Oleh Rohman Yuliawan
Bila ada kisah penguasaan Bahasa Inggris bisa mengubah nasib atau karir seseorang, itu biasa. Kalau Bahasa Inggris mampu mengubah wajah suatu perkampungan, itu baru berita. Hal yang belakangan inilah yang terjadi di Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kota kecamatan kecil yang terletak 24 kilometer timur laut Kota Kediri ini, selain terkenal sebagai sentra komoditas madu lebah dan sawo manila, kini memiliki beberapa desa yang dilekati predikat sebagai “kampung Inggris”. Bukan karena banyak bule-nya, melainkan karena maraknya tempat kursus Bahasa Inggris di wilayah ini.Tulungrejo dan Pelem, dari dua desa inilah paling tidak sebutan kampung Inggris berasal. Di sanalah berderet puluhan lembaga kursus yang mengajarkan kemampuan berbahasa Inggris pada ribuan anak muda dari berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja Basic English Course (BEC), Effective English Conversation Course (EECC), Mahesa Institute, Smart International Language College, Manggala English Zone dan sederet nama lainnya. Sebagian besar lembaga kursus ini baru berdiri empat atau lima tahun yang lalu, tetapi beberapa di antaranya telah dikenal sebagai pusat belajar Bahasa Inggris sejak awal tahun 1990-an. Bahkan BEC, pendahulu dari semua lembaga kursus yang ada di Pare, sudah berdiri sejak tahun 1977.
Sebenarnya bukan hanya Bahasa Inggris saja yang ditawarkan oleh lembaga kursus di kawasan Tulungrejo dan Pelem, tapi juga bahasa Jepang, Mandarin dan Arab. Akan tetapi karena jumlah lembaga dan peminatnya tidak sebanyak di tempat kursus Bahasa Inggris, wilayah ini akhirnya lebih dikenal sebagai kampung Inggris. “Yang paling awal berkembang dan diminati memang kursus Bahasa Inggris. Saat ini dari 84 lembaga di seluruh Kecamatan Pare, paling tidak 80-an persen mengajarkan Bahasa Inggris,” ungkap Muhammad Kalend (61), pendiri BEC sekaligus tokoh yang berada di balik perkembangan sentra kursus Bahasa Inggris di Pare.
Mister Kalend, demikian ia biasa disapa penduduk sekitar dan para siswa kursus, awalnya mendirikan BEC untuk membantu sejumlah mahasiswa yang kesulitan memahami teks-teks bahasa Inggris. la sendiri memperoleh kemampuan berbahasa Inggris berkat bimbingan almarhum Ustadz Yazied, pengelola Pondok Pesantren Darul Falah, Pare, yang juga ahli bahasa dan konon menguasai 8 bahasa asing. Kini, setelah 28 tahun berjalan BEC tumbuh menjadi lembaga kursus terbesar di Pare dengan siswa mencapai 800 orang setiap enam bulannya.
Laris Tanpa Iklan
Citra Tulungrejo dan Pelem sebagai “kampung Inggris” telah memikat minat banyak anak muda dari berbagai daerah di Indonesia. “Saya tahu Pare dari cerita teman saya. Katanya ada kampung Inggris di mana semua orang memakai Bahasa Inggris untuk bahasa sehari-hari. Biaya kursus pun murah-murah, ada yang hanya Rp 15.000 sebulan. Siapa yang tidak tertarik?,” kata Muttahar, peserta kursus di BEC asal Gerung, Lombok Barat. Dari cerita itu, seusai lulus dari SMA, ia bersama empat temannya memutuskan untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris di Pare untuk bekal mencari pekerjaan. Dalam enam bulan, ia kini lancar dan percaya diri bercakap-cakap dalam bahasa global ini.
