Oleh Biduk Rokhmani
Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah sudah sangat terkenal sebagai desa gitar. Sebab, dari empat dusun di wilayah tersebut, Kembangan sebagai blok dusun terbesar merupakan sentra kerajinan gitar. Bahkan sekarang ini usaha rumah tangga itu sudah menyebar ke beberapa dusun dan desa di sekitarnya. Data terakhir yang tercatat di kantor kelurahan setempat, saat ini terdapat 137 orang pengrajin yang menekuni industri gitar.
Memasuki Kembangan, orang tidak akan menyangka jika dusun kecil di tengah kawasan lahan pertanian yang cenderung minus itu merupakan sentra industri gitar. Untuk mencapai kampung yang relatif jauh dari pusat kota itu, pengunjung harus rela menempuh jalan yang meskipun sudah diaspal namun cukup bergelombang dan penuh lubang. Gitar produk Kembangan bukan sekedar gitar mainan atau pajangan. Tapi memang gitar sebagai alat musik sebenarnya.
Adalah Sidal Hadi Wiyono (64) orang pertama yang memperkenalkan ketrampilan membuat gitar di kampung tersebut pada tahun 1961. Awalnya, saat masih bersekolah di tingkat SMP, Hadi muda bekerja di pabrik gitar di kawasan Timuran, Solo selama empat tahun. Karena modal milik juragannya makin hari semakin menyusut, Hadi memutuskan untuk pulang kampung dan memulai usahanya sendiri. ”Waktu itu saya hanya memanfaatkan barang-barang bekas sebagai bahan baku. Saya mengajak pemuda di sekitar rumah hingga mencapai 25 orang sebagai karyawan. Pokoknya sebagai modal awalnya hanya modal nekat saja,” terang Hadi sambil tidak berhenti mengamplas gitar yang akan dicat.
Setelah beberapa waktu berselang, usaha Hadi mulai menampakkan hasil nyata. Satu persatu karyawan yang sempat ikut bekerja sekaligus belajar di tempatnya mulai membuka usaha sendiri. Hingga hampir 85 persen penduduk Kembangan menekuni usaha kerajinan gitar sebagai industri rumah tangga dan mata pencaharian utama mereka.
Sebagai perintis, Hadi tidak bisa tidak memikirkan sarana dan prasarana untuk keberlangsungan usaha tersebut. Sebisa mungkin ia mulai mengupayakan listrik dan telepon bisa masuk ke Kembangan. Kebutuhan akan listrik dirasakannya sangat krusial guna mendukung pengoperasionalan pengrajin sehingga mempercepat kerja mereka dibandingkan dengan sistem manual yang tentu saja akan lebih lambat. Sedangkan telepon diperlukan untuk memperlancar hubungan antara pengrajin dan pembeli sebagai konsumen yang mayoritas berasal dari luar kota seperti Solo, Semarang, Yogyakarta, Jakarta dan kota-kota lain di luar Pulau Jawa.
Selain itu, Hadi juga mengupayakan adanya kerjasama dengan pihak bank untuk pengadaan pinjaman modal bagi dirinya dan rekan-rekan pengrajin lainnya dengan sistem kredit. ”Dulu pertama kali saya mendapat pinjaman dari BRI sebesar Rp 300 ribu. Uang itu semuanya saya belikan bahan baku sebab barang-barang bekas simpanan saya sudah mulai habis,” ujarnya.
Namun sayangnya, keberhasilan membentuk citra Kembangan sebagai desa gitar tidak diiringi dengan kesuksesan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa Mancasan, khususnya warga dusun tersebut. ”Dari total 137 pengrajin hanya beberapa orang yang tergolong pengusaha besar, lainnya hanya pengusaha kelas menengah ke bawah. Padahal jika ditilik lamanya usaha gitar ini bertahan di desa ini kan sangat aneh jika taraf hidup warga di sini masih minim,” jelas Kepala Desa Mancasan Sri Wahono.
