Pada 26-28 September 2002, sebuah pertemuan bertajuk Konferensi Litigasi Kebebasan Informasi diselenggarakan di Sofia, Bulgaria. Hari terakhir pertemuan tersebut—28 September—dideklarasikan sebagai Hari Hak untuk Tahu (International Right To Know Day). Kala itu perwakilan organisasi Kebebasan Informasi (Freedom of Information/FOI) dari 15 negara—Albania, Armenia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Georgia, Hungaria, India, Latvia, Makedonia, Meksiko, Moldova, Rumania, Slovakia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat—menyepakatinya. Meski tidak ikut menginisiasinya, tapi kini Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut memperingati momen itu.
Bagaimana Indonesia terlibat?
Pada 2008, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Setiap warga negara berhak meminta kepada badan publik, negara dan non-negara, untuk membuka informasi yang selayaknya diketahui publik. Tepat di sinilah Indonesia terlibat secara langsung dalam mempromosikan Hari Hak untuk Tahu. Tepatnya, Hak untuk Tahu. Hari Hak untuk Tahu merupakan bagian dari agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Agenda ini mensyaratkan Pemerintahan Terbuka (Open Government) yang menyelenggarakan pemerintahan secara kolaboratif bersama warga negara. Dan dalam hal ini, akses terhadap informasi (access to information) menjadi kunci utama. Artinya, warga negara memiliki akses terhadap data penyelenggaraan pemerintahan.
Namun, dengan berbagai prosedur dan mekanisme yang diatur dalam UU tersebut, keterbukaan informasi publik terasa masih menjadi kemewahan alias sulit dijangkau. Masalahnya, prosedur yang dibuat sedemikian rupa masih agak rumit bagi sebagian warga, terutama yang awam. Terlebih lagi, ‘trauma’ terhadap birokrasi berbelit yang belum juga pudar membuat usaha menagih hak atas informasi masih mengawang. Belum lagi konsekuensi lain yang menunggu di depan.
Sebagai contoh, pada Maret 2016, seorang warga Tangerang Selatan, Mustolih Siradj mengajukan transparansi donasi yang diselenggarakan jejaring ritel Alfamart. Permohonan Mustolih dikabulkan oleh Komisi Informasi Pusat. Alih-alih mendapatkan hak informasi yang diminta, Mustolih malah digugat oleh pihak Alfamart. Tidak hanya Mustolih, KIP pun, selaku badan negara, digugat oleh Alfamart karena telah mengabulkan permohonan Mustolih.
Peristiwa ini, bagi sebagian orang, bisa jadi membuat geram dan terpicu untuk bersikap lebih keras terhadap badan-badan publik yang tidak transparan. Tapi bagi sebagian lainnya, mungkin juga, peristiwa ini malah membikin kapok. Bukan informasi yang didapat, melainkan gugatan hukum. Meminjam anekdot pasaran, “hidup udah sulit, ngapain dibikin sulit?”.
Contoh lainnya adalah ketika KIP mengabulkan permohonan KontraS agar pemerintah membuka hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kematian aktivis HAM, Munir. Namun kemudian Pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara mengajukan keberatan atas putusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dan dikabulkan. Dengan kata lain, Pemerintah ‘menolak’ membuka hasil penyelidikan.
Dua kasus tersebut, menurut saya, menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan keterbukaan informasi di masa depan.
Jurnalisme warga: mewujudkan hak untuk tahu
Sebelum pemerintah menetapkan UU KIP, semangat hak untuk tahu sebetulnya sudah termaktub dalam UUD 1945. Pasal 28F telah menjamin warga negara untuk dapat mencari, mengolah dan mendistribusikan informasi. Artinya jaminan hak untuk tahu sudah ada bahkan sejak negara ini berdiri. Namun di masa Orde Baru, akses informasi warga disunat sedemikian rupa. Jangankan warga biasa, lembaga pers pun, jika menyampaikan informasi-informasi yang dianggap ‘tidak patut’ oleh rezim, sudah barang tentu dibreidel.
Kemudian rezim berganti. Keran informasi dibuka ‘sebebas-bebasnya’. Media massa tak lagi menghadapi ancaman tak diberikan izin terbit ataupun dibreidel. Akan tetapi, perubahan iklim terbuka ternyata juga mengubah watak media massa. Jika dulu negara yang menutupi-nutupi informasi, kini media massa, melalui pemilihan isu, framing, dan lain sebagainya, telah menutup peluang warga mendapatkan informasi yang sepatutnya. Salah satu faktornya adalah kepentingan pemilik. Ini sudah rahasia umum.
