Oleh Rohman Yuliawan
Menyusul beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah, pada bulan September 2005 lalu tiga desa di tiga kecamatan wilayah Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, resmi menyandang predikat sebagai digital village alias desa digital. Tiga desa tersebut yaitu Trumpon, Turi dan Brajan yang masing-masing berlokasi di Kecamatan Tempel, Kecamatan Turi dan Kecamatan Minggir. Profil desa-desa tersebut bisa ditilik melalui http://sleman.desa-digital.comSasaran awal kita bukan hanya tiga desa itu, kalau tidak salah sebetulnya ada 12 desa. Waktu itu kita tawarkan konsep digital village langsung ke masyarakat, tetapi ternyata sambutannya kurang bagus. Mungkin mereka tidak percaya dengan Telkom ya,” ungkap Arief Budiman, Manajer Kantor Cabang Telkom (Kancatel) Kabupaten Sleman. Selama ini memang Telkom yang berada di balik menjamurnya digital vilage (diadopsi dari upaya-upaya memapas kesenjangan informasi dan komunikasi di India) di beberapa provinsi sejak tahun 2003.
Namun apatisme masyarakat pada konsep digital village rupanya tidak menyurutkan langkah Telkom Sleman. Dengan menggandeng Bapeda Sleman, yang kebetulan telah memiliki data-data mengenai potensi semua desa di seluruh wilayah kabupaten, Telkom akhirnya berhasil mengajak elemen-elemen masyarakat di tiga desa di atas untuk menjadi ajang uji coba. Bahkan untuk kasus Desa Turi, di luar dugaan para pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) kecamatan setempat dengan antusias mengajukan diri menjadi pelaksana.
“Tiga tempat ini statusnya memang masih pilot project. Kalau berhasil, lokasi-lokasi yang lain akan dipaksa juga untuk menjadi digital village,” tegas Arief. “Pemaksaan” itu, menurutnya, akan dilakukan dengan menjadikan konsep digital village sebagai program pemerintah daerah, sehingga mau tidak mau desa yang ditunjuk harus menjalankannya. Ukuran keberhasilan uji coba dilihat dari tingkat ‘melek digital” masyarakat dan terciptanya jaringan maupun aktifitas promosi dan pemasaran produk-produk lokal dengan lantaran internet.
Berdasar penuturan Arief, upaya pengembangan digital village diarahkan pada tujuan ganda. Yang pertama terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam mempromosikan dan mengembangkan potensi wilayah mereka dan tujuan yang kedua dimaksudkan untuk edukasi pasar. “Logikanya kalau sekarang masyarakat sudah mengenal internet, pasti nantinya akan muncul kebutuhan. Pasar inilah yang nanti akan diisi oleh Telkom,” ungkapnya. Alhasil, konsep digital village ini sebetulnya tak lepas dari strategi Telkom untuk memasarkan layanan-layanannya yang barangkali sudah tidak laku di perkotaan.
Tidak tepat sasaran
Untuk mewujudkan sebuah desa menjadi sebuah digital village terhitung cukup mudah, setidaknya jika memakai parameter Telkom. Asal desa tersebut memiliki potensi khas, terutama dalam bidang ekonomi produktif, maka ibaratnya separuh syarat sudah terpenuhi. “Syarat lainnya adalah kesediaan untuk mempersiapkan sarana-sarana pendukung, semisal gedung dan perabotan,” kata Arief. “Karena selain perangkat keras komputer dan pelatihan, Telkom hanya memberikan bantuan berupa potongan harga untuk telepon dan internet masing-masing 30 dan 40%,” lanjut lulusan Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telkom Bandung ini. Dukungan lainnya berbentuk penyediaan pinjaman lunak sebagai modal awal bagi pengelola. Dana-dana yang dialokasikan oleh Telkom diambilkan citizenship fund (dana sosial) dengan nilai 1-2% dari keuntungan PT Telkom secara nasional.
“Pada prinsipnya, sumber pembiayaan digital village ada dua. Yaitu biaya pribadi dan pinjaman lunak dari Telkom, terserah keputusan pengelolanya mau mengambil yang mana,” jelas Arief. Dia mencontohkan pengelola digital village di Turi dan Brajan memutuskan untuk mengambil pinjaman lunak, sedangkan di Trumpon biaya ditanggung oleh Kelompok Tani Duri Kencana. Jenis dan pemanfaatan layanan yang dipilih pun berbeda. Jika di Turi diarahkan untuk menjadi warnet umum, maka di Trumpon koneksi internet hanya dipakai secara terbatas oleh anggota kelompok tani. Lain halnya dengan pengelola di Desa Brajan yang hanya memilih paket wartel saja tanpa sambungan internet.
