Warga Kelurahan Kalibaru Cilincing Jakarta Utara punya banyak pengalaman mengecewakan dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Baik oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun oleh pemerintah melalui program IDT, JPS, dan lain-lain. Karenanya warga curiga begitu ada LSM mendatangi warga dan memperkenalkan program jaringan informasi berbasiskan komunitas. Jangan-jangan mau menjual kemiskinan warga Kalibaru. Atau pergi begitu saja dengan meninggalkan masalah.
Kelurahan Kalibaru terletak di ujung pesisir Jakarta Utara. Di atas areal seluas 24,6 kilometer persegi yang membentang sepanjang 4 kilometer menghadap Laut Jawa, bermukim kurang lebih 67.000 jiwa. Mayoritas (90%) penduduk Kelurahan Kalibaru berprofesi sebagai nelayan dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan hasil-hasil nelayan. Ada pengrajin ikan, pedagang ikan basah, dan buruh nelayan. Sebagian kecil lainnya, ada yang menjadi pegawai negeri, karyawan perusahaan swasta, pengusaha kayu, penjaja kupon toto gelap (togel), dan ada juga yang menjalankan usaha prostitusi (pelacuran) di beberapa RT
Sebagaimana umumnya daerah nelayan, warga Kelurahan Kalibaru terkesan keras. Perjudian banyak ditemukan. Demikian juga minuman keras. Beberapa tahun terakhir warga mulai cemas dengan maraknya narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba). Selain itu, dari kondisi fisik lingkungan permukimannya yang padat berhimpitan, Kelurahan ini juga nampak sebagai daerah miskin. Hal ini diperteguh dengan fakta bahwa selama 8 (delapan) tahun menjadi sasaran program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Kondisi tersebut mendorong banyak pihak untuk memberikan bantuan. Beberapa program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang mulai dilaksanakan oleh pemerintah RI sejak tahun 1998 masuk. Ada Operas! Pasar Khusus (OPK) beras,JPSBK, PDM-DKE, dan lain-lain. Program pemberdayaan masyarakat oleh organisasi non-pemerintah juga masuk. Ada yang membawa program beasiswa, program pemberdayaan perempuan melalui skema kredit usaha skala kecil, program perbaikan gizi anak (World Vision), hingga upaya pena-taan permukiman warga di Kawasan Kebon Indah yang terletak di atas tanah negara. Tapi warga Kelurahan Kalibaru merasakan bantuan tersebut tidak mem¬berikan manraat nyata. Malah banyak yang malah menimbulkan kejengkelan dan kericuhan.
Kartu sehat program JPSBK yang harusnya diutamakan untuk warga termiskin malah dijual, hingga hanya warga mampu saja yang bisa mendapatkannya. Program OPK Beras pun demikian. Kadang jatahnya kurang, kadang ada biaya tambahan, dan warga juga heran karena banyak warga miskin yang justru tidak mendapatkan bagian. Warga kawasan Kebon Indah yang didampingi Urban Poor Consosium (UPC) untuk mengurus kepemilikan atas tanah negara yang ditempadnya mulai hilang kes-abaran karena urusan ddak kunjung selesai. Alhasil, interaksi dengan program-program pemberdayaan selama dga tahun membuat warga Kaiibaru menjadi waspada terhadap program-program pemberdayaan dan terhadap Lernbaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selalu tampil sebagai sosok pem¬berdayaan.
Waktu kedatangan tamu dari LSM yang memperkenalkan program Jaringan Informasi Berbasis Komunitas (Combine), warga dengan serta merta menolak, karena menganggap sama saja dengan program pemberdayaan lain atau LSM lain yang dianggap warga Kaiibaru hanya menjual kemiskinan. Berulang-ulang dua orang Bismi mendatangi para tokoh warga dan berkali-kali juga warga menolak atau membiarkan mereka. Bahkan sebelum sempat menyampaikan maksudnya.
Nurdin, seorang tokoh warga mantan ketua Karang Taruna selama tiga periode berturut-turut di tahun 1990-an, akhirnya bersedia menerima dua orang Bismi di rumahnya. Setelah mendapatkan penjelasannya tentang jaringan informasi berbasis komunitas, Nurdin mengatakan bahwa salah membawa program Combine ke Kalibaru, dan mempersilakan ke daerah lain saja. “Paling sama saja dengan yang lain,” demikian katanya.
Nurdin yang konsisten melakukan penolakan menjadi heran orang bismi tidak juga jera dan tetap datang lagi. Selain mengatakan ingin belajar dengan warga Kaiibaru, mereka datang dengan ditemani seorang warga yang telah lebih dulu memahami Combine, Ramli Asyafa. Kejengkelan Nurdin yang kabarnya dipercaya Lurah untuk menilai LSM yang masuk Kalibaru, beralih kepada Ramli. Tapi Ramli yang guru SMP di Kalibaru dan telah banyak diskusi dan membaca sendiri, tetap tenang dan menyampaikan penjelasan bahwa Combine berbeda dengan program lainnya. Dijelaskannya juga bahwa Com¬bine bukan program riil pengadaan kebutuhan warga yang bisa dimanipulasi, tapi justru program untuk mengupayakan warga menjadi pelaku utama pembangunan di daerah sendiri.
