Oleh Zein Mufarrih Muktaf
Mendapatkan jaminan kesehatan yang layak bagi masyarakat miskin nampaknya masih mEnjadi impian. Ditambah lagi dengan pelayanan buruk rumah sakit yang sering dikeluhkan oleh beberapa pasien. Buku terbitan Resist. “Orang Miskin Dilarang Sakit” cukup mewakili realitas ini.Sebenarnya pemerintah telah memberikan fasilitas kesehatan gratis untuk warga miskin melalui Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin). Program pemerintah tersebut jelas sangat membantu warga miskin mendapatkan kesehatan yang layak. Namun sosialisasi yang kurang membuat banyak warga miskin belum mendapatkan fasilitas tersebut. Ngadiman, penjaja makanan kaki lima di kawasan Alun-alun Kidul di Yogyakarta, menuturkan, bahwa dirinya belum mendapatkan kartu Askeskin. Ngadiman yang asalnya dari Ambarawa ini, menjelaskan, dirinya telah menikah dengan warga Yogyakarta dan sudah berganti KTP sebagai warga setempat. Namun sampai sekarang dirinya belum dapat kartu tersebut. Saat ditanya mengenai prosedur pembuatannya ia menjawab tidak tahu. Ngadiman mengatakan, ia malah didatangi pengurus RT wilayah lain dan bukan pengurus RT tempat ia tinggal. “Saya disuruh mengumpulkan foto dan Kartu Keluarga, tap! sampai sekarang befum dapat,” papar Ngadiman.
Ada pula yang sudah mempunyai kartu namun masih ragu untuk menggunakannya. Itulah yang terjadi pada keluarga Mulyono dan Asriatun. Alasannya, mereka takut jika tidak benar-benar gratis. “Maklum jika orang seperti saya ini masih takut memakai kartu tersebut, saya takut tetap keluar duit,” ujar Mulyono yang juga penjual tanaman hias di kawasan Keraton Yogyakarta. Walaupun belum pernah menggunakan, menurutnya ia sangat terbantu oleh adanya Askeskin tersebut.Jika memang merasa terbantu, saat Kombinasi menanyakan apakah sebelumnya pernah mendapatkan layanan kesehatan dari pemerintah, istrinya menjawab pernah. la dan keluarganya sangat tertolong saat melahirkan anak yang kedua. Dengan adanya program Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), iajadi cukup ringan saat melahirkan.
Mulyono memang sedari awal mengerti tahap-tahap yang harus dilakukan dalam pemakaian kartu tersebut. Seperti, terlebih dahulu datang ke Puskesmas lalu jika ada rujukan baru ke rumah sakit tipe C dan seterusnya. Hanya pengetahuan mengenai prosedur penggunaan Askeskin ini belum merata di masyarakat.
Kepala Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan Sosial (Bapel Jamkessos) Yogyakarta dr Suratimah Wiyono mengakui, bahwa sosialisasi asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin (Askeskin-red) memang masih konvensional, sebab hanya melibatkan peran kelurahan dan kecamatan yang bersangkutan. Ia menyadari, bahwa sosialisasi dengan cara seperti itu memang masih kurang dan perlu ditingkatkan kembali. Seperti yang tengah digalakkan adalah sosialisasi melalui puskesmas dan posyandu dengan dibantu kader-kader kesehatan. Dengan adanya kampanye yang cukup intensif mengenai Askeskin, mungkin saja bisa mengurangi pelayanan rumah sakit yang kurang baik terhadap pemegang kartu ini.
Terkait dengan fenomena diskriminasi pemaka! kartu Askeskin dalam pelayanan di rumah sakit, dengan tegas Suratimah membantah. “Itu semacam stigma saja jika memang itu benar terjadi, ia mengharap peristiwa tersebut akan secepatnya hilang. la menambahkan bahwa sekarang rumah sakit telah mendapatkan kepastian. Menurutnya dengan adanya kerja sama yang baik antara rumah sakit dengan pihak asuransi, maka tidak ada lagi pelayanan yang buruk dan diskriminatif.
PT Askes yang juga menangani Jamkessos Askeskin ini juga menawarkan juga program baru bagi pengguna asuransi mandiri. Program ini bertujuan menjaring minat masyarakat yang sebenarnya mampu untuk ikut aktif dalam asuransi premi mandiri. Biaya premi untuk satu bulan sebesar Rp 5.000, jika dibayar satu tahun sebesar Rp 60.000. Namun sosialisasinya masih belum maksimal. Suratimah menjelaskan, aturan untuk asuransi premi mandiri minimal 20 orang baru bisa mendaftar “Kami memakai kelompok-kelompok dalam masyarakat seperti kelompok ibu-ibu pengajian, kelompok kesenian, dan lainnya,” jelas Suratimah. Walaupun menurutnya jumlah minimal 20 orang masih sangat riskan.
Tahun 2007 ini diharapkan uji coba untuk asuransi mandiri bisa terwujud. “Ini sesuai dengan program Jogja Sehat,” tutur Suratimah. “Perlu uji coba terlebih dahulu karena masih rendahnya kesadaran akan penjaminan kesehatan, dan belum dipandang sebagai kebutuhan,” tuturnya menutup pembicaraan.