah, kantor, dan warnet. Harga akses ke Internet pun mulai terjangkau.
3.5 e-Books dan Perpustakaan Digital
Materi tulisan dalam bentuk digital mulai muncul dalam bentuk eBooks. Pembaca eBook dalam bentuk hardware dan software mulai banyak tersedia. Buku-buku sudah dapat dibaca dalam bentuk elektronik. Bahkan sudah ada perpustakaan digital yang menyediakan buku untuk dipinjam dengan pembaca eBook melalaui jaringan komputer. Topik ini menjadi pembahasan Sendiri.
4. Kendala Penerapan Cyber University di Indonesia
Ada beberapa kendala dalam penerapan atau implementasi cyber university di Indonesia.
- Kurangnya ketersediaan materi pengajaran dalam Bahasa Indonesia. Inisiatif beberapa cyber university di Indonesia lebih banyak menggunakan materi dari luar negeri. Bahkan ada cyber university yang sebenarnya hanya outlet bagi perguruan tinggi di luar negeri. Masih perlu inisiatif-inisiatif untuk membuat materi pengajaran dalam bentuk digital.
- Kurangnya kemampuan berbahasa Inggris. Karena materi dalam bahasa Indonesia belum banyak, terpaksa kita akan banyak menggunakan materi dalam bahasa Inggris (seperti halnya penggunaan buku teks berbahasa Inggris yang saat ini kita lakukan). Untuk itu pemahaman bahasa Inggris merupakan salah satu kebutuhan. Mahasiswa diharapkan dapat mengerti bahasa Inggris.
- Akses Internet belum merata dan masih relatif mahal di beberapa tempat. Meskipun trend yang adalah adalah akses Internet mulai menyebar dengan harga yang mulai murah, namun pada kenyataannya masih banyak tempat di Indonesia yang belum memiliki saluran telepon. Bahkan beberapa tempat di Indonesia masih belum miliki listrik.
- Guru, dosen, atau staf pengajar belum siap. Bila pengajar belum siap, maka proses penyampaian materi kuliah akan terhambat. Masalah ini diharapkan dapat berangsur-angsur terselesaikan. Namun masalah ini tidak dapat hilang begitu saja tanpa ada usaha untuk menghilangkannya. Untuk itu perlu ada upaya untuk meningkatkan kemampuan guru, dosen, atau staf pengajar.
- Proses belajar cara baru ini membutuhkan waktu untuk belajar. Ada learning process yang harus dilalui.
- Perijinan. Siapa saja yang berhak menyelenggarakan cyber university? Hal ini terkait dengan standar mutu. Pemerintah akan menerapkan standar untuk menjaga mutu dari lulusan cyber university ini sehingga diperkirakan akan banyak “hambatan” di sisi perijinan.
5. Ancaman atau Kesempatan
Cyber university dapat menjadi ancaman (threat) atau kesempatan (opportunity) bagi perguruan tinggi di Indonesia. Jika tidak siap, maka cyber university ini dapat menjadi ancaman. Perguruan tinggi dari tempat lain (dan bahkan dari luar negeri) dapat datang ke tempat anda dan mengambil mahasiswa setempat. Hal ini merupakan ancaman berat bagi perguruan tinggi setempat.
Namun untuk terjun langsung mengimplementasikan cyber university tidak mudah. Untuk itu fenomena cyber university ini perlu dicermati. Paling tidak, cyber university dapat dimulai dengan sharring resources dari beberapa universitas. Materi pengajaran dapat dikembangkan bersamasama untuk mengurangi beban biaya. Kualitas dari perguruan tinggi masingmasing dapat ditingkatkan bersama-sama dengan mengambil pelajaran terbaik.
6. Penutup
Suka atau tidak suka, fenomena cyber university ini sudah muncul. Ada dampak positif dan negatif dari fenomena ini. Hal ini harus kita cermati bersama-sama. Jangan sampai cyber university lebih banyak menghasilkan masalah dibandingkan dengan manfaat. Misalnya, jangan sampai cyber university ini dijadikan tempat jual beli gelar. Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan wawasan terhadap fenomena cyber university.
Tautan Sumber:
http://duniaperpustakaan.blogdetik.com/2009/11/15/cyber-university-teknologi-informasi-dan-perguruan-tinggi-di-indonesia/