Isyam, mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta yang mengambil kelas percakapan di Rhima English Course (REC), menyempatkan diri ke Pare untuk membuktikan cerita gurunya di SMA mengenai keefektifan sistem pengajaran bahasa Inggris di Pare. Lain halnya dengan Basyar, rekan kos Isyam, yang mengaku ikut kursus untuk membekali diri menjadi pengajar di kursus Bahasa Inggris di Bantul. Karena itu ia mengambil beberapa program di tempat kursus yang berlainan. “Selain itu, kursus ini untuk persiapan ikut ujian masuk perguruan tinggi di Gadjah Mada. Saya berencana mengambil jurusan Sastra Inggris,” ujarnya mantap.
Seperti halnya pengalaman Muttahar, Isyam dan Basyar, sebagian besar peserta kursus memang mengetahui kisah kampung Inggris hanya dari cerita mulut ke mulut. “Selama ini memang tidak ada tempat kursus yang memasang iklan di media massa, paling banter hanya membuat selebaran dan ditempel di sekeliling kampung. Jadi informasi diperoleh dari mulut ke mulut,” kata Afid, pengajar di Rhima English Course (REC) la sendiri punya pengalaman berbeda, bukan karena tertarik oleh reputasi Pare tetapi gara-gara bersua dengan serombongan gadis yang cas cis cus berbincang dalam bahasa Inggris saat di atas bis antarkota.
Rezeki Bagi Kampung
Menjamurnya tempat-tempat kursus di Tulungrejo dan Pelem menjadi sumber rejeki dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat. Banyak rumah penduduk yang disewa untuk dijadikan tempat kursus, meskipun lebih banyak lagi yang dirombak menjadi tempat kos. Selain itu, bermunculan pula warung makan dan jasa pencucian pakaian yang menjadi sumber pendapatan tambahan.
Namun perkembangan ini tidak lantas membuat biaya hidup melonjak. Seperti halnya biaya kursus yang relatif murah, ongkos makan pun cukup murah. Rata-rata sekali makan dengan menu nasi dan lauk pauk lengkap beserta minuman hanya menghabiskan Rp 3500. Biaya kos juga murah meriah, berkisar antara Rp 40.000 hingga Rp 100.000 per bulan dengan fasilitas kamar berukuran 2×3 meter, alas tidur dan lemari pakaian.
Potensi ekonomi sampingan dari bisnis ini memang luarbiasa. Coba bayangkan saja berapa perputaran uang di dua desa ini apabila setiap enam butan sekali sekurangnya 2.000 orang datang bergantian dari berbagai penjuru Indonesia. Hitung saja jika masing-masing peserta kursus membelanjakan, katakanlah minimal Rp 200.000, maka setiap bulan perputaran uang di Tulungrejo dan sekitarnya mencapai Rp 400 juta. “Padahal saat bulan-bulan liburan sekolah dan kuliah, peminat kursus bisa membludak sampai 5000-an orang,” ujar Afid. Artinya, perputaran uang dalam sebulan di dua desa itu berlipat hingga
Rp 1 milyar!
Angka tersebut tentu bukan nilai yang kecil bagi penduduk yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Tak heran jika lima tahun belakangan ini, seiring makin populernya kawasan Tulungrejo dan Pelem sebagai sentra kursus bahasa Inggris, wajah fisik desa mengalami banyak perubahan. Jalan-jalan tanah di tengah kampung disulap menjadi jalan beraspal mulus dan rumah-rumah penduduk semakin mentereng.
Akan tetapi, di balik geliat ekonomi ini terselip juga ironi. Hampir tidak ada warga asli Pelem dan Tulungrejo yang terlibat langsung dalam pengelolaan tempat-tempat kursus, baik sebagai pengelola maupun pengajar. Banyak di antara anak mudanya yang memutuskan bekerja sebagai buruh pabrik dan profesi lain di berbagai kota, padahal peluang kerja di desanya masih terbuka lebar. “Mungkin mereka merasa gengsi, tapi saya kurang tahu kenapa? Mungkin karena tidak bisa berbahasa Inggris,” duga Mr Kalend.
Barangkali inilah pekerjaan rumah terbesar bagi para pengelola lembaga kursus dan masyarakat Pare, yakni menjadikan kaum mudanya dengan percaya diri berkata; “Hi, I am from Pare. And I speak English.”