Oleh Luviana
Tidak begitu sulit menemukan letak Desa Pawenang. Setelah berhenti di terminal Cibadak, Sukabumi, kita cukup sekali lagi naik angkutan umum dengan membayar Rp 2.500 Hijaunya tumbuh-tumbuhan dan hamparan padi mewarnai perjalanan. Pawenang memang merupakan daerah hijau karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Selebihnyamenjadi buruh pabrik di Sukabumi dan membuka usaha warung kelontong di rumah-rumah.
Kehidupan petani di Pawenang ternyata tidak seindah panorama hijaunya sawah di kawasan ini. Para perempuan petani yang tergabung dalam Balai Perempuan, sebuah organisasi perempuan yang dibentuk oleh ibu-ibu dari Desa Pawenang sejak 1999, menggelar pertemuan untuk membicarakan beragam persoalan yang mereka rasakan. Dari pertemuan itu muncul masalah tengkulak yang bisa mengambil keuntungan sebanyak 70 persen dari penjualan hasil tani mereka. Tentu kondisi ini mencekik kehidupan para petani. “Kebanyakan di sini mata pencahariannya adalah petani, hampir 90%. Persoalan tengkulak ini makin bikin was-was,” kata Tuti Lidjaja, Ketua Balai Perempuan. Hal lain yang terungkap adalah persoalan yang dialami oleh anak-anak mereka. Umumnya sekolah tempat anak-anak Pawenang belajar, sudah mewajibkan setiap murid menguasai komputer. Anak-anak sering mengeluhkan minimnya sarana komputer di sekolah, maka kemudian mereka banyak belajar komputer di daerah Cibadak, yang jauhnya mencapai 20 km. Untuk mencapai kesanapun, membutuhkan ongkos angkutan yang tidak sedikit. “Semakin lama persoalan kami semakin berat. Pertanian tidak mendatangkan banyak hasil, pengeluaran kami kok semakin banyak,” ujar para ibu petani di Pawenang.
Ketika Koalisi Perempuan, sebuah organisasi perempuan dari Jakarta, datang ke Pawenang pada awal tahun 2003, maka ibu-ibu petani di Balai Perempuan mulai mengutarakan persoalan mereka. Untuk mengatasi masalah pembelajaran komputer yang masih minim, terutama di kalangan anak-anak, maka Koalisi Perempuan menjadi mediator antara balai perempuan dengan pihak Microsoft yang bersedia memberikan fasilitas komputer. Fasilitas ini diharapkan tidak hanya memecahkan persoalan pendidikan anak, tetapi juga dapat membantu kinerja para ibu yang mempunyai usaha warung kelontong, juga para petani, aparat desa dan para pemuda Desa Pawenang.
Akhirnya pada bulan Desember 2003, setelah melalui tiga kali survey, Microsoft mulai bekerjasama dengan Balai Perempuan untuk menyambungkan aliran listrik dan memberikan bantuan lima perangkat komputer dan printer. Usaha para ibu petani dari Balai Perempuan ini disambut gembira oleh aparat desa dan bapak-bapak petani. Kepala desa langsung memberikan salah satu ruangannya lengkap dengan meja dan kursi untuk menaruh perangkat komputer.
Setelah mengadakan pertemuan, akhirnya diputuskan bahwa perangkat komputer ini akan digunakan untuk kepentingan kursus komputer yang murah dan dekat, sehingga anak-anak mereka tidak perlu lagi jauh-jauh les komputer. Selain itu, warga bisa menyewa pemakaian komputer untuk mengetik. Untuk kursus, warga dikenakan biaya sebesar Rp 75.000 per paketnya. Ini harga yang jauh lebih murah dibanding kursus di Cibadak yang biayanya mencapai Rp 300.000 per paket. Fasilitas ini memang tidak bisa gratis, karena pihak Microsoft hanya memberikan bantuan alat dan operasional untuk bayar listrik serta pengelolaan sampai tahun ketiga saja (2006). Tempat kursus ini lalu dinamai Pustekim (Pusat Teknologi Informasi Untuk Masyarakat) yang buka setiap hari dari pukul 08.00-15.00 WIB.
Pertama Sih Deg-Degan!
