Dalam Buku “Belajar dari Gempa Bumi Besar Jepang Bagian Timur 2011” disebutkan bahwa informasi bencana yang akurat menjadi pijakan yang berharga untuk pengambilan keputusan evakuasi dan penyelamatan. Mereka sangat menganggap serius pengelolaan informasi kebencanaan agar tersampaikan secara tepat, cepat, dan akurat pada publik. Ini dapat dilihat antara lain dari adanya grup kerja khusus dalam struktur Markas Kendali Bencana di TOhoku, termasuk penyiapan bagan mekanisme kerja pengelolaan informasi yang disandingkan dengan tata kalanya (timeline).
Bila menilik struktur BNPB pun, ada bagian Pusat Data, Informasi, dan Humas. Namun saat meniliti per bagian, maka di bagian informasi pengelolaannya lebih berkonsentrasi pada jaringan akses komunikasi. Demikian pula saat ajang besar tahunan Peringatan Bulan PRB 2015, dari sekian pulih diskusi dan lokakarya, hampir bisa dibilang tidak ada yang secara khusus membahas tata kelola informasi kebencanaan. Bahkan diseluruh gerai pameran BPBD, nyaris memajang barang yang sama yang merujuk pada kebutuhan tanggap darurat. Tidak ada yang memajang bagaimana skema informasi dari pinggir sungai rawan lahar hujan hingga ke warga desa sekitarnya misalnya.
Pasti akan muncul argumentasi bahwa pengelolaan informasi akan melekat pada penanganan bencana itu sendiri, sehingga tidak perlu dibicarakan terpisah. Tapi sebetulnya dengan logika itu, sulit mendapatkan skema standar pengelolaan informasi kebancanaan saa prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.
Standar yang dimaksud mulai dari jenis informasi dan kemasannya, sasaran sosialisasi, media penyampaiannya, uji coba alur informasi saat bencana datang agar tidak simpang siur serta dapat segera dirilis, dan sebagainya. Sebagai contoh, seberapa banyak warga di sekitar lahan terbakar yang pernah menerima informasi utuh tentang bahaya pembakaran lahan, termasuk dari sisi regulasi ? Atau seberapa sering informasi komprehensif tentang seringnya Yogyakarta terkena gempa disampaikan pada warga agar mereka tidak terlalu panik ?
Dalam beberapa pengalaman terjun di situasi bencana, inilah yang dihadapi Combine Resource Institution. Penggunaan radio komunitas, SMS Gateway, handytalkie, website hingga aplikasi android tidak lebih adalah alat. Yang lebih penting adalah pemetaan kultur media di warga secara menyeluruh dan kemudian perencanaan yang matang. Kapasitas SDM yang mengurusi ini harus disiapkan betul, tidak lantas mengikuti irama klasik birokrasi yaitu siap dimutasi tanpa perlu transfer pengetahuan. Inisiatif yang telah ada di warga maupun kelompok masyarakat sipil, hendaknya jangan lantas dijadikan satu-satunya andalan pemerintah, melainkan justru harus diorkestrasi dalam satu skema yang utuh.
Sederhananya, informasi yang disampaikan terus menerus sebelum bencana akan tertanam lebih kuat dan mennjadi salah satu faktor yang membuat warga lebih siap. Sedangkan saat bencana datang, informasi akurat dan cepat menjadi kunci keselamatan. Bahkan pengalaman Jepang yang ditulis di buku itu menyebutkan, “kita telah melakukan persiapan semaksimal mungkin, tapi ternyata belum cukup…”. Nah, apalagi kalau tidak disiapkan dan tidak dianggap penting.
One thought on “Edisi 63 : Pengurangan Risiko Bencana”