Oleh: AG. Eka Wenats Wuryanta *
PENGANTAR
Salah satu produk modernitas dalam bidang komunikasi adalah perkembangan kaca ajaib yang bisa bersuara dan bergambar, yang kemudian disebut televisi. Televisi dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi terbukti memikat manusia dengan gambar dan suara yang dihasilkannya. Produk imaji atau citra yang direkayasa ternyata membentuk perubahan persepsi manusia terhadap kenyataan itu sendiri. Dalam televisi, persepsi bisa dibentuk dan dicipta sesuai dengan pola gambaran dan persepsi yang ditawarkan oleh para produsen siaran televisi. Itulah sebabnya, dalam perkembangan media, televisi memberikan kontribusi dramatis terhadap pola komunikasi manusia.
Tidak terlepas dari terpaan perkembangan teknologi komunikasi global, perkembangan sosial politik di Indonesia tidak bisa memisahkan diri dari pengaruh televisi. Berbagai perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran sosial televisi. Hal ini mengartikulasikan kontribusi signifikan televisi dalam perubahan sosial–seakan memverifikasi teori klasik tahun 40-an; yaitu teori serba media yang menyatakan bahwa media massa mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyrakat, bukan saja dalam membentuk opini dan sikap tetapi juga dalam memicu terjadi gerakan sosial (DeFleur, 1970; McQuail, 1966; McCombs dan Shaw, 1972; Noelle-Neuman, 1984). Televisi pada titik tertentu menyumbangkan diseminasi dan edukasi nilai sosial baru bagi masyarakat Indonesia.
Soal pembangunan nasional sampai kejatuhan sebuah rezim otoriterianistis dapat dilihat dan dibentuk dalam gambaran yang dimuat dalam sebentuk teknologi tabung bergambar, yang pada akhirnya mempunyai dampak yang berskala nasional bahkan internasional. Dapat dikatakan televisi menjadi jendela perubahan sosial di Indonesia.
Dalam situasi yang lebih kontemporer dan isu paling hangat di Indonesia, kita sebagai masyarakat perlu mengkaji lebih dalam dan kritis peran serta dampak televisi kepada masyarakat yang sedang berubah dan bergerak kepada sistem sosial yang lebih demokratis. Sejauh mana televisi masih memainkan peran dan bersifat visioner dalam pengembangan demokratisasi di Indonesia ? Dalam bentuk ideal mana televisi bisa dikomodifikasikan sebagai perangkat efektif pembentukan ranah publik yang kritis, rasional dan dewasa? Bagaimana kita bisa mengembangkan sistem pertelevisian yang berkonteks lokal sehingga mendorong pemberdayaan masyarakat sipil yang semakin kompleks?
MEDIA MASSA DAN DEMOKRATISASI
Adagium pengaruh media massa pada masyarakat menyatakan, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro, bahwa media massa mempunyai dampak yang tidak kecil bagi masyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi masyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai oleh sebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Hal ini menampakkan adanya korelasi tak terbantah antara media massa yang menghasilkan sistem nilai tertentu dengan proses pemaknaan hidup sosial masyarakat.
Dalam sejarah perkembangan media massa, nampak bahwa media massa memainkan peranan penting membentuk pranata sosial baru ketika terjadi kemampatan tradisionalisasi masyarakat. Pertama, revolusi mesin cetak memicu perkembangan kapitalisme baru yang dikembangkan setelah revolusi industri. Produksi massal dan distribusi politik ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat pada waktu terdorong dengan adanya media cetak, yang kebanyakan pada waktu diwujudkan dalam bentuk surat kabar, sebagai sarana informasi perkembangan dinamika sosial masyarakat. Data memperlihatkan bahwa perkembangan surat kabar pada abad XIX dapat dikatakan sebagai hal yang menonjol, terutama bagi sejarah pers. Meski tidak tertutup kemungkinan dampak surat kabar kontemporer di kemudian hari selalu berkutat pada masalah profesionalisme dan sensasionalisme budaya.
Kedua, penemuan radio dan “kotak bicara” yang pada akhirnya disebut dengan telepon mendorong perluasan sistem nilai sosial yang tidak lagi dibatasi dengan ruang dan keterbatasan ruang. Ruang publik dan privat yang tadinya sangat terbatas menjadi ditarik dalam batasan ruang yang lebih longgar. Ini berarti dampak radio dan telepon tidak hanya berhenti pada soal relativisme ruang saja tapi juga pada soal relativisme nilai masyarakat terhadap ruang dan waktu.
