Oleh: Andrew Dananjaya
Festival Wai Humba merupakan aksi budaya komunitas lokal untuk menolak masuknya korporasi pertambangan ke tanah Sumba. Digagas oleh kolaborasi kerja organisasi masyarakat sipil (Yayasan Sosial Donders, Satu Visi, Satunama, dan Komnas HAM), festival ini dihadiri sekitar 300 orang dari berbagai desa di Sumba Barat Daya, Tengah, Barat hingga Timur. CRI turut hadir sebagai wujud nyata dukungan terhadap gerakan masyarakat marginal setempat. Agenda budaya yang dilaksanakan di kaki bukit Wanggameti, Sumba Tengah ini berlangsung selama tiga hari dari tanggal 13 hingga 15 Oktober 2015. Hujan lebat serta riuhnya pagelaran semalam suntuk, tidak menyurutkan semangat komunitas lokal yang hadir untuk menyerukan: “Mari bertani, tolak tambang!â€
Festival Wai Humba digelar untuk memperingati keberhasilan jejaring masyarakat marginal dalam melawan kuasa investor tambang. Saat itu, tahun 2011 silam, investor tambang emas masuk di kawasan perbukitan Wanggameti, Sumba Tengah. Hadirnya perusahaan tambang tersebut mendapat penolakan warga yang berbuntut pada pemenjaraan tiga pemuka adat setempat. Mereka dituduh mendalangi pembakaran alat berat pengeboran milik perusahaan tambang. Tuntutan untuk pembebasan ketiga pemuka adat tersebut dilakukan dengan melibatkan sejumlah lembaga organisasi non pemerintah nasional yang pada akhirnya membuahkan hasil.
Layaknya pagelaran budaya, festival ini membuka kesempatan bagi komunitas yang hadir untuk menampilkan pertunjukan seni-budaya khas desanya masing-masing. Tak terkecuali komunitas Ice Ndaha dari desa Kalena Ronggo dan Kandahu Tana yang turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Regina menampilkan tarian Monyet yang merupakan kesenian kreasi ala Kalena Ronggo. Tabuhan gendang serta gong, meramaikan suasana saat itu.
Tidak hanya pertunjukan seni, terdapat pula diskusi paralel yang membahas persoalan komunitas. Topik diskusi yang diusung adalah seputar pertanian konservasi, pengembangan jaringan antar perajin tenun Sumba, sekaligus penggalian kembali narasi Marapu yang selama ini mulai tersingkir karena penetrasi agama formal. Sebagai partisipan, Damiana Daindoladi selaku ketua kelompok tani Ngindi Ate, Desa Bolora, Weteng, Sumba Barat Daya, menjelaskan andilnya dalam diskusi pertanian selaras alam karena ingin membagikan informasi dan pengetahuan terkait konsep pertanian yang telah diwariskan secara turun temurun kepada peserta lainnya.
“Kita orang Sumba, punya cara yang khas dalam bertani. Kita pakai model pertanian yang mengandalkan teknis lubang tanam untuk pemupukan secara alami. Tidak akan merusak lingkungan seperti yang dilakukan oleh nenek moyang dulu,†jelas Damiana Daindoladi, (11/11).
Pada sesi diskusi lanjutan, Damiana bersama komunitas perajin tenun Ice Ndaha dari Desa Kalena Ronggo juga membahas tata cara penggunaan pewarna alami sebagai alternatif pewarnaan benang tenun. Keingintahuan Damiana tentang jenis tanaman apa saja yang bisa digunakan sebagai bahan baku pewarnaan, menyambung antusiasme dialog antar komunitas tersebut.
Bertani Tanpa Tambang
Kembali pada ruh festival tersebut: Sumba terancam pertambangan. Masuknya investor dari luar kawasan Sumba tidak lain karena terbukanya peluang kerjasama dengan para elit lokal. Oknum-oknum yang bermain juga terindikasi mendapat peluang dari pejabat di tingkat kabupaten. Kondisi tersebut mendorong munculnya kesadaran akan nihilnya nilai positif bagi lingkungan, baik tatanan ekonomi, maupun sosial budaya di kawasan eksplorasi tambang. Bersama beberapa jaringan lembaga sipil, Yayasan Sosial Donders terdorong untuk melakukan advokasi bersama komunitas di kawasan Paponggu, Sumba Tengah.
Elton, dari Yayasan Sosial Donders menuturkan keresahannya dalam menentukan langkah strategis yang efektif untuk melakukan penolakan tambang secara kolektif. Dengan mempertimbangkan segala kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki, maka dipilihlah pola pengorganisasian komunitas budaya beserta religi setempat yakni Marapu melalui festival ini.
Mengusung tema “Bertani Tanpa Tambang†festival ini ingin menunjukan karakter masyarakat Sumba yang lekat dengan kehidupan agraris. Bagi masyarakat Sumba, pertanian tidak bisa lepas dari ritual Marapu. Hal ini menunjukan kearifan lokal yang terjalin secara alami dan identik dengan warisan leluhur. “Kami ingin meyakinkan kembali, bahwa melalui bertani, warga dapat hidup dengan layak. Tanpa harus merusak sistem ekologi semesta.†ujar Elton.
Senada dengan Elton, Damiana menyatakan penolakannya terhadap tambang. “Apa jadinya bumi di masa depan? Bagaimana dengan anak cucu kita, mereka akan menderita bila saat ini kita tidak berpikir soal keberlanjutan kelestarian alam. Saya benci dengan tambang,†ungkapnya. Damiana juga menjelaskan pemberian ijin masuk bagi investor tambang hanyalah sekedar dalih untuk peningkatan kesejahteraan warga setempat. “Saya masih percaya bahwa melalui bertani kami masih mampu menghidupi dan menyekolahkan anak kami. Kami tidak akan pernah mengabaikan pertanian sebagai lahan ekonomi keluarga,†tegasnya.
Menambahi pernyataan Damiana, Paulus Ngongo Pandaka, anggota kelompok tani Tura Baru, Yawila mengatakan, “Cara untuk menolak tambang adalah menyatukan persepsi dan pandangan kita soal dampak yang akan ditimbulkan dari adanya aktivitas pertambangan tersebut.â€
Wai Humba berarti air Sumba. Lokasi penyelenggaraan festival Wai Humba ini berada di antara tiga gunung yakni Wanggameti, Tanadaru dan Yawilla yang menjadi sumber mata air untuk seluruh Sumba. Bisa dibayangkan apabila terjadi pengeksploitasian lahan secara besar-besaran, sistem ekologis serta ketersediaan air akan terancam.
Puncak dari seremonial festival tersebut diakhiri dengan penutupan kembali lubang bekas galian bor tambang di bukit Wanggameti dengan ritual adat Marapu. Di sela acara penutupan tersebut, Damiana menyatakan, “Saya tidak akan rela melihat bumi Sumba ini dihancurkan oleh mesin-mesin bor.†Setelah Papua dan Bali, kini giliran Humba menyatakan dengan tegas: tolak tambang!