Desa Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan daerah kaya sumber daya air. Sedikitnya ada tujuh sumber mata air di desa yang terletak di kaki Gunung Salak ini. Warga desa memanfaatkan sumber-sumber mata air itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.
Namun, keadaan berubah sejak perusahaan dengan komoditas air masuk ke desa tersebut pada 1980-an hingga 1990-an. Tidak tanggung-tanggung, tak kurang dari lima perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) mengeksploitasi air tanah di desa itu. Krisis air pun perlahan membayangi warga Babakan Pari setiap tahunnya. Sebelum mata air dan air tanah di wilayah tersebut dieksploitasi, tinggi permukaan air sumur warga bisa mencapai 2 meter. Namun pada pertengahan tahun 2000-an tinggi permukaan air sumur hanya sejengkal telapak tangan orang dewasa atau sekitar 15 cm.
*
Sementara itu, pada 5 Desember 2010 lalu perhatian publik nasional tertuju pada Kecamatan Padarincang, Banten. Ribuan penduduk dari kecamatan tersebut mendatangi lokasi pengeboran (pilot project) sumber mata air oleh salah satu raksasa perusahaan air minum dalam kemasan. Warga khawatir, pembangunan pabrik itu akan mengancam ketersediaan air di wilayah mereka. Dua bulan berselang, yakni pada Febriari 2011, penolakan dan penutupan paksa warga, perusahaan tersebut akhirnya membatalkan rencana pembangunan pabrik.
*
Satu kata yang menautkan kedua cerita di atas: air! Sebagai sumber kehidupan manusia, air menjadi kebutuhan pokok yang tak terelakkan. Karena begitu pentingnya air bagi kelangsungan hidup manusia, air menjadi barang publik (public goods) yang paling berharga dari apapun yang ada di muka bumi.
Jumlah air di bumi tidak pernah berkurang. Demikian kata guru Geografi semasa sekolah saya dulu. Air mengalami sirkulasi alami (siklus hidrologi) yang tak pernah berhenti: dari atmosfer ke tanah, dari tanah ke atmosfer, dan begitu seterusnya. Apa yang dikatakan guru saya tentu masuk akal, sebab tidak ada air di bumi yang menguap hingga melebihi batas atmosfer. Namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan tidak berkurangnya volume air di bumi, apakah serta merta tidak akan terjadi krisis air?
Nyatanya tidak! Dari tahun ke tahun, ketersediaan air di bumi semakin berkurang, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kedaulatan Air di Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan dengan sebagian besar wilayahnya berupa perairan. Seharusnya, dengan dua per tiga wilayahnya yang berupa lautan itu, air bukan menjadi masalah bagi rakyat Indonesia. Apalagi, Indonesia termasuk dari 10 negara yang memiliki kandungan air tawar terbesar di dunia. Namun kenyataannya, masih banyak daerah di negeri ini yang harus berjuang keras untuk memperoleh kebutuhan air bersih.
Sejumlah faktor seperti topograï¬ dan lingkungan menghambat sebagian warga untuk mengakses air bersih di Indonesia. Faktor topografi ini berkaitan dengan kuantitas air yang hampir sulit diatasi karena sudah merupakan bentukan alam. Beberapa daerah dengan curah hujan rendah memiliki cadangan air yang minim seperti di Indonesia timur. Sementara dilihat dari faktor lingkungan, pengurangan air tak hanya terjadi secara kuantitas, namun juga kualitas. Pencemaran air yang jamak terjadi terutama di sebagian besar wilayah Indonesia barat saat ini mengakibatkan penurunan kualitas air. Dampaknya pun langsung terasa dengan turunnya kuantitas air yang dapat dikonsumsi.
Meski ketersediaan air di Indonesia melimpah, namun secara kualitas tidak semuanya memenuhi kriteria air bersih dan sehat yang layak konsumsi. Masih banyak wilayah di Indonesia yang kekurangan air, terutama air tanah dalam. Hal itu diungkapkan Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
“Walaupun ketersediaan air di Indonesia melimpah, namun secara kualitas tidak semuanya memenuhi kriteria air bersih dan sehat yang layak konsumsi. Sekarang, sebagian besar dari penduduk masih belum mengkonsumsi air bersih,†jelas Iskandar (Mongabay.co.id, 12 November 2014).