Ketiga, penemuan televisi yang didahului dengan penemuan telepon, telegraf,
fotografi dan rekaman suara telah membawa pada sensasi sosial yang tidak ditemukan pada teknologi terdahulu. Sensasi sosial televisi ini pada waktu tertentu telah mendorong perubahan yang dramatis pada sistem sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sosial politik yang dipunyai oleh sebuah masyarakat. Setidaknya ada beberapa sensasi imaji sosial yang dibentuk oleh televisi, yaitu proses pembedaan antara fakta dan imajinasi – isi televisi yang tidak lagi dibatasi oleh waktu – dimensi waktu televisi yang semakin bisa mengakselerasi makna kekinian sebuah peristiwa sosial – derajad objektivitas yang relatif tinggi – derajad intimitas televisi pada para audiensnya dan kejelasan watak yang mau ditawarkan oleh televisi pada setiap tokoh yang diekspos (Ellis, 1982).
Dari sekedar perkembangan tiga fenomena dalam teknologi komunikasi, terlihat bahwa media massa memainkan peranan yang sangat krusial dalam perkembangan sosial politik, ekonomi masyarakat, terlebih pada soal demokratisasi sosial dan budaya. Setidaknya media massa memainkan peranan kunci untuk mendesentralisasi kekuasaan politik dan sosial, opini atas kekuasaan dan kekuatan, penyediaan sebuah wilayah di mana masyarakat tidak lagi didominasi oleh paradigma kebenaran sosial yang bersifat manipulatif dan monopolistik, karena masyarakat ditempatkan pada situasi untuk mudah memperoleh akses informasi yang cukup memadai untuk mengadakan opini alternatif. Atau dengan kata lain denga merujuk pendapat Jurgen Habermas (1989), media massa telah membentuk wilayah yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara piranti kekuasaan dalam hal ini negara dengan para anggota warga.
Tentu saja memang ketika kita berbicara dengan media massa dengan demokratisasi, kita harus juga memperhatikan faktor ekonomi politik yang melingkupi keberadaan media massa dalam sebuah masyarakat. Selain bahwa media massa mampu menjadi unsur keempat yang melengkapi Trias Politica (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi hubungan yang bersifat interplay antara media massa, masyarakat itu sendiri (diwakili oleh pasar) dan negara sebagai penjamin (Giddens, 2000). Tapi fakta tersebut tidak mengurangi makna bahwa media massa berperan positif dalam proses demokratisasi masyarakat.
Keragaman pendapat publik, alterasi kebijakan publik, pengembangan nilai
akuntabilitas keputusan sosial, penganekaragaman budaya massa, selera konsumen,
gerak dinamis pasar, peran cukup intervensi negara telah menciptakan proses
demokrasi sosial yang lebih sehat dan rasional.
DINAMIKA RANAH PUBLIK DAN TELEVISI DI INDONESIA
Setelah kita mengetahui permasalahan mendasar peran media massa pada umumnya, dan televisi pada khususnya, maka kita akan melihat secara sekilas secara kritis bagaimana peran media massa terutama televisi bagi pengembangan ranah publik dan civil society di Indonesia.
Yang membedakan perkembangan gerakan civil society di Indonesia dengan tradisi
barat, sebagaimana yang mau dikembangkan oleh Habermas adalah perbedaan makna dan fungsi media massa. Bagi Habermas, ranah publik tercipta ketika atau ruang publik yang bebas. Fungsi media dalam hal ini televisi adalah menjembatani dan menjaga wacana bebas bagi publik. Warga negara bebas untuk ikut serta terlibat dalam wacana realitas sosial untuk mengawasi pasar dan negara. Ranah publik dipergunakan televisi untuk diseminasi dan menginformasikan fakta empirik yang dibutuhkan bagi pemenuhan dan penentuan sikap warga, baik secara sosial, ekonomi, budaya bahkan sikap politik.
Praktek diskursus bebas dan rasional dalam tradisi Indonesia, jika menggunakan
pendekatan kultur asli Indonesia bisa dilihat pada model diskursus yang ada pada
masyarakat Minang. Model “Lapau” mempunyai kemiripan dengan konsep “wacana bebas” sebagaimana dimaksud oleh Habermas. Tradisi Lapau yang menjadi ajang obrolan keluarga bisa menjadi ajang kepentingan publik untuk menciptakan diskursus masalah sosial yang lebih besar. Tentu saja substansi isi ranah publik dalam pengembangan civil society – dalam bahasa modern – tetap sama meski dalam tradisi dan cara yang berbeda. Substansi yang harus tetap dijaga adalah substansi masyarakat warga yang dikarakterisasikan pada proses kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan.
