Oleh Basri Andang
Sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda, hasil damar dari Sando Batu telah terkenal. Sayangnya, produksinya terhenti akibat permainan dagang para tengkulak. Setelah telantar selama puluhan tahun, kini, getah damar Sando Batu “menetes” kembali. Pasalnya, petani berhasil membuka jaringan pasar dengan eksporter yang menawarkan pesanan produksi paling sedikit 20 ton per bulan. Kejayaan damar di wilayah Sando Batu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan mencapai puncaknya pada tahun 1930-an atau pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Ketika itu, wilayah itu terkenal sebagai pusat niaga getah damar, sampai-sampai transaksi damar dilakukan di tengah hutan, yang oleh masyarakat sekitar dikenal dengan nama Pasa’ Bombo’ atau pasar di dalam hutan. Kala itu, siang-malam transaksi jual-beli damar sangat ramai di dalam kawasan hutan. Pedagang dari berbagai daerah pun berdatangan, terutama dari Toraja dan Luwu. Masyarakat juga telah mengembangkan pembibitan dan penanaman damar di sekitar perkampungan dengan maksud memudahkan masyarakat melakukan penyadapan. Upaya ini diawali dengan pembuatan lokasi percontohan pembibitan damar oleh mantri kehutanan yang bernama Nu’mang pada tahun 1930.
Bandulu, pemuka adat Sando Batu, mengakui bahwa kebijakan Pemerintah Belanda kala itu sangat mendukung dengan memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Meskipun mereka boleh memanfaaatkan pohon damar, namun pengelolaannya tetap diatur secara adat, sehingga hasil hutan itu bisa tetap terpelihara. Konon, sebelum memasuki hutan untuk menyadap damar, masyarakat melaksanakan ritual penyembelihan tiga ekor ayam. Maksudnya, permohonan izin dan penghormatan bagi leluhur yang hidup di hutan. Selain maksud tersebut, daging ayam itu juga menjadi bekal makanan selama di hutan karena biasanya mereka bermalam hingga beberapa hari di hutan.
Sejak tahun 1980-an, aktivitas penyadapan damar di wilayah Sando Batu terhenti akibat terputusnya pasar. Masyarakat pun perlahan meninggalkan hasil hutan tersebut, dan hanya memanfaatkan damar untuk alat penerangan yang disebut pelita. Kala itu, minyak tanah dan bahan bakar minyak lainnya sangat susah didapat, apalagi di daerah pegunungan seperti di wilayah masyarakat adat Sando Batu. Potensi damar yang mampu menyokong penerangan masyarakat telah memicu jiwa bisnis seorang warga bernama Ambe Salassa. Ia berhasil memperoleh pasaran di luar kampung. Namun, setelah ia tiada, tak ada lagi pengusaha yang mengetahui seluk beluk pasar damar. Pada saat itu, masyarakat masih melakukan penyadapan dengan cara tradisional yang kurang memperhatikan keberlanjutan hidup pohon sehingga banyak pohon damar yang mati. Masyarakat secara asal melukai kulit pohon damar dengan prinsip yang penting keluar getahnya. Ternyata, cara itu mengakibatkan kematian pohon damar dan menghentikan aktivitas masyarakat penyadap getah.
Lalu, tahun 2006 lalu, seorang pedagang pengumpul dari ibukota Kabupaten Sidrap menawarkan pembelian damar, yang langsung direspon oleh masyarakat. Dalam waktu relatif singkat, tidak sampai sebulan masyarakat sudah mampu mengumpulkan sekitar dua ton getah damar. Lagi-lagi, masyarakat harus menelan pil pahit tata niaga damar karena tertipu sang pedagang. Dua ton damar Sando Batu yang diangkut pedagang itu belum dibayar, sampai sekarang.
Jatuh bangunnya usaha damar masyarakat adat Sando Batu, membawa trauma yang amat dalam bagi petani damar, dan bukan perkara mudah mengembalikan motivasi mereka untuk kembali mendamar. Belum lagi, adanya sejumlah diskriminasi oleh pemerintah setempat dan ketertinggalan pembangunan yang dirasakan masyarakat Sando Batu menambah beban hidup masyarakat yang masih mempertahankan adat sebagai landasan hidup itu.
Menurut Pelaksana Tugas Sekpel AMAN Sulsel Sirajuddin, pihaknya berupaya mendorong kemandirian ekonomi masyarakat adat Sando Batu. Dimulai dengan bagaimana membangkitkan semangat petani damar agar tumbuh kepercayaan diri bahwa mereka mampu mandiri secara ekonomi dengan melakukan pengelolaan sumber daya alam lokalnya secara langsung dan terorganisasi.
Dengan fasilitasi AMAN Sulsel, terbentuk sebuah kelompok usaha petani damar bernama Temmapole yang berlokasi di Dusun Lengke, Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap yang kemudian menjadi pemancing lahirnya kelompok petani damar di empat dusun lainnya. Kelompok ini akan lebih kuat jika difasilitasi dan dipayungi lembaga ekonomi di tingkat desa.
Yang menggembirakan adalah petani damar Sando Batu sudah membuka akses jaringan pasar, yakni bekerja sama dengan dua perusahaan eksporter damar di Makassar yaitu PT Gold dan CV Indra Jaya, selain PT Bumi Aman Lestari (PT BAL) yang selama ini memfasilitasi peningkatan sumber daya manusia dan akses pasar komoditi masyarakat adat. Pihak PT Gold, misalnya, siap membeli damar masyarakat sebanyak 20 ton per bulan dan memberikan jaminan kesinambungan pembelian. Harga pun disepakati sesuai kualitas damar yang terdiri atas: damar putih (kelas AA) yang dihargai Rp 4.000-5.000 ribu per kilogram dan damar asalan (kelas WS) dihargai antara Rp 3.000-4.000 ribu per kilogram. Sedangkan dengan CV Indra Jaya disepakati untuk menerima damar Sando Batu berapa pun jumlahnya. Adapun penetapan harga sesuai kualitas, seperti damar asalan dibeli dengan harga Rp 4.000-5.500 per kilogram, sedangkan damar loba bersih dibeli seharga Rp 6.000-7.500 per kilogram.
Selain mendapatkan informasi harga jenis damar yang umum, masyarakat Sando Batu mendapatkan informasi harga jenis damar berkualitas tinggi dan harganya pun mahal, sekitar Rp 20 ribu per kilogram, yaitu jenis dama-dama. Jenis ini di wilayah Sando Batu lumrah disebut dama siallo yang banyak tumbuh hampir di seluruh wilayah Sando Batu, bahkan banyak tersebar di sekitar perkampungan, terutama di dataran rendah.
Menurut Ketua LKMD Leppangeng Syamsuddin, setelah terbukanya akses pasar, motivasi warga kini bangkit kembali. Apalagi banyak pedagang besar yang memberikan penawaran secara langsung kepada para petani. “Ini menunjukkan bahwa prospek pasar damar Sando Batu cukup besar, dan terbuka peluang bagi petani damar Sando Batu untuk meraih kejayaan damar yang lama hilang,’’ tambahnya. Harapannya, apa yang telah dilakukan AMAN Sulsel tersebut dapat memandirikan masyarakat adat secara ekonomi dan mampu mengembalikan kejayaan damar Sando Batu. Semoga, getah damar Sando Batu dapat menetes lagi sehingga pundi-pundi emas para petani damar pun akan menumpuk lagi.***