Awal Agustus 2016 saya bertemu Takashi Nakagawa, teman lama CRI dari Jepang yang sedang dalam program doktoral di Nanyang Technology University, Singapura. Takashi berkisah bahwa dia masih bertekun di bidang studi linguistik. Selama empat tahun terakhir dia meneliti Bahasa Sangihe, bahasa yang digunakan di kepulauan Sangihe Talaud di utara Sulawesi berbatasan dengan Filipina, untuk bahan disertasinya.
Menurutnya, salah satu keistimewaan Bahasa Sangihe adalah adanya Bahasa Sasahara yang hanya digunakan saat melaut. Saat ini pengguna bahasa tersebut sudah sangat sedikit, dengan bayangan gelap kepunahan yang makin dekat. Sambil tertawa Takashi menutup obrolan singkat itu dengan mengatakan bahwa yang banyak terjadi dalam siklus kepunahan bahasa adalah dimulai dengan masuknya listrik, disusul televisi, kemudian sinetron.
Guyonan yang cukup membuat gelisah. Kalau televisi saja bisa membunuh bahasa, lalu bagaimana nasib peradaban desa yang oleh beberapa pihak belakangan mulai diajak mengikuti kota menjadi smart village alias desa cerdas? Sudah banyak pendapat mengungkapkan bahwa meski faktor manusia ikut menjadi kriteria smart city, toh bobot terbesar ternyata masih pada ketersediaan teknologi dan aplikasi oleh pemerintah setempat. Bisa jadi nantinya kita akan dibuat percaya bahwa makin banyak teknologi digunakan di sebuah desa, apalagi berbasis internet, berarti makin cerdaslah desa itu.
Menilik beberapa tulisan yang ada tentang desa cerdas, sebenarnya arah kecerdasan itu lebih pada akses dan pengelolaan. Intinya bagaimana warga desa dapat memperoleh dan mengelola energi, air bersih, pendapatan dan elemen penting kehidupan lain tanpa harus meninggalkan desa. Jadi intinya bukan pada internet apalagi aplikasi.
Demikianlah roh Sistem Informasi Desa (SID) yang dikembangkan CRI. Yang paling penting adalah pembiasaan prinsipnya, yaitu keterbukaan, keterlibatan dan kesetaraan untuk menuju desa yang berdaya mengelola potensinya. Internet dan aplikasi tak lebih sekedar alat yang berdasarkan proses belajar bersama desa dinilai cukup mampu mewujudkannya saat ini.
Tentu bukan berarti lalu bisa buru-buru disimpulkan bahwa desa tidak butuh internet. Pada dasarnya, seperti halnya listrik, internet pun alat untuk memudahkan. Berbekal kearifannya, warga desa suatu saat akan bersahabat dengannya. Berkaca pada kasus sinetron yang “membunuh” bahasa, tugas kita yang ingin belajar bersama mereka adalah menemani dalam proses agar lebih besar manfaat yang didapat dibandingkan mudarat, tanpa memaksakan konsep apalagi proyek. Itu yang membuat kita bisa disebut cerdas. (IY)
Simak edisi ini di tautan berikut ini :