Setidaknya pengembangan ranah publik di Indonesia dalam konteks pertelevisian juga tidak bisa menghilangkan faktor-faktor substansial bagi pengembangan civil society di Indonesia. Setidaknya juga dalam perkembangan sejarah televisi di Indonesia terdapat proses pengembangan ranah publik meski kita harus jujur pula bahwa pengembangan ranah publik yang dimaksud belum maksimal sesuai dengan cita-cita ideal.
Pertelevisian Indonesia baru dimulai pada tahun 1960-an, di mana terdapat satu
stasiun televisi yang terpusat di Jakarta. Seluruh proses informasi yang terjadi
dalam televisi Indonesia masih dalam kerangka stasiun televisi publik. TVRI
mempunyai kriteria awal yang sehat. Artinya TVRI bisa dijadikan sarana untuk
“menjalin persatuan dan kesatuan”. Teknologi satelit Palapa semakin mengokohkan
peran TVRI sebagai stasiun televisi yang bisa mudah dan cepat diakses oleh
penduduk Indonesia. Dalam perjalanan dinamisnya, TVRI juga sempat menjadi “agak komersial” – dengan adanya iklan sampai tahun 1982- ketika tuntutan ekonomi menjadi tuntutan tak terelakkan dari sebuah industri media.
Cita-cita awal TVRI yang mampu menjadi sarana komunikasi efektif dinamika sosial masyarakat rupanya ditangkap oleh Orde Baru, yang pada akhirnya memanfaatkan teknologi televisi menjadi alat propaganda. TVRI yang seharusnya menjadi media dan jembatan antara warga dengan pemerintah, sedikit demi sedikit, bergeser perannya menjadi state apparatus yang dihegemoni oleh dominasi informasi pemerintah. Dengan seluruh kebijakan protektif, TVRI justru dikerdilkan sebagai televisi pemerintah yang mempunyai derajad dinamika sosial yang rendah (Ade Armando, 2000).
Arus perkembangan televisi yang menuntut keragaman, desakan kebutuhan informasi, dan dinamisasi kehidupan sosial kultural, memaksa pemerintah untuk mulai mengijinkan tumbuhan stasiun-stasiun televisi baru. Kebijakan praktek kebebasan pers dalam dunia pertelevisian mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sampai sekarang beberapa televisi swasta telah muncul dari RCTI, SCTV, TPI, AnTeve, Indosiar, MetroTV, TV7, LaTivi, Global TV, Trans TV dan menyusul beberapa stasiun TV yang belum mengudara tapi sudah mengantongi perijinan.
Perubahan di atas mempunyai point bahwa dalam pertumbuhan televisi di Indonesia masalah ranah publik telah menjadi isu utama. Di satu pihak, swasta telah berani membuka “kran” informasi yang beragam bagi masyarakat. Meski di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, bahwa swasta memainkan konspirasi sistem ekonomi politik kapitalisme dalam proses keragaman televisi di Indonesia.
Keragaman informasi budaya, sosial-ekonomi dan politik telah menjadi agenda utama kebebasan media yang diwakili oleh televisi. Pada saat itu pula, dampak terpaan televisi juga tidak bisa dipungkiri.
Akibat positif dari televisi di Indonesia memperlihatkan bahwa kualitas demokrasi dan pengembangan ranah publik yang sesuai dengan tradisi demokrasi Indonesia didorong dalam bentuk pembelajaran visi sosial politik yang rasional. Setidaknya televisi memberikan “pencerahan-pencerahan” yang signifikan bagi pembangunan karakter berbangsa. Warga diperkenalkan dengan pola interaktif dalam televisi sehingga peran warga mulai menampakkan wujudnya yang paling sehat dan kritis.
Tapi di lain pihak, televisi-televisi di Indonesia tidak bisa dipungkiri juga memberikan pengaruh yang negatif bagi pembentukan karakter sosial yang berkepribadian nasional. Pola hidup konsumer yang ditunjukkan dalam dunia sinetron mengaburkan kebenaran soal fakta dan dunia impian, perluasan kultur populer yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme global dengan berbagai macam implikasinya, soal pengaruh perilaku kekerasan dan seks bebas yang diekspos oleh televisi.