Hal itu, lanjutnya, dikarenakan masih belum adanya standarisasi harga di kalangan pengrajin. Jadi masing-masing pengrajin menentukan harga sendiri-sendiri ketika bertransaksi dengan broker (pihak perantara) atau toko. Kelemahannya, justru pihak broker-lah yang punya kewenangan dalam penentuan harga. Pasalnya, ketika transaksi jual beli itu terjadi, broker akan menerapkan sistem pembelian dengan harga terendah. Padahal orang-orang yang berperan sebagai broker dan pemilik toko sebenarnya juga warga asli Mancasan yang sudah pindah domisili ke luar daerah. ”Posisi tawar pengrajin masih lemah sebab mereka hanya mengejar target agar modal kembali dan bisa terus berproduksi, tanpa perlu mempertimbangkan keuntungan dalam jumlah besar. Kalau sudah begitu, pengrajin justru rela menjual ke broker dengan harga sangat miring. Apalagi broker sering memanfaatkan situasi persaingan antar pengrajin yang ingin saling menjatuhkan denan memberikan penawaran terendah,” imbuhnya.
Belum lagi untuk urusan merek gitar. Selama ini pihak pengrajin sama sekali tidak punya hak untuk menempelkan merek mereka sendiri dalam hasil produksinya. Sekali lagi, broker dan toko-lah yang mempunyai kewenangan penuh untuk menempelkan merk. Merek-merek yang ditempel di gitar hasil produksi warga Kembangan justru memakai merek-merek yang sudah tenar di pasaran seperti Yamaha, Ibanez, Fender, Osmond dan Isuzu. Hadi sendiri sebenarnya punya merek gitar tersendiri untuk gitar hasil kreasinya yakni Indomus. Sayangnya, gitar yang ditempel merek tersebut ternyata tidak laku di pasaran. ”Pihak toko dan broker nggak mau beli gitar yang sudah ada merknya karena tidak laku. Pasar hanya mau membeli gitar yang memakai merk-merk terkenal,” katanya.
Harga yang ditetapkan untuk masing-masing jenis gitar bervariasi. Untuk jenis gitar sayur (gitar yang paling sederhana) dipatok dengan harga antara Rp 65 ribu hingga Rp 100 ribu. Tapi setelah sampai di toko dan ditempeli merek, pihak grosir akan menjual dua hingga tiga kali lipat dari harga semula. Semua keuntungan itu jelas menjadi milik toko dan broker. Bisa dibayangkan untuk gitar kelas atas (gitar dengan kualitas bagus) yang dari pengrajin dipatok dengan harga hingga Rp 1 juta, berapa toko akan menjual?
Sekarang, untuk mengejar target pemasaran, terlebih lagi jika ada dalam jumlah besar, banyak pengrajin menurunkan kualitas hasil produksi. Sebagai gambaran kasar, untuk ukuran pengrajin besar seperti Sutanto yang sudah sepuluh tahun membuka usaha kerajinan gitar dan memiliki tiga puluh karyawan, dalam seminggu ia bisa mengirim pesanan untuk gitar dengan kualitas biasa hingga mencapai 25 lusin. Dengan sistem borongan besar seperti itu, Tanto berhasil membuka toko di muka pabriknya dan membuka gerai gitar di Solo Grand Mall dengan nama Indoguitar.
Saat terjadi penumpukan pesanan, Tanto akan memanfaatkan para pengrajin yang ukurannya masih relatif kecil dengan cara menerima pasokan gitar yang masih mentah. Ada pengrajin yang khusus memasok gembung (tubuh gitar) atau stang (pegangan gitar). Nantinya untuk menyeragamkan hasil akhir, semua proses akhir dilakukan di pabrik Tanto. ”Kami mendapat imbalan sebesar Rp 10.000 perlusin. Biasanya dalam seminggu kami bisa setor hingga 12 lusin dengan tiga orang tenaga kerja,” papar Sri Sumiyati yang belum sebulan memulai usahanya sebagai pengrajin gitar.
Sedangkan bagi Hadi, dirinya lebih memilih tetap bertahan menjaga kualitas dari pada mengejar target omset. ”Bagi saya kualitas itu lebih penting, saya tidak peduli tetangga sekitar saya nakalan dengan menjatuhkan harga yang penting para pelanggan tetap saya yang kebanyakan musisi keroncong dari luar kota sudah tahu jaminan kualitas produk saya,” tuturnya.