Oleh Imam Prakoso
Hafiz dengan asyik menuliskan daftar masalah yang dirasakannya beserta teman-temannya dalam mengelola radio komunitas di Lombok Barat. Sesekali Tina, rekan kelompoknya yang berasal dari radio berbeda nyeletuk saat Hafiz menulis kalimat yang tidakjelas maksudnya. Celetukan tersebut lalu diikuti derai tawa kawan-kawan yang tergabung dalam kelompok diskusi mereka. Begitulah suasana evaluasi dalam salah satu acara Jambore Forum Komunikasi Radio Komunitas se-Lombok Barat yang diselenggarakan di pantai Medana,yang letaknya sekitar 1,5 jam perjalanan Kota Mataram, Lombok beberapa waktu yang lalu.Jambore ini merupakan pertemuan akbar ketiga yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Radio Komunitas (FKRK) Lombok Barat. Pertemuan pertama dilaksanakan 18-19 Oktober 2003, pertemuan kedua 25-26 Desember 2004, dan yang ketiga diselenggarakan pada tanggal 18-19 Februari 2006 yang baru lalu. “Kami berharap ini menjadi pertemuan rutin bagi seluruh pengelola radio komunitas yang ada di Lombok” menurut Ikhsan, yang dipilih sebagai ketua forum semenjakjambore pertama. Saat itu hadir tidak kurang dari 40 peserta yang mewakili 21 stasiun radio komunitas (dua radio di antaranya adalah peninjau dari Kabupaten LombokTengah).
Tidak seperti layaknya musyawarah asosiasi radio lainnya, acara ini sarat dengan kesederhanaan. Acara Jambore tersebut diadakan di sebuah pendapa kecil tempat ziarah makam Raden Wiradana, seorang pesyiar agama Islam yang berasal dari Baghdad, Irak yang mendarat pertama kali di Lombok ratusan tahun lalu. Panitia sengaja memilih tempat yang tidak hanya menjadi tempat ziarah umat Islam, akan tetapi juga umat Hindu tersebut, karena kemudian salah satu acara yang digagas adalah mendengar penuturan Bu Mangku (penjaga tempat ziarah) apa dan bagaimana tempat tersebut.” Kami berharap pengelola radio komunitas tetap memiliki sense of local culture dan tentu saja ini dapat dijadikan sebagai fitur acara budaya di masing- masing radio mereka,” tutur Baron, Radio Gita Swara FM, panitia yang bertanggung jawab terhadap akomodasi dan perlengkapan.
Tidak ada kamar-kamar tempat peserta istirahat. Yang ada hanya pendapa dan beberapa rumah sederhana milik penduduk yang disewa untuk peserta perempuan. Sementara peserta laki-laki istirahat dan tidur di pendapa di mana tempat pertemuan diadakan. “Kami iuran sebesar lima puluh ribu rupiah untuk satu radio dan boleh mengirimkan wakilnya maksimal tiga orang.Jika ingin menambah jumlah peserta, masing-masing radio harus menambah sebesar dua puluh ribu rupiah,” begitu ujar Pak Medo, salah satu peserta yang sangat antusias mengikuti acara.
Seluruh radio memang diwajibkan membayar sejumlah lima puluh ribu rupiah. Uang sejumlah itu untuk biaya makan 3 kali, sewa tempat, dan biaya pembelian alat-alat pertemuan seperti kertas plano dan sebagainya. “Kami memang menjaga tradisi kebersamaan dan sebisa mungkin dilakukan secara swadaya oleh anggota,” aku Ikhsan yang juga penyiar Radio Pesona FM, di Kecamatan Pemenang. Hafiz sendiri mengakui bahwa selama ini rasa kebersamaanlah yang membuat para anggota FKRK merasa dekat satu dengan lainnya, dan jambore semacam ini merupakan ajang yang sangat dinantikan, meskipun dengan konsekuensi harus mengeluarkan kocek sendiri dan bahkan terkadang harus menempuh perjalanan dua sampai tiga jam untuk tiba di tempat.
