Oleh: Natma S*
Berawal dari Blank Spot
Berada di wilayah “blank spot” alias tidak terjangkau siaran televisi, tidak lantas membuat warga Grabag menjadi kurang pergaulan ataupun gagap teknologi (gaptek). Sebaliknya, keterbatasan itu menjadi kekuatan besar yang kemudian menjadikan warganya kreatif membuat siaran televisi sendiri.
Grabag adalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Alamnya subur, dengan ketinggian 680 meter di atas permukaan laut. Iklimnya yang sejuk menjadikan wilayah ini cocok untuk pertanian dan tempat tinggal.
Kondisi geografis ini tidak selalu menguntungkan. Grabag yang dikelilingi perbukitan, menjadikan wilayah ini “blank spot”. Tidak ada siaran televisi swasta yang bisa dinikmati secara bebas oleh warga. Warga Grabag hanya bisa menikmati siaran TVRI, kecuali warga yang mampu membeli perangkat parabola.
Dengan parabola, mereka bisa menikmati siaran televisi swasta Indonesia, bahkan beberapa stasiun televisi internasional. Tetapi, bagi sebagian besar warga Grabag, parabola adalah sebuah kemewahan yang tak mampu dijangkau.
Sebagian warga bisa menikmati siaran RCTI dan Trans TV melalui sarana relai yang ada di kecamatan. Namun, daya jangkaunya sangat terbatas, sehingga tidak menjangkau semua area kecamatan. Kualitas gambar pun tidak jernih.
Berawal dari keterbatasan tersebut, Hartanto, seorang dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), menginisiasi berdirinya sebuah stasiun televisi komunitas. Tahun 2004, pria yang beristrikan seorang perempuan warga Grabag itu mendirikan Grabag TV.
Tentu saja, bukan sebuah upaya yang mudah mendirikan sebuah stasiun televisi. Hanya bermodal semangat, Hartanto berhasil mengajak 10 orang warga di sekitar tempat tinggalnya. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, mulai petani, guru, pegawai kantoran hingga supir truk.
Peralatan dan instalasi diperoleh iuran. Sebuah ruangan di rumah Hartanto disulap menjadi studio. Untuk pemancar, mereka menumpang di antenna relai milik kecamatan. Dengan segala keterbatasan yang ada, di sinilah mereka kemudian berkreasi untuk memenuhi kebutuhan informasi bukan dari luar Grabag, tapi justru dari dunia mereka sendiri.
Sebagai televisi komunitas, Grabag TV memfokuskan diri pada tiga bidang kehidupan komunitasnya, yakni pertanian, pendidikan dan kesenian. “Ada acara apa di bidang tersebut, kami mendokumentasikan kemudian menyiarkannya,” ungkap Hartanto.
Jangan membayangkan mereka mengadakan sebuah forum dengan pemateri dan audience untuk sebuah tayangan program. Keterbatasan membuat mereka memanfaatkan kegiatan sehari-hari sebagai materi tayangan.
Mungkin tak terbayangkan bagaimana produksi sebuah acara televisi dilakukan sendiri oleh satu orang. Tapi inilah yang terjadi di Grabag TV. Sembari bekerja, para pelopor ini sekaligus menjadi pekerja media audio visual. Mereka merekam sendiri kegiatan mereka, memandu acara, memaparkan materi hingga mengolah hasil rekaman dan menyiarkannya.
Hasilnya, tentu saja bukan sebuah tayangan acara yang penuh hingar-bingar musik dan pencahayaan. Yang ada adalah tayangan kegiatan sehari-hari warga Grabag, terutama para pelopornya, seperti tayangan pertanian di sawah yang berisi informasi-informasi praktis cara bertanam. Ada pula tutorial tentang cara belajar yang diajarkan oleh pelopor yang seorang guru.
Paling sering, adalah tayangan pentas seni. Wilayah Grabag terdiri belasan dusun, masing-masing memiliki kelompok seni, bahkan tidak hanya satu jenis, seperti jathilan, soreng dan kuntulan. Setiap ada pentas seni, Grabag TV menyiarkannya, sehingga warga yang tidak menonton di lokasi, bisa menikmatinya dari rumah.
Pemberdayaan Warga untuk Bersama
Suatu hari, Anwar Sadat, seorang petani di Desa Grabag Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang, berjalan bergegas menuju sawahnya. Ia membawa handycam dan tripod. Sampai di lahannya, segera perangkat perekam itu dipasang di pematang.
Mode “merekam” ia aktifkan. Setelah “ON”, ia kemudian berpindah ke depan kamera. Dengan gaya bak presenter acara televisi, ia mulai berceloteh ke kamera. Ia menerangkan tentang tata cara penanaman cabai yang benar. Tidak hanya bercerita, ia pun mempraktekkan dan menunjukkan langsung tata caranya, sambil tetap menghadap ke kamera.
Setelah penjelasan dianggapnya cukup, ia menutup acara tersebut, berpamitan, kemudian segera lari ke belakang kamera dan mematikan tombol. Selesai sudah proses pengambilan gambar. Selanjutnya alat perekam itu dibawanya ke Studio Grabag TV untuk diedit menjadi sebuah tayangan.
Kegiatan serupa menjadi hal yang biasa dilakukan oleh Anwar Sadat. “Sudah biasa kami menjadi kameramen, petani, pendidik, sekaligus reporter. Semua dikerjakan oleh satu orang,” katanya, ketika bercerita tentang pengalamannya bergabung dengan Grabag TV.
Rekaman tersebut kemudian ditayangkan di Grabag TV. Hanya mengudara dua hingga lima jam sehari membuat Grabag TV selalu dinanti warga. Anwar sendiri awalnya merasa kaget dengan gambarnya yang muncul di televisi. “Namun, lama-lama semakin banyak yang tertarik dan ikut bergabung,” katanya.
Meski harus bekerja dengan penuh keterbatasan, ia mengaku tetap tertarik untuk terus menghidupkan Grabag TV. Alasannya, dunia penyiaran menjadi sarana belajar untuk bidang yang tak pernah terlintas akan dikenal oleh petani ini.
Pelopor lainnya, Gentur Saptono, mengaku lebih bersemangat dalam bekerja menjadi penggiat pertanian. Sejak ikut bergabung di Grabag TV, pikirannya semakin kreatif mencari cara-cara baru yang efisien di bidang pertanian. Hasil temuannya yang meskipun belum dibuktikan secara ilmiah, bisa langsung ia ajarkan pada masyarakat dengan cara disiarkan melalui Grabag TV.
Manfaat lain ia rasakan ketika mensosialisasikan program baru dari pemerintah di bidang pertanian. Dengan sekali sosialisasi yang dilaksanakan di satu forum sambil direkam oleh Grabag TV, hasilnya bisa diketahui oleh lebih banyak warga yang menonton melalui siaran televisi. “Dampak lain, saya jadi terkenal. Banyak orang yang menyapa saya, padahal saya tidak kenal mereka. Katanya melihat saya di televisi, ha ha ha..!” kelakarnya.
Perjuangan membuat rekaman dan siaran yang dilakukan oleh para pelopor ini, tak jarang mendapatkan hasil yang sepadan. Ini seperti diakui oleh Muslih. Salah satu pelopor Grabag TV yang seorang guru MTsN Grabag ini membuat video profil sekolahnya, yang kemudian disiarkan di Grabag TV.
Hasilnya, sekolah yang biasanya setiap tahun ajaran baru menolak rata-rata 160 siswa, setelah profil tayang di Grabag TV, mereka terpaksa menolak 220 siswa karena pendaftar lebih banyak. “Jadi, Grabag TV membuat daya tarik untuk sekolah kami,” katanya.
Tidak hanya semangat mendapatkan manfaat, Wiwik Pambudiharto lebih menikmati bergabung bersama Grabag TV sebagai upaya memberikan apa yang ia miliki dan ia lakukan. “Yang penting bisa menyalurkan apa yang saya ketahui,” kata wirausahawan di berbagai kegiatan usaha tersebut.
Tanpa terasa, perjuangan para pelopor itu telah mencapai 11 tahun. Awal November 2015 lalu, Grabag TV merayakan ulang tahun ke 11. Sebuah pesta kecil digelar, dengan puncak acara adalah pemberian piagam penghargaan pada 10 pelopor Grabag TV.
Subagjo, akademisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang hadir pada acara tersebut mengungkapkan Grabag TV bukan hanya media penyiaran tetapi juga media pendidikan. “Sekarang ini, tidak banyak media yang bertahan. Perkembangan yang sudah berhasil dicapai oleh Grabag TV menjadi bukti semangat mereka. Kami akan selalu mendukung, agar ke depan Grabag TV menjadi lebih besar dan lebih mendunia,” katanya.
Grabag TV dan Perkembangan Teknologi
Menjadi sebuah media penyiaran, Grabag TV mengalami pula permasalahan yang dihadapi televisi komunitas lain, yakni regulasi penyiaran. Memancarkan siaran melalui antena relai milik kecamatan, awalnya meraka menggunakan very high frequency (VHF) dengan jangkauan wilayah di radius 2,5 kilometer.
Perubahan aturan pada 2009 mengharuskan stasiun televisi termasuk media komunitas berpindah ke Ultra High Frequency (UHF). Perpindahan ini membutuhkan biaya yang tidak mampu dijangkau Grabag TV, karena mereka harus memancar dengan jangkauan minimal 65 kilometer.
Kesulitan ini membuat Grabag TV terpaksa menghentikan siaran. Belum lagi, mereka dihadapkan pada aturan izin siar untuk media komunitas. Perkembangan aturan yang akan merubah televisi menjadi televisi digital membuat mereka semakin pesimis untuk mendapatkan izin penyiaran.
Hingga tahun 2010, mereka masih mengambang dengan mengharapkan frekuensi siaran yang legal namun kesulitan mengikuti regulasi. Pada saat itu, Grabag TV terpaksa vakum dari kegiatan siaran. Namun, mereka tetap bertahan dengan melayani siswa SMK yang melakukan praktek kerja industri (prakerin). Pengelola juga mengisi waktu dengan mengadakan workshop dan pelatihan tentang media.
Sejumlah SMK dari sejumlah wilayah di Indonesia, telah bekerja sama dengan mengirim siswa untuk belajar tentang media dan penyiaran di Grabag TV. Berdasarkan catatan, sejak tahun 2007, sudah 872 siswa yang mengikuti prakerin di Grabag TV.
Hingga akhirnya, perkembangan teknologi menjawab permasalahan regulasi ini. Teknologi internet yang semakin mudah diakses dengan perangkat komputer hingga telepon seluler dimanfaatkan oleh Grabag TV dengan beralih menjadi televisi internet. Pada 2014, bersamaan dengan ulang tahun kesepuluh, mereka mendeklarasikan diri sebagai televisi internet.
Televisi internet menjadikan Grabag TV lebih mudah melangkah. Mereka bisa diakses melalui website grabagtv.com maupun situs youtube.com. Waktu siaran pun tidak lagi harus di jam-jam tertentu karena internet akan menyimpan materi siaran mereka. Materi ini dengan mudah ditonton oleh pengakses internet kapanpun. Program tayangan juga tersimpan terus di dunia maya sehingga pengakses internet bisa memilih materi yang ingin ditonton.
Perubahan mode siaran ini juga merubah semboyan Grabag TV. Jika semula mereka bersemboyan “Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat, Untuk Masyarakat” kini berubah menjadi “Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat, Untuk Bangsa”.
“Dengan disiarkan di internet, Grabag TV bisa diakses oleh siapapun di seluruh penjuru dunia. Ini membuat jangkauan kami menjadi lebih luas dan kami bisa bermanfaat untuk dunia,” kata Hartanto.
Televisi Komunitas dan Literasi Media
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Teknologi telah menjadi dasar pertumbuhan media komunikasi massa dan media komunikasi interpersonal audio visual. Berada di ranah ini adalah film, televisi, internet dan telepon selular.
Di sisi lain, media menjadi sarana yang memiliki dua sisi. Media bisa bersifat madu yang memberikan manfaat, tetapi juga bisa bersifat racun yang merusak. Media bisa memberikan pencerahan atau sebaliknya, menghancurkan kehidupan manusia, tergantung muatannya.
Pertelevisian di Indonesia saat ini telah dikuasai oleh televisi swasta. Undang-undang Nomor 32 Tahun Tentang Penyiaran menyebutkan bahwa televisi swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial. Karenanya, menjadi hal yang lumrah ketika televisi swasta hanya mementingkan sisi komersial daripada edukasi.
Ketika televisi swasta telah mendominasi sistem pertelevisian di negeri ini, maka tentu materi siaran televisi didominasi dengan citarasa komersial dan tidak ada kesempatan terpeliharanya keragaman dan tumbuhnya kearifan lokal. Televisi publik dan televisi komunitas yang semestinya menjadi penyeimbang, terberangus dengan kapitalisme.
Begitu pula di internet. Internet menjadi media komunikasi yang semakin efektif mengingat perkembangan teknologi membuat saat ini internet bisa diakses dengan mudah melalui ponsel. Hampir semua orang dewasa, bahkan anak-anak telah memiliki ponsel pribadi, bahkan satu orang bisa memiliki lebih dari satu unit.
Seperti halnya televisi, muatan di internet kini semakin bervariasi. Tentu saja, muatan ini memiliki dua sisi, madu dan racun. Muatan di youtube.com memiliki manfaat sebagai media pembelajaran yang disertai tutorial, namun juga bisa menjadi racun, mengingat konten di youtube.com diunggah oleh masyarakat tanpa sensor, seringkali tanpa etika dan tak memperhitungkan dampaknya bagi publik.
Berawal dari pemikiran tersebut, Hartanto menggagas sebuah pemikiran “literasi media”. Secara sederhana literasi media diartikan sebagai melek media. Batasan yang lebih formal yakni kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasikan media.
Dari batasan ini terkandung dua arah pengertian, yaitu kemampuan untuk membaca (decode) media dengan kritis dan kemampuan untuk menulis (encode) media.
Grabag TV mewadahi pemikiran tersebut. Media komunitas ini diharapkan mengimbangi tayangan mainstream di media yang ada saat ini. “Kami ingin mengimbangi video mainstream, dengan memberi tayangan yang bermanfaat,” tutur Hartanto.
Hasilnya, respon masyarakat yang luar biasa. Bahkan, respon lebih banyak berasal dari warga luar Grabag, yang terlihat dari komentar maupun umpan balik para pencari informasi. Tingginya respon inilah yang membuat Grabag TV tetap bersemangat untuk bertahan.
* Pemerhati media komunitas di Magelang