Dilema Kebudayaan Tradisional di Era Haki

Oleh: Ignatius Haryanto*)

Kebudayaan tradisional ketika berhadapan dengan HaKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) menghadapi sejumlah dilema di dalamnya. Di satu sisi ada keinginan sejumlah pihak untuk melakukan perlindungan kebudayaan tradisional, namun di sisi lain ada pula keinginan untuk tetap membebaskan kebudayaan tradisional ini dari perlindungan apapun.Pihak pertama yang ingin melakukan perlindungan kebudayaan tradisionalpun menghadapi dilema yang juga pelik, karena rezim HaKI yang ada sekarang ini tak memberikan ruang perlindungan yang cukup terhadap pengetahuan tradisional. Pasalnya  bagaimana mungkin perlindungan  HaKI yang sifatnya personal, dengan suatu kelembagaan yang jelas, bisa diterapkan dalam kebudayaan tradisional yang kebanyakan penciptanya tidak diketahui (anonim), melainkan dimiliki secara komunal, dan ekspresi kultural seperti ini tak dimonopoli oleh suatu kelompok manapun. Di sini akan terjadi masalah, di mana kepemilikan yang personal berhadapan dengan konsep kepemilikan komunal oleh banyak masyarakat tradisional atas kebudayaannya (karya seni, seni pertunjukan  musik, tari, di antaranya  obat-obatan). Selain itu bagaimana perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di suatu wilayah, apalagi banyak  keluhan yang dikemukakan oleh para  aktivis lingkungan tentang adanya pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy) di Indonesia oleh para peneliti luar yang kemudian membawanya  untuk dipatenkan di luar negeri.

Pihak yang ingin membebaskan belenggu HaKI  kepada kebudayaan tradisional percaya bahwa kebudayaan mempunyai cara tersendiri untuk tetap bertahan dan juga berkembang. Kerap kali kebudayaan berkembang justru ketika terjadi  pertukaran pengaruh dari kebudayaan lain. Indonesia yang memiliki banyak kebudayaan lokal ini saja tak bisa melepaskan diri dari pengaruh empat kebudayaan besar dunia sebelumnya, seperti Kebudayaan Hindu, Cina, Barat dan juga kebudayaan Islam (lihat Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, 3 vol.). Pendukung kebebasan atas HaKI  dalam kebudayaan tradisional akan bertanya, apakah perlindungan kebudayaan tradisional dalam bentuk kepemilikan merupakan suatu perkembangan yang sehat? Apakah justru tidak sebaliknya malah membekukan kebudayaan tradisional itu sendiri?

Diskusi tentang masalah ini masih jauh dari selesai, karena masalah ini cukup pelik, dan sejumlah eksplorasi untuk mencarikan jalan keluar, masih sedang dilakukan. Yang cukup menarik misalnya adalah yang dilakukan oleh Agus Sarjono, seorang doktor Hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Indonesia yang mencoba untuk menawarkan kerangka pemikiran baru untuk mencoba melindungi kekayaan tradisional masyarakat dalam bentuk ‘benefit sharing’ (pembagian kegunaan), yang dibedakan dengan konsep ‘profit sharing’ (pembagian keuntungan keuangan) yang melulu masalah uang. (Lihat Agus Sarjono, Pengetahuan Tradisional: Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Obat-obatan, Jakarta: Paska Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004)

Dengan benefit sharing ia mengusulkan bahwa para peneliti asing atau perusahaan besar (apakah itu lokal ataupun asing) yang hendak memanfaatkan kekayaan masyarakat tradisional, harus mengikat perjanjian agar masyarakat pun mendapat keuntungan dari kekayaan tradisional tersebut. Bentuknya bisa berupa pelatihan bagi masyarakat tradisional agar menjadi lebih berkembang, bisa juga berupa pasar bagi pasokan komoditi milik masyarakat tradisional tersebut, dan lain-lain.

Dalam hal ini Agus mencoba memanfaatkan beberapa peluang yang ada dalam perjanjian internasional untuk bisa diimplementasikan dalam melindungi kepentingan masyarakat tersebut, dan di sini pula Agus juga menekankan pentingnya kelompok-kelompok LSM  (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk bisa mewakili kepentingan masyarakat ketika berhadapan dengan perusahaan besar.

Peran Radio Komunitas
Sejak disahkannya UU Penyiaran dan memberikan pengakuan kepada lembaga penyiaran komunitas, tentu saja ini merupakan sebuah peluang emas yang bisa  dieksplorasi terus menerus oleh para komunitas yang bergerak di berbagai wilayah. Dengan adanya radio komunitas yang mengakar di tingkat masyarakat bawah, maka perannya sangat penting untuk ikut melakukan sesuatu bagi kelestarian budaya yang ada.