Di beberapa daerah terutama di kota-kota besar, ketersediaan air yang menyusut justru dimanfaatkan segelintir orang untuk meraup keuntungan. Air dijadikan sebagai komoditas atau barang ekonomi (economic goods), dimana pola distribusinya mengacu pada prinsip ekonomi klasik yakni penawaran dan permintaan (supply and demand). Pengelolaan air bersih untuk masyarakat pun berpindah dari sektor publik ke perusahaan swasta. Inilah yang disebut privatisasi air. Pameo yang berlaku pun adalah “ada uang, ada airâ€. Privatisasi air membuat air sebagai kebutuhan asasi manusia yang seharusnya bisa diakses secara cuma-cuma menjadi tidak berlaku lagi. Privatisasi air inilah yang menyebabkan krisis air di Indonesia dengan dampak jauh lebih besar daripada faktor topografi dan lingkungan.
Penetapan UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air membuat arus privatisasi air di Indonesia makin deras. Perusahaan-perusahaan AMDK kian masif mengambil alih sumber-sumber air di pedesaan yang menjadi sumber kehidupan warga. Kasus di Padarincang adalah salah satu imbas dari regulasi yang menyalahi hak warga negara atas air. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menyatakan regulasi tersebut sebagai legalisasi liberalisasi sumber daya air—yang merupakan konsekuensi atas ketergantungan Indonesia atas bantuan finansial dari lembaga keuangan internasional pada krisis 1998.**
Seiring dengan kian masifnya privatisasi oleh perusahaan-perusahaan AMDK, penolakan warga pada pengambilalihan sumber-sumber air pun semakin gencar. Hingga akhirnya, pada 18 Februari 2015, Mahkamah Konstitusi pun membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Putusan tersebut merupakan pengabulan atas permohonan judicial review UU SDA yang diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat seperti, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha, dan beberapa pemohon perseorangan. Mahkamah Konstitusi menilai UU SDA bertentangan dengan UUD 1945 dimana air juga merupakan hak asasi manusia.
Dengan pembatalan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan regulasi mengenai air dikembalikan ke Undang-Undang nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, pembatalan UU SDA dan diberlakukannya kembali UU Pengairan belum menjamin masyarakat bisa mengakses air secara layak. Maka dari itu, perlu political will (kemauan politik-red) yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan amanah dari UUD 1945 Pasal 33 yang berbunyi, “Bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.â€
*
Dalam sebuah wawancara pada tahun 2005, Direktur Nestle—salah satu perusahaan bahan pangan terbesar, Peter Brabeck-Letmathe mengatkan, bahwa air seperti bahan makanan (foodstuff) lainnya yang harus memiliki nilai jual atau harga. Tujuannya, agar kita lebih peduli air sebab air pun memiliki ‘harga’. Beberapa pihak menilai bahwa pernyataan tersebut merupakan dukungannya terhadap privatisasi air. Namun, pihak Nestle membantahnya. Menurut mereka, Peter justru ingin menekankan perlunya manajemen air yang baik agar tidak menjadi bencana besar di masa depan.
Terlepas dari polemik tersebut, persepsi mengenai air sebagai barang publik dan air sebagai komoditas nyata adanya. Hingga kini wacana tersebut masih berebut dominasi, tak terkecuali di Indonesia. Lalu, ke manakah Pemerintah Indonesia akan berpihak?
Ferdhi Fachrudin Putra (Pegiat Combine Resource Institution)
** Lebih lanjut baca “Kemelut Sumber Daya Air, Menggugat Privatisasi di Indonesiaâ€, KRuHA-Lapera (2005).
Mendorong kesetaraan gender danmenempatkan hak-hak perempuan sebagai bagian utama dari semua yang kita lakukan, merupakan bagian integral dari perencanaan dan pelaksanaan program kemanusiaan dan pembangunan yang dilakukan oleh Oxfam di seluruh dunia. Oxfam telah mengembangkan pendekatan keadilan gender yang memungkinkan lebih banyak perempuan mampu memegang kendali atas kehidupan mereka dan mengatasi kendala-kendala yang membuat mereka tetap miskin.