Ibu Euis mengaku awalnya sangat takut untuk belajar komputer. Ia merupakan ibu rumah tangga yang termasuk dalam kloter pertama untuk belajar komputer di sini. Ini juga dialami Ibu Tuti dan para perempuan lainnya. “Yang belajar komputer ini kan ibu-ibu petani dan yang punya warung kelontong, jadi mereka pertama sangat takut sekali ada benda berlayar bisa dipakai untuk mengetik. Semula mereka mengira benda ini sebagai televisi, tapi ternyata bukan. Apalagi para ibu di sini , tidak biasa memakai Bahasa Indonesia, kebanyakan mereka menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Ini yang membuat beberapa ibu menjadi minder. Namun lama-lama ketakutan ini berubah jadi kekaguman pada alat yang canggih ini, walaupun mereka tetap merasa deg-deg-an ketika memencet tombol untuk pertama kali,” ungkap Ibu Tuti sambil tertawa.
Saat pertama kali dibuka kursus, pesertanya mencapai 101 orang, rata-rata perempuan dan anak-anak. Selain belajar komputer, anak-anak juga menggunakan komputer untuk mengerjakan pekerjaan mereka di sekolah. Demikian pula dengan guru-guru mereka yang sering memanfaatkan komputer Pustekim untuk membuat jadwal sekolah.
Menurut Tuti Lidjaja, ibu-ibu empunya warung kelontong kini memanfaatkan komputer untuk menghitung hasil jualannya. Mereka juga menggunakan komputer untuk mengetik hasil setiap rapat, membuat undangan pertemuan. Anak sekolah menggunakan informasi dari Encarta, ensiklopedi elektronik untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Siswa di pesantren juga menggunakan komputer untuk menyusun jadwal sholat.
Para pelatih komputer di Pustekim mengungkapkan bahwa pemuda Pewenang ingin sekali belajar jurnalistik agar bisa menulis. Pasalnya mereka ingin membuat majalah dinding di kantor kepala desa. Ide ini sudah dibicarakan saat para pemuda merampungkan hasil pemilu 2004 lalu. Ketika itu Desa Pawenang merupakan desa tercepat yang menyampaikan hasil pemilu. Selain itu partisipasi masyarakat cukup besar dengan munculnya keinginan untuk menyampaikan masalah-masalah yang terjadi di seputar pemilu. Gejala inilah yang membuat para pemuda ingin membuat majalah dinding. “Tapi belum ada yang bisa mengajari menulis, padahal kami sangat senang sekali jika bisa menggunakan komputer ini untuk menulis,” begitu harapan para pemuda Pawenang.
Sampai saat ini jumlah siswa di Pustekim sudah mencapai 300 siswa. Hampir setiap hari tempat ini dipadati oleh anak-anak dan ibu-ibu. Namun mengingat pihak Microsoft akan menghentikan bantuannya di tahun 2006, pada ibu di Balai Perempuan agak khawatir. Maka mulai saat ini, mereka telah membuka toko alat tulis di Pustekim. “Walaupun fasilitas di Pustekim tidak gratis, tetapi kita tetap perlu memperoleh pendapatan tambahan, salah satunya toko ini. Lumayan untuk nutup bayar listrik sehingga nanti tak perlu bingung-bingung,” tambah Ibu Tuti.
Lebih dari sekedar pusat pengetikan dan kursus, para ibu di Desa Pawenang ingin agar Pustekim juga mempunyai fasilitas internet. Harapannya melalui akses internet mereka bisa menjual hasil pertanian lebih baik. Para ibu petani di desa Pawenang sedang berpacu dengan para tengkulak yang sudah lebih dulu menguasai teknologi. “Jangan lagi kami dan anak cucu semakin tersingkir,” begitu harapan ibu-ibu di Desa Pawenang.
Penulis bekerja sebagai jurnalis, aktif di salah satu kelompok studi feminisme, Jakarta.
Laur biasa gan dapat sorotan dan kedatangan dari pihak microsoft. Tp kenapa mereka tidak bisa menggunakan bahasa indonesia ya? Apa karena memang letaknya jauh sekali.
Tapi melihat antusiasnya mereka dari tulisan do atas, mereka patut diacungi jempol.
Kegiatan yang patut diapresiasi, seharusnya ini dapat ditiru dan dicontoh oleh warga desa lain. Dan hendaknya pemerintah desa atau kabupaten mendukung dengan cara misalnya menyediakan sarana dan prasarana untuk belajar. Good Job !