Kita melihat adanya pengaruh positif dan negatif televisi Indonesia bagi
pengembangan ranah publik dan civil society di Indonesia (Dedy N. Hidayat, 2000).
Sebuah tantangan klasik bagi televisi di Indonesia, apakah memang dunia televisi
di Indonesia tidak bisa otono dan independen dengan kekuatan sistem sosial ekonomi dan politik global serta nasional pada khususnya ? Sering kita melihat adanya trade off yang memang harus dipilih bagi kelangsungan hidup industri televisi di Indonesia.
Jika dalam konteks pengembangan civil society, masih relevankah kita membicarakan soal rating, sistem kepemilikan silang antar media yang terjadi pada
perusahaan-perusahaan media besar – seperti kelompok Kompas-Gramedia dan pembagian kue aset iklan yang harus dibagi oleh setiap stasiun televisi? Bukankah dengan demikian masyarakat konsumen tidak ditempatkan sebagai subjek perubahan sosial tapi justru menjadi masyarakat yang pasif dan mudah dimanipulasi meski manipulasi tersebut ditutupi dengan jargon-jargon demokrasi? Atau dalam konteks pengembangan civil society, masih relevankah kita membicarakan revitalisasi peran negara untuk menjadi regulator efektif dalam seluruh proses kepenyiaran televisi yang mencakup isi atau kebijakan editorial redaksi televisi yang bersangkutan?
Proses pertelevisian Indonesia menandai jalan derasnya arus masuk sistem informasi
yang melanda masyarakat Indonesia. Tapi masalahnya apakah derasnya arus informasi yang ditandai dengan keragaman teknologi televisi – sampai pengembangan televisi kabel, digital dan satelit (Straubhar, 2002) – yang dinikmati oleh warga selalu ekuivalen dengan pengembangan ranah publik di Indonesia?
TELEVISI KOMUNITAS DI INDONESIA: Kemungkinan atau Mimpi?
Dengan mengakomodasi perubahan sosial politik Indonesia yang mengarah pada soal desentralisasi dan otonomi daerah, maka kita perlu mengelaborasi beberapa
alternatif yang bisa dikembangkan pada proses pengembangan televisi komunitas di
Indonesia.
Soal desentralisasi aspek sosial ekonomi dan politik di Indonesia menyiratkan proses pemberdayaan dan pembagian kekuasaan ranah publik yang dikelola secara dewasa dan demokratis. Muara desentralisasi dan otonomi daerah sebetulnya
mengembalikan kembali semangat keterlibatan sosial ekonomi kultur dan politik
masyarakat. Setidaknya dinamika desentralisasi sosial ini mengarah pada soal
demokrasi yang partisipatoris pada para warganya. Ini berarti bahwa desentralisasi
politik dan otonomi daerah yang menjadi idea demokrasi di Indonesia menyiratkan
pengembalian dan pemaksimalan proses produksi, konsumsi dan distribusi lokal untuk kepentingan pembangunan lokal dan nasional.
Dalam konteks semacam itulah televisi komunitas diharapkan menjadi lahan baru
penyemaian proses ranah publik yang lebih membumi. Dalam arti, televisi komunitas akhirnya menjadi sarana efektif untuk mendorong proses sosial lokal yang mempunyai karakteristik yang berbeda pada setiap daerah atau komunitas yang ada. Televisi komunitas menjadi jembatan kontrol dan informasi yang tepat bagi negara dan pasar.
Aspirasi komunitas di setiap level warga dapat tertampung seara langsung di
penyiaran komunitas. Dalam konteks ini, munculnya televisi komunitas dapat
memperkuat potensi warga. Dengan demikian, setiap daerah atau komunitas bisa
membuat program televisi yang mengakar pada tradisi daerahnya sendiri.
Tradisi Lapau di Sumatera Barat bisa diadopsi sebagai model pengembangan televisi komunitas. Televisi komunitas sebetulnya menjadi sarana “obrolan” yang mempunyai kosa kata, tata bahasa, semiotik yang sesuai dengan kultur setempat.
Dalam bentuk yang sangat kasar dapat dikatakan bahwa sebetulnya motor penggerak televisi komunitas adalah lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai sumber daya manusia yang cukup memadai. Dalam proses “crash program”, setiap universitas yang mempunyai fakultas ilmu komunikasi diharapkan menjadi motor penggerak pembentukan televisi komunitas. Tentu saja kapasitas dan isi televisi komunitas dalam hal ini menitikberatkan pada soal edukasi sosial politik dan kultur yang diperlukan oleh masyarakat.