Di samping itu yang tak kalah penting adalah terjalinnya komunikasi dua arah antara FKRK dengan masing-masing anggotanya. “Jika kondisi ini tak terjaga dengan baik, kami kuatir akan banyak menimbulkan kesalahpahaman, akan tetapi sampai saat ini dengan komunikasi yang baik, apapun yang kami usulkan untuk FKRK melalui dialog yang positif akhirnya selalu disepakati kawan-kawan” lkhsan menambahkan. Keswadayaan memang merupakan prinsip yang dibangun semenjak FKRK didirikan. “Kami merasa menjadi milik masyarakat, kalaupun acara semacam ini dirasa penting, toh masyarakat juga tak akan segan-segan memberikan dana untuk mendukung keberadaan kami di acara semacam jambore ini” imbuh Hafiz yang juga penyiar kawakan di Radio Primadona FM, Bayan.
Adalah Dayat dan Rasidi, keduanya staf pada Kantor Inkomda Kabupaten Lombok Barat, yang selalu setia memfasilitasi berbagai kegiatan radio komunitas di Lombok, termasuk acara Jambore yang berlangsung dua hari tersebut. “Radio komunitas adalah aset komunitas dan merupakan simpul komunikasi informasi potensial yang dapat membantu diseminasi berbagai program pemerintah,” begitu Dayat berkomentar. “Pemerintah daerah sangat terbantu dengan adanya jaringan radio komunitas tersebut. Apa salahnya kemudian kami juga membantu mereka mewujudkan impian untuk membangun keberlanjutan masing-masing radio di komunitasnya” tandas Dayat. “Bayangkan saja, imbuhnya, radio komunitas ada di semua kecamatan di Kabupaten Lombok Barat yang memudahkan informasi dari ibukota disalurkan hingga didengarkan oleh seluruh masyarakat. “Dukungan kali ini yang diberikan oleh Inkomda adalah penyediaan sarana genset dan juga LCD proyektor untuk membantu pemberian materi dan proses diskusi. Acara jambore tersebut selain membahas dan mengevaluasi perjalanan radio dan juga FKRK, juga membahas isi dari PP Penyiaran No 51 Tahun 2005 tentang Penyiaran Komunitas beserta kontroversinya, juga mendiskusikan prospek penggunaan jaringan internet bagi radio komunitas.
Niat Ikhsan yang didukung oleh teman-temannya untuk selalu melakukan aktivitas secara swadaya memang bukan langkah yang mudah, terlebih lagi hampir semua radio komunitas yang ada di Kabupaten Lombok Barat berada di wilayah pedesaan yang notabene tingkat kesejahteraan masyarakatnya lebih rendah dibanding rata-rata yang tinggal di kota. Akan tetapi, Hafiz, Ikhsan, Syairi, Dayat, dan Rasidi tetap merasa optimis hal itu dapat terjadi. Salah satu yang mendorong rasa optimis tersebut adalah komunitas di masing-masing radio yang demikian antusias dan sangat mendukung keberadaan radio mereka. Optimisme ini didukung oleh Akhmad Nasir, mantan pengelola Radio Komunitas Angkringan FM di Bantul Yogyakarta. “Sepanjang radio komunitas tersebut mendapat dukungan penuh dari komunitasnya bukan mustahil operasionalnya akan didukung pula dan inilah yang menjadi langkah menuju keswadayaan radio komunitas.” Meskipun demikian, Nasir memberi catatan bukan perkara mudah meyakinkan komunitas sehingga mau memberi dukungan. Dan tampaknya hal tersebut telah berhasil dilakukan oleh sebagian radio komunitas di Lombok Barat. Bagaimana dengan jaringan atau forum sejenis di daerah lain? Akankah keswadayaan menjadi salah satu prinsip yang juga ingin dibangun? Kita nantikan cerita dari belahan wilayah lainnya (Senggigi, 19 Februari 2006).