Merosotnya kepercayaan publik terhadap media massa menjadi salah satu pemicu wabah hoaks yang merebak beberapa tahun belakangan. Pembenarannya: ‘hoaks’ adalah fakta alternatif. Hoaks telah menjadi saluran lain bagi warga yang merasa kebutuhannya tak terpenuhi dan suaranya tak terwakili oleh media massa. Dengan kata lain, ‘hoaks’ adalah wujud perlawanan kelompok masyarakat terhadap kekuasaan yang memonopoli informasi. Saya sendiri menilai bahwa hoaks berbeda dengan fakta alternatif. Namun dalam praktiknya, hoaks dan fakta alternatif berbaur liar di masyarakat. Silang sengkarut antara dua terma itu tak bisa dielakkan, dan lagi-lagi, warga menjadi korbannya.
Jauh sebelum hoaks menjadi ‘trending topic’, sebetulnya banyak kelompok warga yang telah melakukan upaya untuk memberikan fakta alternatif di luar media mainstream. Media komunitas dan jurnalisme warga adalah salah satu praktiknya.
Jurnalisme warga adalah inisiatif sekelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap keadilan informasi. Apa yang dimaksud dengan keadilan informasi? Salah seorang penggiat media komunitas di Lombok Utara, Raden Sawinggih, pernah mengatakan, bahwa salah satu motivasinya membangun media komunitas adalah agar warga mendapatkan informasi seputar lingkungannya. Sebab sebelum media komunitas ada, sekitar awal dekade 2000an, kebutuhan informasi warga sepenuhnya digantungkan pada RRI yang isinya hampir selalu soal Jakarta. Dari situ, media komunitas—yang telah melahirkan jurnalis warga—tidak hanya sedang mencari sumber informasi alternatif, melainkan telah membuat saluran informasi alternatifnya sendiri. Media komunitas menjadi wadah warga untuk bergeser posisi dari sekadar objek informasi (penerima/konsumen) menjadi subjek informasi (pembuat/produsen).
Apa yang dilakukan oleh jurnalis warga tidak berbeda dengan jurnalis profesi pada umumnya: memproduksi dan mendistribusikan informasi. Perbedaannya terletak pada jenis informasi yang disampaikan. Jika pada perusahaan media segala informasi sudah diatur sedemikian rupa dengan pertimbangan pasar, profit, dan kepentingan pemilik, maka di media komunitas lebih inklusif. Pemilihan isu dititikberatkan pada kepentingan publik—yang pada hakikatnya harus dilakukan setiap media. Kondisi ideal ini bisa terwujud karena media komunitas tidak memiliki kepentingan lain selain kepentingan komunitas yang direpresentasikannya. Meskipun demikian, dalam mencari informasi, jurnalis warga tidak jarang disepelekan. Tidak adanya identitas ‘resmi’ dan tidak diakui dalam UU Pers, menjadi penghambat utama jurnalis warga dalam mendapatkan informasi. Namun demikian, dengan segala risikonya, jurnalis warga tetap melakukan perannya demi mencapai keadilan informasi yang dicita-citakan.
Media komunitas biasanya hadir di tengah masyarakat kelas menengah ke bawah. Mereka mewakili kelas masyarakat yang akses terhadap informasinya terbatas. Bagi masyarakat tersebut, informasi merupakan barang mewah. Mereka kerap dianggap sebagai kelompok yang “tak perlu tahu”. Oleh karena itu, jurnalis warga menjadi bumper bagi kelas ini. Pada titik inilah media komunitas dan jurnalis warga memainkan peran sebagai penjembatan informasi bagi komunitas (public). Tanpa perlu melalui prosedur yang rumit, warga dapat memperoleh informasi yang sebelumnya tidak mereka bayangkan. Misalnya soal alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan—di pelosok, dua informasi tersebut tidak seterbuka di kota besar seperti Jakarta.
Saya tidak hendak menihilkan keberadaan UU KIP. Bagaimana pun keberadaan UU tersebut telah memperlebar peluang warga untuk mendapatkan informasi yang lebih ‘rahasia’. Namun, inisiatif warga dalam media komunitas rasanya juga perlu direspons agar tidak ada anggapan seolah-olah informasi hanya bisa diperoleh melalui pengajuan hak informasi yang diatur dalam UU KIP.
Saya teringat sebuah anekdot yang entah dari mana asalnya: “Tidak ada rahasia di antara kita. Tapi tidak semua kamu harus tahu, kan?”
Anekdot itu ada benarnya. Bukan, saya bukan membenarkannya. Tapi kondisi itu masih terjadi. Walaupun rezim telah berganti menuju keterbukaan, nyatanya masih banyak informasi yang tidak terakses warga dengan baik. Dua contoh kasus di atas menjadi cerminan bahwa keterbukaan informasi belum betul-betul terealisasi. Dan yang bisa masyarakat sipil lakukan adalah tetap mengupayakan segala kemungkinan agar hak untuk tahu benar-benar terwujud.[]
One thought on “Jurnalisme Warga dan Hak untuk Tahu”