Ramli memberikan gambaran bahwa dalam program-program sebelumnya, keinginan warga kurang diperhitungkan. Warga ingin sarana air bersih malah dibangunkan jembatan, sudah begitu warga ddak terlibat banyak dalam per-encanaan dan pelaksanaannya. Nurdin yang merasakan bahwa warga Kalibaru memang sering diperlakukan sekedar sebagai penerima (obyek) dalam pro¬gram-program sebelumnya, menjadi tertarik dan akhirnya menerima. Dan sosialisasi informasi tentang jaringan informasi milik warga dan lembaga warga yang lebih mewakili, lebih dipercaya, dan lebih direstui warga bisa dilakukan di lima RW di sisi timur Kelu-rahan Kalibaru.
Di bulan Oktober 2000, Forum Warga gabungan RW 01, RW 02 dan RW 03 terbentuk, menyusul dua Forum Warga di sisi barat kelurahan meliputi RW 08, RW 09 dan RW 10 (Forum Warga pertama) serta RW 04, RW 05 dan RW 06 (Forum Warga kedua). Di awal bulan November 2000, warga setuju mengadakan musyawarah warga yang melibatkan tiga forum warga, per-wakilan dari 15 RW, aparat kelurahan, LKMD, PKK, Karang Taruna, dan beberapa tokoh warga hingga mencapai 46 orang.
Waktu musyawarah warga mencapai kesimpulan perlunya membentuk forum warga yang lebih mewakili warga, beber¬apa ddak menerima. “Kan sudah ada LKMD, koperasi, kelompok nelayan, dan lain-lain,” kata mereka. Alhasil musyawarah warga pertama gagal mem¬bentuk Forum Warga.
Para tokoh warga di tiga forum warga kemudian merencanakan musyawarah kedua satu minggu kemudian. Jumlah warga yang diundang berambah banyak menjadi 53 orang. Dalam kesempatan kedua ini sebagian besar peserta memahami dan setuju untuk membentuk lembaga warga yang lebih mewakili warga. Beberapa pengurus LKMD tetap tidak setuju dan mening-galkan forum musyawarah karena menganggap aspirasi warga bisa disampaikan lewat LKMD. 48 warga lainnya melanjutkan musyawarah, membentuk Forum Komunikasi Kelurahan Kalibaru (FK Kalibaru), hingga membentuk kepengurusan dengan ketua terpilih Ramli Asyafa. Seminggu kemudian warga berkumpul dan mengadakan rembug warga lagi untuk membuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) serta menyepakati nama baru yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Kalibaru (Fokkal).
Dalam dga bulan forum warga Kalibaru telah menjalankan beberapa program, antara lain pemantauan beberapa program JPS, melakukan pemetaan eko-nomi warga, mengidentifikasi LSM-LSM yang melaksanakan program di Kelurahan Kalibaru. Selain itu, warga menelusuri sejarah perkembangan Kelurahan Kalibaru untuk dibukukan.
Pemantauan program-program yang dikoordinasi oleh Ketua Divisi Pemantauan Fokkal, Nurdin, menghasilkan beberapa temuan tentang penyelewengan beberapa program JPS. Satu di antaranya adalah masalah pembagian Kartu Sehat program JPS Bantuan Kes-ehatan. Dari pengaduan warga, Fokkal mendapatkan informasi bahwa kartu sehat yang dimaksudkan hanya untuk keluarga prasejahtera malah dijual. Jadinya hanya warga mampu yang bisa memanfaatkan kartu sehat. Dari hasil pemantauan, ditemukan bahwa keluhan warga benar, kartu sehat dijual untuk memberikan uang jalan bagi para aparat pengelolanya. “Ini kan ddak benar, kami minta ini dihentikan,” kata Nurdin.
Agar penyelewengan ddak terulang, melalui Fokkal warga warga melakukan pendataan dan pemetaan ulang kondisi ekonomi warga untuk menentukan keluarga pra-sejahtera yang paling berhak menerima bantuan. Selanjutnya, kepada rumah sakit penerima warga yang berobat dengan membawa kartu sehat, Fokkal meminta untuk mengecek ke kelurahan apakah benar si warga memang terdaftar sebagai KPS yang layak menerima bantuan.
Upaya Fokkal mengidendfikasi LSM-LSM yang punya program di Kalibaru, menurut Ramli Asyafa, merupakan upaya warga untuk melihat kemungkinan kerjasama secara setara antara warga dengan LSM. LSM harus tahu apa keinginan warga dan coba menyesuaikan. “Kalau ada keseuaian akan kita ajak untuk membuat peren-canaan bersama dan melaksanakannya juga bersama-sama,” katanya.
Untuk menyebarluaskan program-program dan hasilnya, Fokkal menjalin kerjasama dengan para pemuda Kalibaru yang sejak sebelum Fokkal berdiri telah menerbitkan media warga buletin “Kalibarw”. Buledn warga yang dikelola para pemuda Kalibaru ini dipandang sangat berard bagi pengembangan ke-terbukaan di kalangan warga. Melalui media ini diharapkan para aparat kelurahan juga bisa menyampaikan informasi program-program kepada warga, dan warga bisa melakukan pemantauan.
Tapi saat ini Fokkal belum bisa berharap terlalu banyak pada buletin Kalibaru, karena masih banyak keterbatasan. Untuk itu Fokkal akan membantu dm buletin Kalibaru untuk meningkatkan kemampuannya. “Kita akan mengadakan pelatihan jurnalistik bagi para pengelola buletin dan para pemuda lain yang berminat,” kata Ramli. ***