Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi akhir-akhir ini telah menghasilkan fenomena yang tak terbayangkan, yaitu makin menipisnya ruang privat. Bahkan, muncul ancaman berupa hilangnya ruang privat sehingga anggota masyarakat tidak lagi memiliki privasi. Sebelum terjadinya fenomena kontemporer ini, manusia sebagai anggota masyarakat memiliki ruang privat dan ruang publik. Tetapi ruang privat itu kini terancam benar-benar “lenyap.”
Ada beberapa contoh dari fenomena ini. Pertama, menjamurnya program reality show di pelbagai stasiun TV, yang menunjukan batas antara yang privat dan yang publik telah semakin kabur. Penggunaan kamera atau alat rekam tersembunyi adalah salah satu wujudnya. Sehingga, kita tidak pernah tahu, apakah pada suatu saat dan tempat tertentu kita sedang disorot kamera atau tidak.
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Indonesia melakukan penyadapan telepon dan telepon genggam (handphone) tanpa harus minta izin pada pihak tersangka korupsi yang disadap. Hal serupa secara ekstensif juga dilakukan oleh lembaga intelijen seperti CIA, FBI, dan lain-lain, yang memata-matai warga negara sendiri di Amerika, dengan dalih menjaga keamanan nasional dan mencegah terorisme. Dengan demikian, semua komunikasi lewat telepon dan sarana komunikasi lain pada dasarnya terancam terekspos ke pihak luar, bukan lagi bersifat privat.
Telepon genggam telah menyebar di mana-mana dan alat itu bisa digunakan untuk merekam video dan suara. Ada pelbagai kasus di mana telepon genggam digunakan untuk merekam kegiatan yang sangat privat (hubungan intim di kamar tidur), yang kemudian tanpa bisa dikendalikan telah disebarkan di ruang publik. Misalnya, kasus selingkuh seorang anggota DPR dari Partai Golkar dengan penyanyi dangdut, yang menghebohkan masyarakat beberapa waktu lalu. Selain itu, masih banyak kasus-kasus lain.
Penggunaan alat GPS (global positioning system), sistem penentuan lokasi di bumi dengan alat bantu satelit, yang bisa digunakan oleh pihak tertentu untuk melacak ke mana saja kita pergi. Sementara itu, di perkantoran dan berbagai fasilitas umum, juga di jalan raya, taman, pertokoan, bank, dan sebagainya, dipasang kamera-kamera (CCTV, closed-circuit television) yang menjadi alat untuk memantau masyarakat.
Makin populernya internet dan jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, MySpace, Multiply, WAYN, dan sebagainya. Lewat sarana ini, kita selalu terhubung dengan orang lain tanpa memandang waktu dan tempat, karena saluran internet ini juga bisa diakses lewat laptop dan telepon genggam yang bisa dibawa ke manapun. Setiap catatan, pesan, gagasan atau ucapan yang kita masukan di dalam situs jejaring sosial ini akan langsung terbaca dan dapat diakses oleh ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan anggota jejaring sosial lainnya.
Seperti di Amerika, pemerintah Indonesia juga mencanangkan penggunaan sistem nomor identitas tunggal bagi semua warga negara. Dengan sistem nomor identitas tunggal, penguasa bisa melacak semua aktivitas warganya, dari mulai warga itu lahir, hidup, bersekolah, bekerja, membayar pajak, bertransaksi dengan kartu kredit, mentransfer uang lewat bank, berjual-beli, memesan kamar hotel, menikah, dan semua aktivitas lain yang tercatat secara elekronik. Dan masih banyak lagi contoh lain-lain.
Semua contoh di atas menunjukkan, praktis tidak ada lagi yang namanya privasi (privacy) atau ruang privat. Semua yang bersifat privat telah menjadi publik, menjadi konsumsi umum, pemerintah, penguasa, dan sebagainya. Selalu ada pihak lain yang bisa memantau, mengintai, menyadap, memata-matai, dan menelanjangi diri kita, tanpa memandang waktu dan tempat.
Karena sadar sepenuhnya bahwa dirinya selalu menjadi objek pantauan itulah, manusia sebagai anggota masyarakat pun praktis akhirnya seperti kehilangan kebebasan. Manusia selalu merasa terpenjara, dipantau, diawasi, diintai, dan dimata-matai oleh pihak lain, baik pengawasan itu benar-benar aktual terjadi atau sekadar dalam imajinasinya saja.
Maka manusia pun tidak bisa “bersikap alamiah” seperti apa adanya. Semua tindakan, ucapan, pikirannya menjadi seperti tindakan, sesuatu yang asing, sesuatu yang artifisial dan dibuat-buat. Dunia betul-betul seperti panggung sandiwara, sebuah teater, di mana setiap manusia memainkan peran tertentu yang diharapkan darinya, atau yang ia pikir diharapkan darinya.
Manusia pun hilang dalam peran itu. Sang subjek telah lenyap dan yang ada adalah sang objek selama-lamanya, karena manusia sadar dirinya selalu menjadi objek dari suatu piranti informasi atau media pemantau tertentu. Hal yang terjadi bukan lagi manusia menatap layar, seperti kita menonton televisi, tetapi justru layarlah yang menatap kita.
Manusia selalu dalam posisi mengekspresikan sesuatu, namun yang diekspresikan itu bukan yang real, bukan dirinya yang sebenarnya, namun sesuatu yang mungkin juga tidak dia kenal. Di dunia yang menjadi panggung sandiwara ini, tidak ada eksistensi asli, yang ada dan yang nyata hanyalah peran-peran yang dimainkan. Manusia tenggelam dalam peran-peran, dan dia bisa jadi begitu terserap dalam peran tersebut, sehingga mengira, atau menerima bahwa peran tersebut adalah dirinya yang sebenarnya.
Satrio Aris Munandar, Produser Reportase Investigasi TRANS TV
Tulisan ini telah dipublikasikan di blog satrioarismunandar6. Publikasi di situs ini telah mendapat izin dari penulis.