Usianya sudah terlalu sepuh untuk ukuran umum. Delapan puluh tahun. Namun semangatnya melebihi panasnya
lahar gunung Merapi. Jalannya selalu tegap dan bicaranya masih jelas.Zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi semuanya tuntas dilalui. Selalu bersyukur karena merasa diselamatkan Tuhan dari beberapa maut yang hampir merenggut hidupnya.
Dialah Dauzan Farook. Bapak dari delapan anak ini tampil beda dibanding gaya kakek-kakek pada umumnya yang lebih senang mengisi hidupnya dengan ngemong cucu dan menikmati tunjangan hari tua setiap bulan. Dauzan Farook lebih memilih ngemong masyarakat dari pada keluarganya sendiri. Maklum, semua anak-anaknya sudah mandiri.
Dengan jumlah koleksi buku sebanyak kurang lebih sepuluh ribu buku dan sebuah tunjangan veteran 500 ribu sebulan, Mbah Dauzan ngemong masyarakat setiap hari dengan cara berkeliling dengan dibonceng motor asistennya. Selain itu, pelayanan perpustakaan di tempat juga selalu siap 24 jam. Sebuah perpustakaan unik yang diberinya nama MABULIR, Majalah Buku Bergilir, ia dirikan dengan modal dari tabungan hajinya sebesar 20 juta. Disebut unik karena mbah Dauzan tidak memberlakukan sistem peminjaman layaknya perpustakaan biasa. Mabulirnya mbah Dauzan ini menerapkan sistem yang ia sebut sebagai multi level reading. Dengan sistem ini, mbah Dauzan berharap masyarakat yang meminjam buku bukan hanya untuk dibaca sendiri, melainkan juga untuk orang-orang sekitarnya. Seperti sistem multi level marketing, setiap orang diwajibkan mencari anggota-anggota yang kemudian dapat membentuk sebuah kelompok baca. Mbah Dauzan tidak menentukan besar kecil kelompok tersebut, asal kelompok baca saja. Dua hal yang ingin mbah Dauzan tanamkan pada masyarakat tentang pola ini adalah untuk menyuburkan kepekaan sosial dan minat baca sekaligus.
Bertempat di rumah pribadinya yang elok di kawasan Kauman Yogyakarta (Kauman GM I/328 telp. 0274-387337, Yogyakarta), persis dibelakang Masjid Agung Yogyakarta, perpustakaan Mabulir selalu membuka diri bagi siapa saja, dari mana saja, dan kapan saja.
“Dulu saya berjuang dengan cara mengangkat senjata. Sekarang jamannya kan sudah beda, tapi semangatnya tetap. Perjuangan. Harus ada cara baru untuk mensikapi jaman yang berbeda, ” jelas Mbah Dauzan tetap bersemangat. “Cara baru itu adalah dengan mengangkat buku untuk mencerdaskan masyarakat karna sekarang revolusinya revolusi informasi. Era informasi. Masyarakat harus didorong untuk membaca dan menguasai informasi.”
Saat ini, Mbah Dauzan dengan Mabulirnya membina puluhan kelompok baca, baik yang berada di kota Jogja maupun sekitarnya seperti Bantul, Gunung Kidul, Muntilan, dan Kulonprogo. Di kota Jogja, biasanya mbah Dauzan sendiri yang pro aktif mendatangi komunitas-komunitas tertentu seperti pesantren, masjid hingga TKA/TPA. Untuk kota-kota sekitar Jogja, biasanya sudah ada perwakilan yang secara rutin mengirim orang untuk datang ke Mabulir guna menukar koleksi buku.
Mbah Dauzan yang seorang veteran ini telah mulai membangun Mabulirnya sejak tahun 1991. Fuiiih, berarti sudah lebih 15 tahun yang lalu Mbah Dauzan berjuang mencerdaskan masyarakat Jogja. 15 tahun bertahan dalam komitmen perjuangan jelas bukan pilihan yang mudah. Tidak heran jika kemudian banyak pihak yang memberikan penghargaan seperti Rotary Club Jogja, Paramadina Award, Ikapi Jogja yang menggelari sebagai tokoh buku Jogjakarta, dan Perpus Nasional Jakarta.
“Masyarakat sekarang mulai mengalami penurunan kualitas moral dan intelektual. Menyedihkan sekali. Sudah moralnya turun, intelektualnya nggak seberapa. Orang lebih suka melihat hiburan yang ‘hot’ dari pada membaca buku bermutu, ” jelas Mbah Dauzan. “Itulah yang mendorong Saya untuk mendirikan perpustakaan Mabulir, Majalah Buku Bergilir. Tidak semua masyarakat menyambut yang Saya lakukan ini. Terutama anak-anak muda. Saya sempat diledeki, ngasih kok buku, mbok duit. Untung Saya sudah tua, kalau masih muda mungkin sudah Saya gampar,” lanjut Mbah Dauzan bersemangat dan dengan nada becanda.
Berjuang melalui buku tidak berarti luput dari maut. Si Mbah yang di usia senjanya ini tinggal sendiri di rumah besarnya yang penuh sesak dengan buku, sudah pernah mengalami kejadian yang hampir merenggut nyawanya, bahkan terakhir kali Kutubuku bertemu, si Mbah menunjukan luka sobek di belakang kepala yang belum kering dan nampak baru saja dijahit. “Ini habis jatuh dijalan minggu lalu. Gara-garanya Saya mau pergi ngambil tunjangan veteran tapi belum sarapan pagi, eh tiba-tiba pingsan dijalan. Maklum…. Udah tua, ” katanya terkekeh. ” ini sebenarnya belum seberapa. Waktu Saya berkeliling meminjamkan buku dibonceng motor, Saya pernah jatuh dan untungnya Saya bawa buku tebal di dalam tas sehingga perut Saya terlindungi. Kalau nggak mungkin perut Saya sudah luka kena besinya motor. Tuhan menyelamatkan Saya lewat buku. Ini juga yang memotivasi Saya untuk komit mengabdi ke masyarakat, memanfaatkan umur yang panjang.”
Mbah Dauzan yang dulu perokok berat, sempat mengalami sakit paru-paru beberapa lama. Dalam sakit inilah si Mbah bernazar akan mengabdikan hidupnya untuk masyarakat jika diberi kesehatan. Tuhan menganugerahi kesehatan dan Mbah Dauzan menepati janjinya. Hingga sekarang, Mbah Dauzan tidak pernah sakit berat lagi. Dikala teman-temannya kena stroke atau penyakit lain yang lazim menimpa orang usia tua, Mbah Dauzan tetap sehat, sigap, dan mampu berjalan jauh. “Kuncinya, kita harus banyak berbuat baik dan pasrah dengan ketetapan Tuhan. Serta jangan lupa, banyak ibadah.”
Sejak berdirinya hingga saat ini, Mabulir menempati rumah Mbah Dauzan di kawasan Kauman Jogja, persis sebelah barat Masjid Agung Kraton Jogja. Rumah tua berinterior joglo warisan orangtuanya ini sudah penuh sesak dengan buku dan bahan-bahan bacaan lainnya dari depan hingga belakang, tidak terkecuali kamar Mbah Dauzan. Tidak heran jika untuk sementara waktu Mabulir tidak memberikan pelayanan membaca ditempat.
Ketika hari menjelang sore, biasanya Mbah Dauzan mulai beristirahat setelah seharian berkeliling Jogja meminjamkan buku. Beristirahat mengumpulkan tenaga untuk perjuangan hari esok. Hari yang baginya tak akan pernah usai. (Ditulis oleh Zazuli untuk Kutubuku, foto: zazuli,Ronny)-Jogjakarta, 2005