Oleh Rohman Yuliawan dan Biduk Rokhmani
Bayangkan jika komunitas di sebuah kampung di Yogjakarta bisa berinteraksi dengan komunitas kampung lain di Bandung.Mereka bisa bertukar informasi mengenai persoalan-persoalan lokal yang terjadi di daerahnya masing-masing. Bukannya tidak mungkin dari komunikasi itu terjalin kerja sama, atau gerakan bersama antarkomunitas. Impian inilah yang ingin dicapai oleh Program Saluran Informasi Akar Rumput (SIAR) dengan menggagas sebuah kantor berita antarkomunitas.Banjir informasi dengan terbukanya keran media di masa Orde Reformasi tidak serta merta memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Buktinya, pada saat yang sama bertumbuhan media yang dikelola sendiri oleh suatu komunitas yang isinya berkisar informasi mengenai komunitas dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan komunitas itu sendiri.Dari sinilah lahir apa yang kemudian disebut media komunitas.
Selain hadir dalam bentuk media tercetak, sejak tahun 2000 media komunitas di Indonesia mulai merambah siaran radio. Belakangan perkembangan ini diberi label radio komunitas (rakom). Berbeda halnya dengan media komunitas tercetak, informasi yang disajikan melalui radio menjangkau lebih banyak orang (yang buta huruf sekalipun) dan dapat diulang atau diperbarui sesering mungkin. Sama halnya dengan aktifitas berbasis komunitas lainnya, rakom juga dituntut untuk konsisten tanpa kompensasi keuangan yang memadai.
Meski demikian, sejumlah rakom tetap konsisten mengupayakan pemenuhan informasi untuk komunitasnya. Rakom Panagati di Terban, Yogyakarta dan Pass FM di Katapang, Kabupaten Bandung, contohnya. Secara rutin pengelola kedua rakom ini menugaskan reporternya turun ke lapangan untuk meliput berita aktual di tengah masyarakat. Mulai dari gejolak lokal karena kenaikan BBM, kegiatan lansia, dinamika Pilkadal hingga profil seorang tukang sol sepatu. Untuk menjalankan tanggung jawab semacam itu, terkadang mereka mesti rela menyisihkan waktu istirahat atau merogoh kocek sendiri.
Kantor Berita Akar Rumput
Sesuai dengan idealisasinya, permasalahan-permasalahan yang diangkat melalui siaran rakom bersifat lokal. Akan tetapi, muncul kesadaran bahwa permasalahan-permasalahan lokal tersebut tidak lepas dari permasalahan pada skala yang lebih luas, nasional maupun internasional,dan memiliki implikasi serupa pada berbagai komunitas di daerah lainnya. Kesadaran inilah yang memicu pemikiran untuk mengikatkan kerja sama antarpengelola radio komunitas di berbagai daerah, terutama dalam hal berbagi informasi, peningkatan kapasitas serta untuk memperkuat posisi rakom di tengah ketidakpastian legitimasi formalnya.
Pemikiran itu kemudian mengerucut pada bentuk pelembagaan kerja sama. Pada titik ini terbentuklah Saluran Informasi Akar Rumput (SIAR), lembaga yang diancangkan untuk menjadi kantor berita yang menghimpun dan mempertukarkan informasi-informasi yang telah diproduksi oleh rakom-rakom yang menjadi anggotanya. Aktifitas ini kemudian diwadahi melalui situs internet www.siar.or.id yang baru saja di-launching 19 Februari lalu di Yogyakarta bersamaan dengan pengukuhan kelembagaan SIAR. Program ini merupakan kerja sama dari Combine Resource Institution, Voice of Human Right (VHR) dan Yayasan Tifa bersama sembilan radio komunitas di Yogyakarta dan Bandung.
SIAR mengandalkan tiga komponen utama yakni: informasi (pengetahuan dan muatan lokal), alat (teknologi informasi), dan lembaga yang saling bertukar informasi–untuk menjadi media pendorong keberlangsungan pertukaran informasi dan pengetahuan antarkomunitas juga dengan pihak-pihak lainnya. Aktifitas SIAR mengacu pada beberapa prinsip dasar: komunitas sebagai pelaku utama, muatan yang sangat lokal, desentralistik, dan adanya lisensi publik.
Sebagai pelaku utama, komunitas dapat memilah informasi sesuai kebutuhan mereka. Dengan demikian, konten (muatan) informasi yang disiarkan memiliki sifat lokal karena ditujukan untuk memenuhi kebutuhan informasi di tingkat komunitas atau akar rumput. Mekanisme pengelolaan desentralistik memunculkan kemandirian komunitas untuk membangun sistem informasi partisipatif, antara lain mengandalkan kontributor dari kalangan mereka sendiri. Dengan pemanfaatan lisensi publik copyleft, SIAR juga memungkinkan terjadinya pertukaran dan pembaruan informasi dengan bebas antarrakom namun tetap menghargai hak cipta pemilik informasi.
