Kalimat dapat dilihat dari tiga jenis tatarannya: fungsi, kategori, dan peran. Tataran fungsi membagi kalimat atas subjek, predikat, dan objek, pelengkap, dan keterangan. Tataran kategori membagi kalimat atas kelas kata (kata benda/nomina, kata kerja/verba, kata sifat/adjektiva, kata keterangan/adverbial, kata ganti/pronomina, kata bilangan/numeralia, kata depan/preposisi, kata penghubung/konjungsi, kata seru/interjeksi, dan kata sandang/artikel). Tataran peran membagi kata atas jenis perilaku (agentif), penderita (objektif), penerima/penyerta (benefaktif), tempat (lokatif), waktu (temporal), perbandingan (komparatif), alat (instrumental), penghubung (konjungtif), perangkai (preposisi), dan seruan (interjeksi).
Pembagian atas jenis tataran itu jangan dicampuradukkan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, membuat pembagian objek pelaku, objek penderita, dan objek penyerta. Dua tataran digabungkan menjadi satu. Bicara tentang objek itu berbicara tentang fungsi, sedangkan tentang pelaku, penderita, dan penyerta itu berbicara tentang peran. Begitu juga Slamet Mulyana berbicara tentang gatra (= fungsi), yaitu gatra pangkal (S), gatra sebutan (P), gatra situasi (K), sedangkan gatra pelaku dibaginya atas pelaku I (pemeran), pelaku II (penderita), dan pelaku III (penyerta) berbicara tentang peran, bukan fungsi.
Sebenarnya fungsi terpenting adalah subjek (S) dan predikat (P) karena tiap kalimat (tunggal) pasti terdiri atas S dan P, sedangkan objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K) adalah bagian dari P inti karena ketiga unsur itu adalah penjelas P inti itu.. Misalnya, kalimat `Dia membahas masalah pemilihan umum dalam rapat itu` dapat kita uraikan sebagai berikut: Dia (S), membicarakan (P), masalah (O), pemilihan umum (Pel), dalam rapat itu (K). Perhatikan: `masalah`, `pemilihan umum`, dan `dalam rapat itu` hanyalah bagian dari `membicarakan`, bagian-bagian yang tiga itu adalah P dalam arti luas.
Tidak ada kalimat tanpa S dan P. Kalau ada kalimat yang tidak memiliki S dan P, misalnya, kalimat jawab atau kalimat perintah, itu tidak berarti bahwa S dan P-nya tidak ada. S dan P itu tidak disebutkan lagi karena sudah diketahui. Misalnya, kalimat jawab `Sudah`. Baik pembicara maupun yang diajak bicara mengerti apa yang dimaksud karena bagian kalimat itu merupakan jawaban atas kalimat `Kamu sudah makan?` Kalimat itu dilihat dari segi maknanya adalah kalimat sempurna, sedangkan dilihat dari segi bentuknya tidak sempurna. Bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama baik kosakatanya maupun strukturnya. Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa Eropa mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Misalnya, kalimat bahasa Inggris atau bahasa Belanda bukan kalimat namanya kalau tidak ada verbanya karena P dalam bahasa-bahasa itu mesti terdiri atas verba (kata kerja). Bahasa Indonesia tidak demikian. Predikat kalimat dapat terdiri atas jenis kata lain seperti nomina, adjektiva, adverbia, pronomina, numeralia, atau frasa preposisi. Misalnya, dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan `Saya guru` tetapi dalam bahasa Inggris tidak cukup jika dikatakan `I am a teacher`. P-nya am (dari verba to be).
Kita lihat bahwa sebuah kalimat terdiri atas kata-kata sebagai unsur segmentalnya, tetapi itu saja tidak cukup. Kalimat harus dilengkapi dengan intonasi sebagai unsur suprasegmentalnya. Kalau ditulis `Dia sudah makan`, kita belum tahu apa yang dimaksud. Apakah susunan kata- kata itu menyatakan suatu pemberitahuan, tetapi kalau ditulis `Dia sudah makan?`, maka itu sebuah pertanyaan.
Bahasa tulis menuliskan kalimat dengan huruf awal pada kata pertama dengan huruf kapital dan mengakhiri kalimat itu dengan tanda baca. Tanda baca titik (.) menyatakan bahwa kalimat itu sudah selesai sebagai kalimat berita/pemberitahuan, tanda tanya (?) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat tanya, dan tanda seru (!) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat seru atau kalimat perintah.