Kita memang belum selesai memecahkan masalah bagaimana melindungi kebudayaan tradisional, tetapi pihak pengelola radio komunitas bisa melakukan sesuatu untuk mengangkat berbagai kekayaan tradisional untuk  diperkenalkan kepada masyarakat, misalnya dengan mengangkat bahasan tentang khasiat obat tradisional yang diketahui anggota komunitas tertentu, kesenian tradisional yang dihidupi oleh komunitas tersebut (nyanyian, sastra, dan lain-lain), mengangkat kesenian tradisional yang selama ini sudah jarang dipertunjukkan, dan lain-lain. Mungkin baik juga kalau berbagai radio komunitas mendokumentasikan beragam kekayaan pengetahuan tradisional bagi kepentingan komunitasnya, walau tetap membuka kemungkinan interaksi dengan hasil kebudayaan lain.  Bukankah kebudayaan pada hakikatnya bisa terus berkembang, berproses menemukan sintesa dengan unsur kebudayaan lainnya.

Masalah utama dalam rejim HaKI ini adalah pembekuan suatu karya budaya pada suatu rumus atau metode tertentu yang kemudian menutup diri pada interaksinya dengan kebudayaan lain.  Apalagi hidup di era global, maka saling meminjam unsur kebudayaan tak terelakkan. Bahkan sebenarnya sejak jaman dulu pun tak ada yang betul-betul asli.

Contoh kasus nyata untuk Indonesia adalah berita pembatalan kepemilikan paten oleh perusahaan kosmetik asal Jepang, Shiseido, atas sejumlah rempah rempah asal Indonesia seperti kayu rapet, kemukus, lempuyang, belantas, brotowali dan cabai. Perusahaan ini mempergunakan rempah-rempah untuk kepentingan produksi alat-alat kecantikan, dan untuk itu mereka mempatenkan tanaman Indonesia tersebut di Jepang, padahal ramuan itu telah lama dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. (Lihat berita di Kompas, 26 Maret 2002, dan ulasan terhadap peristiwa itu lihat C. Ria Budiningsih, ”Makna Keberhasilan Pembatalan Paten Shiseido”, Kompas; 17 Juli 2002).

Kalau saja perusahaan Shiseido tersebut juga mendaftarkan paten untuk tanaman-tanaman tadi di kantor Paten Indonesia, maka siapapun yang menggunakan ramuan tanaman tersebut haruslah membayar kepada perusahaan Shiseido tadi, sementara ironisnya tanaman tersebut datang dari Indonesia sendiri. Kasus seperti ini ada banyak, yang terjadi pada batik, tempe, dan lain-lain. Kekhasan tradisional Indonesia, khususnya di daerah-daerah dikomersilkan.

Kembali di sini perlu dikatakan, bahwa Radio Komunitas punya peran untuk bisa melakukan ‘perlindungan’ terhadap kekayaan budaya tradisional setempat, bukan untuk membuatnya jadi beku, atau membuat kebudayaan tradisional yang ada tadi sebagai sumber nafkah bagi komunitas tersebut, tetapi untuk tujuan bahwa pihak lain menghormati kekayaan budaya tersebut, dan siapapun yang hendak memakainya tetap menghormati asal dari kekayaan budaya tersebut.

Penulis sendiri berpendapat bahwa kita juga harus berhati-hati dengan upaya perlindungan kebudayaan tradisional yang justru kemudian mengambil keuntungan sepihak (oleh pihak manapun) dari kekayaan kebudayaan tradisional ini. Berita kecil di Kompas, 13 Februari 2002 di Jayapura menyebutkan bahwa Propinsi Papua mulai memperketat pemberlakuan Undang-Undang tentang Hak Cipta, karena hak cipta masyarakat Papua harus dilindungi agar bermanfaat bagi penciptanya. Kebudayaan tradisional perlu dilindungi bukan untuk mencari keuntungan komersial, tetapi agar masyarakat setempat tetap bisa memanfaatkan dan mengembangkannya. (-)

*) penulis adalah peneliti di LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan) Jakarta, menulis buku Penghisapan Rezim HAKI: Tinjauan Ekonomi Politik atas Hak Kekayaan Intelektual (Debt Watch, 2003) mengikuti kuliah musim panas tentang masalah Intellectual Property Rights di Central European University, Budapest, awal hingga pertengahan Agustus 2004.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud