Era 1980-an Cilacap-Kalipucang ditempuh dengan jalur transportasi air. Ada 15 kapal besar berkapasitas hingga 300 orang beroperasi di sepanjang jalur ini. Ada juga ratusan Compreng yang meramaikan jalur ini. Namun, sedimentasi di Segara Anakan menyebabkan jalur transportasi menjadi sempit dan dangkal. Kapal pun menghilang.
Sebagian besar armada transportasi dikelola oleh Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Kabupaten Cilacap dan Ciamis. Kapal terbuat dari besi seperti kapal ferry, bedanya panjang dan besarnya lebih kecil dibanding kapal-kapal yang beroperasi di transportasi selat. Di badan kapal tertulis kata TA dilanjutkan dengan nomor serinya sehingga warga menyebutnya dengan kapal TA-1, TA-2, dan seterusnya. Selain itu, ada juga armada yang dikelola oleh perusahaan swasta, seperti kapal Kasih Sayang dan Sundawa.
Dulu, kapal-kapal tersebut menjadi primadona angkutan penyeberangan. Jam keberangkatan dibagi menjadi pagi dan siang. Di pagi hari, jadwal dimulai 07.00, 08.00, dan 09.00. Untuk siang 11.00, 12.00, 13.00. Selain mengangkut warga yang berpergian, kapal-kapal itu juga sering mengangkut penumpang turis manca negara yang berlibur di Pantai Pangandaran maupun Yogyakarta. Tak jarang para turis mampir di Cilacap dan Banyumas untuk mengunjungi objek wisata Benteng Pendem dan Batu Raden.
Kini, semua jalur itu sudah punah. Setiap tahun jutaan meter kubik lumpur yang terbawa arus Sungai Citanduy dan Sungai Cimeneng mengendap di kawasan ini. Sedimentasi di laguna Segara Anakan menyebabkan transportasi laut terkendala. Sejak 2000 Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur Cilacap-Kampung Laut-Kalipucang sehingga transportasi ke tiga desa di Kampung Laut, yaitu Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang nyaris terputus.
Pilih Jalur Darat
Saat ini warga Kampung Laut hanya dapat mengandalkan kapal compreng. Compreng adalah sebutan bagi perahu yang terbuat dari papan kayu menggunakan mesin tempel dengan daya kecil. Kapal compreng bisa mengangkut maksimal 16 orang. Jenis angkutan ini mendapat izin resmi dari Dinas Perhubungan Kabupaten Cilacap untuk mengangkut penumpang.
Namun, sebagian besar armada Compreng hanya beroperasi pada hari-hari yang dimanfaatkan warga untuk berbelanja. Jalur Kampung Laut ke Kalipucang hanya ramai di hari Senin dan Kamis, sementara jalur ke Cilacap Sabtu dan Minggu. Di luar waktu-waktu itu, para pengelola Compreng memilih libur karena sepinya penumpang. Mereka memanfaatkan armadanya untuk mengangkut kayu bakar, mencari air bersih, atau dibiarkan tertambat di pangkalan.
Tidak menentunya armada laut membuat masyarakat memilih jalur darat. Banyak warga Ujung Alang memilih mengendarai sepeda motor menyusuri jalan setapak sepanjang Pulau Nusakambangan lalu menyeberang ke Cilacap. Awalnya jalan-jalan di Pulau Nusakambangan dibuat untuk menuju beberapa Lembaga Pemasyarakatan. Kini, masyarakat umum ikut memanfaatkannya. Dari pelabuhan timur Nusakambangan kita tinggal menyebarang ke Pelabuhan Sentolo Kawat dengan jarak kurang dari 1 Km.
Jalur darat ternyata lebih efektif. Bila menggunakan jalur air (Compreng) mereka membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam, melalui jalur darat (sepeda motor) cukup dengan 30-45 menit. Namun, jalur darat baru dapat dilalui engan sepeda motor sehingga untuk sarana angkutan besar, warga tetap menggunakan armada Compreng.
Sedimentasi Segara Anakan
Usaha menyelamatkan Segara Anakan telah dilakukan sejak dulu. Pada 1931, De Haan, seorang pejabat Pemerintah Kolonial Belanda telah menaruh perhatian pada tingginya tingkat sedimentasi. Kini, kekhawatiran De Haan menjadi kenyataan. Perairan yang terletak di selatan Cilacap dan berbatasan dengan Pulau Nusakambangan di sebelah timur dan wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, itu nyaris tinggal hikayat.
Cepatnya sendimentasi dapat dilihat dari penyempitan Segara Anakan. Badan Pengelolaan Kawasan Segara Anakan (BPKSA) mencatat wilayah perairan Laguna Segara Anakan pada 1903 masih 6.450 Ha. Namun pada 1939, luasnya tinggal 6.060 Ha. Sekitar 1971, luas Segara Anakan menyusut lagi menjadi 4.290 Ha. Pada 1992, luas perairan yang tersisa tinggal 1.800 Ha (Barnabas: 2008).
Besarnya pengaruh sedimentasi dengan cara yang lebih sederhana, yaitu penyempitan pintu arus pertemuan antara Samudera Hindia dengan laguna di Plawangan. Pada 1990 lebarnya masih mencapai 240 meter, setelah dua dasa warsa selanjutnya menjadi 60 meter. Kedalamannya pun menjadi semakin dangkal, mulai dari minus 0,63 meter sampai 4,6 meter.
Rintis Wisata Lingkungan
Habis compreng, terbitlah masalah. Minimnya penumpang umum membuat para pengelola compreng memutar otak. Pada tahun 2004, Forum Warga Kampung Laut merintis jalur wisata lingkungan. Mereka menawarkan paket wisata lingkungan mangrove dan aneka ragam biota laut. Para wisatawan akan diajak menelusuri laguna dengan perahu Compreng.
Forum warga telah menawarkan paket wisata ini ke sekolah-sekolah. Kerusakan hutan mangrove akibat penebangan kayu mangrove secara liar. Pada 1995 hutan mangrove masih seluas 9.804 ha, saat ini tinggal 7.553 ha. Semua itu terjadi karena tidak ada pendidikan lingkungan yang diajarkan di bangku-bangku sekolah. Wisata lingkungan akan mendorong anak-anak sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi untuk belajar mengamati fenomena lingkungan.
Segara Anakan menyimpan sejumlah keunikan. Kawasan mangrove di Segara Anakan merupakan kawasan terluas yang mendukung kehidupan minimal 85 jenis burung, termasuk 160–180 Bangau Bluwok (mycteria cinerea) dan 25 Bangau Tongtong (leptoptilos javanicus). Keduanya tercatat sebagai burung terancam punah. Di samping itu, hutan mangrove merupakan surga bagi berbagai spesies ikan, udang, dan kepiting yang menjadi andalan para nelayan Kampung Laut.
Kustoro, Ketua Badan Penyiaran Komunitas Gema Nusa, Kampung Laut, Cilacap