Oleh Ari
Sejak lima tahun yang lalu, warga Kelurahan Cibangkong, Bandung sudah pusing tujuh keliling gara-gara masalah sampah. Tumpukan sampah yang ada di Cibangkong, selain tak enak dilihat juga bikin udara tak senap. Selain menimbulkan aroma tak sedap, tumpukan sampah itu juga mengundang lalat dan penyakit. Di RW 11 Cibangkong hal yang sama juga terjadi.
Bosan dengan persoalan tersebut, warga RW 11 mulai berbenah. Memasang tong sampah di pojok-pojok jalan dan rumah juga dilakukan. Gerobak dorong untuk mengangkut sampah juga disediakan. Tapi sialnya, sampah yang telah dikumpulkan di TPS alias Tempat Penampungan Sementara, tak kunjung diangkut PD Kebersihan. “Demo dulu, baru diangkut,” ujar Maman, warga Cibangkong terkekeh. Lama kelamaan, warga sepakat mencari cara lain untuk mengelola sampah. “Dengan menjadikannya pupuk kompos,” ujar Suharjiman. Meski belum lazim, Suharjiman, pengelola kompos ini percaya, sampah bisa menghasilkan sesuatu. Jadilah sejak tahun 2000 silam, Lembaga Perwakilan Warga alias LPW RW 11 memiliki tempat pengomposan sederhana.
Ternyata, cara pengomposan terbilang sederhana. Pertama, sampah dikumpulkan di tempat penampungan kemudian dipilah. Yang bisa diolah menjadi kompos adalah sampah organik. Nah, yang bukan organik, seperti plastik, besi dan styroform misalnya, dipisahkan. Sampah-sampah anorganik sisanya bisa dibakar atau dijual ke bandar dengan harga lumayan. “Kalau yang masih bisa dijual mah, pasti dijual, lumayan untuk nambah penghasilan pekerja sini,” ujar Suharjiman lagi, seraya menunjukkan gundukan styroform dan plastik pembungkus makanan di salah satu pojok.
Setelah dipilah, langkah selanjutnya adalah mencampurkannya dengan larutan M14 yang bisa mempercepat proses pembusukan. Setelah itu didiamkan satu hari satu malam, baru kemudian di cetak dalam kotak besar.
Setelah dicetak, timbunan sampah itu kemudian didiamkan 28 hari. “Sampai proses pembusukannya sempurna,” ujar Suharjiman lagi. Nah, setelah 28 hari, sampah telah menjadi pupuk organik. “Untuk siap pakai, biasanya kita saring dulu,” katanya. Setelah itu baru dikemas.
Keselurunan proses memang memakan waktu cukup lama. Padahal, bila dikerjakan dengan alat bantu mesin, waktu bisa dihemat lebih dari separuhnya. “Mesin pencacah itu harganya mahal sekali,” keluh Suharjiman. Dengan mesin pencacah, sampah bisa dipotong menjadi kecil dan mudah membusuk.
Belakangan, ada mahasiswa Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, yang mengujicobakan alat pencacah sederhana buatannya. Dengan alat itu proses pengomposan memakan waktu hanya 15 hari. “Tapi alat ini masih belum sempurna, masih banyak yang harus diper-baiki,” ujar Suharjiman lagi.
Kini, dengan pengolahan manual, pengomposan ini mempekerjakan empat orang warga. Setiap harinya, tempat pengomposan bisa mengolah 600 kg sampah warga RW 11 per harinya. Dari sana bisa dihasilkan sekitar 150 kg kompos. Hitung punya hitung dalam seminggu paling tidak bisa dihasilkan kompos sebanyak satu ton!
Tersandung Pemasaran
Meski pemasarannya masih terbatas, tapi kompos made in Cibangkong ini sudah digu-nakan banyak pihak. “Yah sekarang ini kita mengerjakan perawatan taman di McDonalds Gatot Subroto dan Bandung Super Mall,” ujarnya. Hasilnya cukup memuaskan, bahkan pihak McDonald memintanya untuk berpameran di sana. Selain itu, petani pun ada yang membeli produknya. “Terutama agro-bisnis,” ujarnya. Sebenarnya, kapasitas pengolahan sampah bisa saja diperbesar, asal ada pasarnya. “Kita bisa ngusahain berapa ton juga, asal pemasarannya jelas. Ada yang beli,” ujar Suharjiman lagi. Padahal, jika pasarnya ada, Suharjiman bersedia mengelola sampah tak cuma dari RW 11 tapi juga dari RW-RW lain, yang sampahnya masih menumpuk di TPS-TPS karena tak kunjung diangkut.
Kendala mahalnya teknologi bisa diatasi dengan memperkerjakan lebih banyak orang. Apalagi kalau warga juga sudah dibudayakan untuk memilah sampah, tentu hal ini semakin mempermudah pekerjaan para pengompos. Selain lingkungan bersih, pengomposan berpotensi memberikan lapangan kerja baru. Nah, ada yang berminat membantu?