Kalimat “Ibu Aminah sudah melahirkan” dianggap sempurna walaupun tidak mengandung objek. Kalimat ini malah akan terkesan lucu atau tersinyalir mengejek jika dibubuhi objek, “Ibu Aminah sudah melahirkan anak”, karena tidak lazim.
Objek adalah sesuatu yang mengalami atau menderita atas apa yang disebutkan oleh sebutan kalimat (predikat). Demikianlah definisi objek menurut tata bahasa tradisional. Bagi orang yang pernah belajar salah satu bahasa secara ilmiah, lebih afdol menyimak pula definisi objek menurut tata bahasa struktural, yaitu objek adalah apa/siapa yang pada kalimat pasif akan menjadi subjek. Ya, dalam hal ini kita memang diharapkan telah memahami perbedaan kalimat aktif dan pasif.
Untuk menguji apakah “anak” pada kalimat di atas memang betul-betul objek, kita dapat mencoba menyusun bentuk pasifnya. Hasilnya, “Anak sudah dilahirkan Ibu Aminah”. Kalimat terakhir ini terasa janggal dan aneh, tetapi strukturnya betul. Contoh-contoh pasangan “predikat-objek” lain yang objeknya tidak secara eksplisit dimunculkan cukup banyak, misalnya “menyakitkan (hati)”, “memusingkan (kepala)”, atau “menghanyutkan (perasaan)”.
Bentuk-bentuk pasif pasangan-pasangan itu adalah “hati disakitkan”, “kepala dipusingkan”, dan “perasaan dihanyutkan”.
Tentu kita tidak dapat menyalahkan kalimat yang bentuk atau maknanya aneh semata-mata berdasarkan perasaan. Analisis di atas sudah benar. Sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, menyimpulkan bahwa apabila objek sebuah kalimat aktif disembunyikan, penuturnya memang bersiasat supaya kalimatnya tidak muncul atau direkayasa menjadi berbentuk pasif. Kedua, menganulir jabatan objek pada pasangan “predikat-objek” tertentu yang riskan muncul dalam bentuk pasif dan menganggapnya bukan berjabatan objek, melainkan keterangan. (Jadi, kata-kata “anak”, “hati”, “kepala”, dan “perasaan” pada konstruksi “melahirkan anak”, “menyakitkan hati”, “memusingkan kepala”, dan “menghanyutkan perasaan” di atas disatukan berjabatan keterangan.)
Unsur kalimat yang menjabat sebagai keterangan bersifat opsional kemunculan dan pemunculannya. Salah satu kalimat contoh yang amat sering ditampilkan dan kemudian dianggap salah adalah “Rumah kami dilempari batu”. Disebut salah sebab jika dijadikan kalimat aktif, kalimat itu dapat/mungkin berbunyi “Batu melempari rumah kami”. Begitulah, andaikata pejabat keterangan kalimat keliru dikenali sebagai pelaku (atau kesempatan lain sebagai objek sebagaimana kasus di atas sebelum ini).
Kalimat “Rumah kami dilempari batu” sebenarnya harus diuraikan jabatan kalimatnya menjadi: rumah kami = subjek; dilempari = predikat; batu = keterangan. Karena menjabat sebagai keterangan, “batu” tak dapat menjadi subjek bila kalimat itu direkayasa menjadi kalimat aktif. Lantas di mana pelaku dalam kalimat itu? Disembunyikan atau tersembunyi! Kalimat pasif memang sering tampil tanpa jabatan pelaku.
Perhatikan, kalimat-kalimat pasif berikut ini sama sekali tak mensyaratkan munculnya pelaku: “Rumah kami dilempari”, “Tanah itu sudah dijual”, atau “Dapur sedang dibersihkan”. Kemudian perluas kalimat-kalimat itu dengan keterangan dan ujilah. Apakah kalimat-kalimat pasif “Tanah itu sudah dijual murah” dan “Dapur sedang dibersihkan sekarang” layak dipaksakan tampil menjadi kalimat-kalimat aktif “Murah sudah menjual tanah itu” dan “Sekarang sedang membersihkan dapur”, sebagaimana “Rumah kami dilempari batu” direkayasa menjadi “Batu melempari rumah”.
Tidak seperti banyak bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata karena posisinya dalam kalimat sehingga jabatan sebuah kata dalam kalimat perlu lebih dicermati. Bahasa Jerman umpamanya, memiliki artikel di depan kata benda yang dapat memastikan kedusebuah kata sebagai subjek, objek, atau penyerta.