Oleh: Lamia Damayanti Putri
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada
Tepa Selira menjadi tema utama dalam gelaran Festival Tlatah Bocah XI di Dusun Ngandong, Kabupaten Magelang pada Sabtu-Minggu, (9-10/9). Tema tersebut diangkat untuk merespons perubahan perilaku anak-anak di era digital. Beragam kegiatan seperti pertunjukan seni tradisi, orasi budaya dan pameran menjadi media kampanye hak-hak anak dalam festival tahunan ini. Tujuannya, untuk mengenalkan keberagaman toleransi, dan kearifan lokal yang semakin luntur pada anak-anak.
Ketua Panitia Festival Tlatah Bocah XI, Riswoko menjelaskan, dampak globalisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan anak-anak. Tanpa dibekali literasi yang cukup, keberadaan teknologi justru menjadi ancaman bagi mereka. Riswoko mencontohkan, saat ini banyak anak yang kecanduan gawai dan lupa bergaul dengan teman-teman di lingkungan sekitarnya. “Anak-anak sekarang cenderung individualis dan hanya memikirkan dirinya sendiri,” jelasnya saat ditemui di lokasi penyelenggaraan festival, Minggu (10/9).
Festival Tlatah Jogja merupakan acara tahunan yang diselenggarakan secara kolektif oleh berbagai komunitas dan kelompok seni yang mengusung isu-isu tentang anak. Setiap tahunnya, festival ini mengusung tema tertentu yang berkaitan dengan fenomena sosial terkini.
Terkait tema kali ini, Riswoko memaparkan, pesatnya arus informasi juga menjadi perhatian penting. Dengan semakin mudahnya anak-anak mengakses informasi, mereka sangat rentan terpengaruh berita-berita yang belum jelas keberannya atau hoaks. Apalagi, berita-berita hoaks yang tersebar di internet lebih banyak berbentuk sebagai ujaran kebencian terutama pada kalangan tertentu. “Seperti yang kita tahu, banyak sekali hoaks-hoaks tentang isu agama yang tersebar di internet,” kata Riswoko.
Hoaks dan ujaran kebencian mempengaruhi tumbuh kembang pola pikir anak. Setiyoko, salah satu penggagas utama Festival Tlatah Bocah mengungkapkan atas alasan itulah tema Tepa Selira diangkat dalam gelaran Festival Tlatah Bocah kali ini. “Harapannya, diselenggarakannya festival ini mampu mengakomodasi hak-hak anak dan mengedukasi mereka tentang tenggang rasa dan toleransi. Hal tersebut sangat penting mengingat anak-anak zaman sekarang terkesan lebih egois,” papar Setiyoko, (10/9).
Tepa selira pada sesama dan alam
Beragam kegiatan yang digelar dalam festival ini mengajak anak-anak untuk mengenali adat istiadat di sekitar mereka. Pemaknaan tepa selira dalam festival ini tidak sebatas tenggang rasa kepada sesama manusia, namun juga tenggang rasa pada alam. Mengolah sampah menjadi barang yang lebih bermanfaat adalah salah satunya. Beragam kreasi olahan sampah menjadi tema dekorasi utama baik di panggung maupun di jalan-jalan. “Pengenalan terhadap alam menjadi sangat penting. Apalagi, anak-anak yang datang tinggal di sekitar desa, dekat dengan alam. Mereka harus diajarkan untuk menjaga alam sedini mungkin,” urai Riswoko.
Sejak awal, Festival Tlatah Bocah diniatkan sebagai wadah bagi anak-anak di lereng Gunung Merapi untuk berekspresi, berkreasi, sekaligus bersosialisasi dalam mengembangkan seni dan kebudayaan tradisional. Kesenian budaya tersebut meliputi wayang orang, ketoprak, jathilan, campur bawur, jaran kepang, reog, soreng, topeng ireng, ndolalak, dan sholawat, dan lain-lain. Tak hanya dari Magelang, berbagai kelompok seni dari Ngawi, Kendal, Boyolali, Salatiga, Yogyakarta, dan Bandung juga berpartisipasi dalam festival ini.
Sejak pertama kali diselenggarakan pada 2006, festival yang dilakukan secara swadaya dan bergotong royong oleh warga ini telah memberikan dampak yang baik. Riswoko menjelaskan bahwa anak-anak semakin guyub terhadap sesama dan mencintai kesenian. Ke depan, Riswoko berharap bahwa Festival Tlatah Bocah semakin mengakomodasi kebutuhan anak-anak di tengah himpitan zaman yang tidak menentu.