“Kami memperoleh pinjaman lunak dari Telkom sejumlah Rp 20 juta. Kalau tidak ada pinjaman, belum tentu kami mampu merealisasikan warnet (warung internet) dan wartel (warung telekomunikasi) ini,” kata Soetaryana, Ketua KUD Kecamatan Turi, sembari memperlihatkan ruangan yang dipakai sebagai warnet. Dengan pinjaman yang harus lunas dalam dua tahun itu, pengurus KUD Turi menjejalkan partisi-partisi kayu ke dalam ruangan sempit di lantai dasar kantor KUD. Ruang berukuran sekitar 5×3 meter itu kini terisi 5 unit komputer, tiga diantaranya komputer baru senilai Rp 12 juta. Dua unit lainnya sumbangan dari Telkom, berupa komputer bekas pakai yang telah ditingkatkan spesifikasinya.
Namun dukungan dana ternyata bukan jawaban untuk kesulitan operasional yang dihadapi para pengelola. Berbagai macam permasalahan teknis, seperti pengenalan sistem operasi dan aplikasi perangkat lunak masih jadi kendala. Saat ini, pengelola berencana untuk mengganti sistem operasi dari Linux menjadi Windows dengan alasan kepraktisan. “Tidak ada teknisinya yang tahu Linux. Selama ini kami dibantu relawan mahasiswa asli sini, tapi kalau bersamaan dengan jadwal ujian atau kuliah dia pamit tidak bisa membantu,” terang Soetaryana. “Mungkin pendekatan dan sasaran Telkom ini kurang tepat. Karena dari awal seolah-olah program ini ditujukan pada orang-orang yang sudah lama mengenal komputer, padahal banyak warga sini yang baru kenal komputer,” ujarnya panjang lebar.
Untuk fase operasional Soetaryana berkesimpulan bahwa pendampingan teknis jauh lebih diperlukan dibanding suntikan dana. “Kalau uang itu istilahnya sekali dibelanjakan langsung habis, tapi kalau ilmu itu investasi sepanjang masa. Semisal ada lembaga yang mau memberikan pendampingan, akan kami terima dengan senang hati,” lanjutnya.
Besar pasak daripada tiang
Saat ini, warnet KUD Turi memanfaatkan koneksi dial up (mempergunakan sambungan telepon kabel) yang dibagi untuk lima komputer. “Kita pakai Telkomnet Instant, tapi masih banyak keluhan karena koneksinya sering lama,” keluh Soetaryana. “Ini juga yang meyebabkan biaya koneksi membengkak berkali-kali lipat,” tambahnya. Soetaryana menyebut angka Rp 1 juta untuk bulan pertama dan Rp 600 ribu pada bulan berikutnya. Angka pada bulan pertama jauh lebih besar karena tingkat penggunaan juga lebih sering. “Waktu pertama kan banyak yang ikut pelatihan, banyak juga yang pengin mencoba. Maklum barang baru,” seloroh bapak yang masih enerjik di usianya yang mendekati kepala enam ini. Sekarang, gara-gara masalah teknis yang tidak segera tertangani, hanya 2 hingga 4 orang saja yang bekunjung ke warnet setiap harinya.
Untuk mengatasi lonjakan biaya telpon, para pengurus KUD Turi berinisiatif untuk mengembangkan sumber-sumber pemasukan keuangan untuk melakukan subsidi silang. “Contohnya, kita mencoba bekerjasama dengan asosiasi peternak jangkrik (Astrik), pemeliharaannya melibatkan masyarakat. Kemudian pemanfaatan lahan kosong untuk memelihara ikan lele. Belakangan ini sedang kita menjajaki juga kemungkinan mengembangkan lobster darat. Pokoknya kita berusaha agar jangan lebih besar pasak daripada tiang,” kata Misroji, manajer KUD Turi. Pemasukan dari usaha-usaha produktif itulah yang saat ini dipakai untuk menutup pengeluaran warnet dan operasionalisasi aktifitas KUD.
Meskipun diakui lebih sering nombok dibandingkan menangguk untung, Misroji menolak anggapan bahwa usaha warnet dan wartel digital village itu merugi. Pandangan ini dikuatkan oleh Soetaryana. “Ini bukan kerugian, karena kami menghitungnya sebagai investasi. Paling tidak sampai enam bulan ke muka baru akan kita evaluasi apakah investasi ini masih realistis atau tidak,” kata Soetaryana. Namun mereka optimis bakal segera menemukan sumber-sumber pembiayaan lainnya.
Salah satu sumber potensial adalah Majelis Lereng Merapi (MLM), sebuah lembaga yang dibentuk oleh elemen-elemen masyarakat Turi untuk menindaklanjuti Perda Bupati Sleman No 110 yang berencana mengembangkan wilayah Sleman sebagai kawasan Agropolitan. “Di MLM menyatu semua potensi ekonomi dan budaya di Turi. Nanti itu yang dipromosikan melalui internet dan kalau disepakati biaya operasional akan ditanggung bersama,” jelas Soetaryana.
Menilik inisiatifnya yang beragam, Arief yakin digital village Turi memiliki potensi paling bagus untuk berkembang. “Kita akan terus mendukung, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Misalnya nanti kerjasama penjualan telepon, kartu atau produk Telkom lainnya,” janji Arief. Wah, bisa-bisa nanti KUD Turi beralih jadi kantor pemasaran Telkom nih! ***