Saat ini,selain Panagati dan Pass FM yang disebut di atas, rakom anggota SIAR lainnya yaitu Rakom Balai Budaya Minomartani (BBM) FM, Angkringan FM, dan Suara Malioboro FM (ketiganya di Yogyakarta) serta Radio Komunitas Bandung Selatan (Kombas FM), Mase FM, Radio Suara Cibangkong, dan Radio Kita-kita (terletak di wilayah Jawa Barat). Kesembilan radio tersebut terhubung jaringan interkoneksi yang memungkinkan mereka untuk saling berkomunikasi dan berbagi informasi secara online.
Tak Semudah yang Dibayangkan
Penggunaan internet, selain dinilai lebih praktis dan ekonomis ternyata memunculkan kegagapan tersendiri.”Kalau alat rusak, kita tergantung teknisi dari SIAR. Belum ada yang membetulkan peralatan sendiri,” kata Surowo, pengelola radio komunitas Balai Budaya Minomartani (BBM FM) di Yogyakarta. Kerusakan ringan pada perangkat komputer atau piranti koneksi intenet, seringkali membuat aktifitas komunikasi terhambat.
Permasalahan teknis ternyata bukan satu-satunya kendala dalam mewujudkan tujuan SIAR, namun juga menyangkut perilaku pengelola rakom dalam memanfaatkan koneksi internet dan website SIAR. “Kebanyakan masih memanfaatkannya untuk chatting, hanya kadang-kadang saja konsultasi masalah teknis,” ujar Kun Surachman dari Panagati FM. Kun menambahkan penyiar Panagati cukup terbantu dengan adanya internet, karena mereka bisa mencomotnya untuk memperkaya berita yang akan disiarkan.
Sementara Supriatna pengelola PASS FM lebih menyoroti ketidakdisiplinan pengelola radio untuk meng-upload berita ke internet. Karena tidak semua rakom konsisten dan aktif mengirimkan berita ke internet, pertukaran informasi antarrakom yang diharapkan belum terjadi. Di sisi lain Haris Irnawan, pengelola Rakita FM berpendapat rendahnya pertukaran informasi dikarenakan koordinasi yang belum matang. “Kami menilai bahwa situs SIAR masih dalam proses trial, sehingga sampai saat ini belum cukup terprogram dengan jelas kapan kewajiban uploading berita dan produksi siaran diharuskan,” ujarnya. Kini, setelah program SIAR diluncurkan secara resmi tentunya permasalahan ini sudah terjawab.
Buka Warnet dan Gaet Iklan
Dari sekian banyak kendala yang dihadapi pengelola radio komunitas, masalah keuangan dinilai paling rawan mengancam keberlangsungan rakom dan Program SIAR. “Selama ini Panagati mengandalkan pemasukan dari layanan sosialisasi beberapa lembaga lewat radio,” ujar Kun. Rakom lainnya masih mengandalkan pada hasil penjualan kartu request lagu kepada pendengar, meski beberapa yang lain mencoba menggaet iklan dari pengusaha lokal.
Bergulirnya Program SIAR rupanya membangkitkan semangat mereka untuk mengupayakan pemasukan alternatif. Komputer dan koneksi internet dipandang potensial untuk dijadikan income center (sumber pendapatan), misalnya dengan membuka kursus komputer atau warung internet (warnet). “Tapi pangsanya memang masih rendah, kendala teknis koneksi internet yang sering putus,” keluh Haris. Hal senada juga diungkap oleh Robin dari Mase FM dan Supriatna dari Pass FM. Mereka berpendapat kendala teknis seperti ini mendesak untuk dibenahi karena kualitas koneksi yang menjadi
pertimbangan pokok untuk mendirikan warnet.
Yang menarik,Supriatna melontarkan pandangan bahwa keberlangsungan Program SIAR juga tergantung pada soiid tidaknya lembaga SIAR. “Langkah seperti itu harus dibicarakan secara menyeluruh dengan semua yang terlibat di SIAR. Lembaga harus lengkap dan fungsinya berjalan baik, sehingga upaya menghidupi program ini bisa berjalan,” ungkapnya. Mengembangkan jaringan antarkomunitas memang tak semudah yang dibayangkan, butuh proses panjang untuk mematahkan segala kendala yang menghadang.