Dalam pengembangan visi televisi komunitas, tentu dapat dirinci dalam berbagai
perspektif yang perlu dipertimbangkan. Paper ini mau mengajukan beberapa
konsiderasi yang mungkin perlu didiskusikan lebih mendalam lagi.
Pertama, pembentukan stasiun-stasiun televisi komunitas yang independen. Artinya
stasiun ini tidak mempunyai afiliasi dengan jaringan kepenyiaran lainnya. Jadi
murni dikelola oleh modal swadaya dan swamandiri masyarakat atau komunitas itu sendiri. Stasiun independen ini membeli program dari pelayanan sindikasi
kepenyiaran tanpa harus terikat di dalamnya. Stasiun independen ini juga menjual
iklan pada spot iklan lokal, regional maupun nasional (Straubhar, 2002).
Biasanya saluran UHF dipunyai oleh stasiun independen sementara saluran VHF dimiliki oleh jaringan stasiun yang lebih besar. Kiranya pemerintah daerah atau pihak-pihak swasta independen yang mempunyai kekuatan modal yang memadai untuk mengelola televisi komunitas bisa menjadi tulang punggung komunikasi politik di daerahnya masing-masing.
Kedua, pembentukan stasiun televisi publik non komersial bisa menjadi cikal bakal
pembentukan stasiun televisi yang bersifat komutatif. Stasiun ini dibagi dalam
stasiun televisi komunitas yang dibiayai oleh negara dan swasta. Artinya televisi
komunitas ini tidak akan menarik iklan tapi menyediakan paket siaran televisi yang
bersifat non profit.
Keberadaan saluran semacam “Discovery” yang mengeksplorasi kekayaan budaya masyarakat merupakan lahan tak habis-habisnya bagi sebuah paket televisi atau saluran semacam “planet animal” yang mengeksplorasi kekayaan fauna daerah bisa menjadi daya tarik yang tetap tinggi. Biasanya lembaga swadaya masyarakat dan universitas-universitas bisa menjadi pelopor adanya stasiun televisi non komersial.
Ketiga, pengembangan makna teknologi dan distribusi lokal sebagai aset utama
televisi komunitas. Artinya bahwa pengembangan makna teknologi dan distribusi
lokal ini berkaitan dengan soal regulasi media televisi komunitas yang lebih
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Soal pembagian frekuensi televisi (baik yang VHF maupun UHF) selalu saja menjadi
masalah komersialisasi. Kehendak yang baik untuk mengembangkan masyarakat tentu akan membuat pemerintah untuk selalu “bermurah” terhadap kemajuan daerah tanpa harus merasa terancam dengan adanya siaran televisi alternatif, dalam hal ini televisi komunitas. Masalahnya sampai sekarang, Indonesia masih berkesan setengah-setengah dalam pengembangan potensi “udara” dalam diri masyarakat.
Bila dalam hal “udara” pemerintah masih berkesan setengah-setengah, maka perlu
dipikirkan sebuah pengembangan televisi komunitas yang memakai teknologi kabel
yang saling menghubungkan antar rumah atau daerah komunitas yang bersangkutan.
Televisi kabel ini dikembangkan untuk mengimbangi teknologi informasi terutama
internet yang pada saat nantikan akan memakai teknologi fiber optic dan satelit.
Beberapa hal di atas tentu saja membutuhkan kesiapan sumber daya manusia, modal dan teknologi yang memadai. Televisi komunitas dapat dikatakan sebagai proyek kecil, murah atau sederhana. Tapi substansi di dalam “kaca ajaib” itu mempunyai kandungan yang luar biasa besarnya.
Sudah waktunya Indonesia untuk mengembangkan prinsip-prinsip civil society untuk mendukung transformasi sosial pada perubahan sikap, nilai dan kesadaran kritis warga negara. Televisi komunitas juga mendorong terbangunnya nilai pluralisme pada warga negara.
Ruang cerdas dalam televisi komunitas berangkat dari kekuatan warga yang memang pluralis. Bukankah itu yang sedang dan perlu dikembangkan oleh masyarakat Indonesia?
* Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina, Jakarta
Sumber:
http://atvki.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=63:kaca-ajaib-dan-civil-society&catid=36:opini&Itemid=62