Judul Film: Belakang Hotel
Produksi: Watchdoc & Warga Berdaya
Tahun Produksi: 2014
Durasi: 40 menit
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
…
Ah…siapa tak kenal lagu di atas? Yogyakarta. Ya. Sebuah lagu klasik besutan Kla Project itu memang sangat kental dengan imej kota Yogyakarta. Setiap nadanya seolah mengantarkan kita kembali ke romantisme Yogyakarta di masa lalu yang sarat� persahabatan, aman dan berhati nyaman. Namun itu dulu.
Yogyakarta yang menjadi lagu pembuka film bertajuk Belakang Hotel ini justru membersitkan sebuah tanda tanya: �Masihkah Yogyakarta seperti dulu? Masihkah tiap sudutnya menyapa bersahabat?�
Lewat serangkaian argumentasi visualnya, film besutan Watchdoc & Warga Berdaya ini mengantarkan kita untuk menjawab pertanyaan di atas. Belakang Hotel mengajak kita menengok sumur-sumur warga di 4 kampung di kota Yogyakarta yang harus berjuang di tengah gempuran hotel-hotel yang semakin menyesaki Kota Budaya itu.
Airnya Cuma Sesendok
Adalah empat kampung yang dikisahkan dalam film berdurasi 40 menit� ini, yakni: Penumping, Gowongan, Miliran, dan kampung yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam ratusan tahun silam, Kotagede. Keempat kampung tersebut mengalami penyusutan debit air sumur, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah asat.
Kisah berawal pada Agustus-September 2014 silam. Saat itu, asatnya sumur-sumur warga Kampung� Penumping membuat mereka harus berjuang keras mendapatkan air. Mesin pompa nyaris tak sanggup lagi menyedot air, begitupun dengan timba ember. Kalaupun ada, hanya sedikit air yang bisa terhisap ataupun terpompa, itupun membutuhkan waktu yang lama dan kesabaran ekstra untuk menaikkannya sampai ke permukaan tanah.
Bahkan untuk memenuhi sebuah bak plastik bervolume 20 liter saja, seorang wanita paruh baya warga setempat mengaku harus menimba lebih dari 20 kali. Setiap kali menimba, ember timbanya sudah� mentok alias sudah menyentuh dasar sumur, lalu cuma sanggup menciduk air tak sampai segayung. �Ini cuma sesendok,� ujarnya sambil tersenyum getir.
Alhasil, berhari-hari selanjutnya selama sumurnya asat, untuk urusan MCK (mandi, cuci, dan kakus) pun, ia dan para tetangganya harus numpang di kamar mandi umum di Pasar Kranggan. Setiap kali pemakaian kamar mandi yang jaraknya beberapa ratus meter dari rumah mereka itu, mereka harus memasukkan Rp. 2.000 ke dalam kotak pungutan di sana.
Kisah asatnya sumur juga dialami oleh seorang ibu rumah tangga warga Kampung Gowongan. Setiap hari, ia harus ngangsu (mengangkut air) beberapa kali dengan menarik troli untuk mengangkut jeriken besar berisi air yang didapatnya dari sebuah kantor di samping rumahnya. Dengan ngangsu itulah ibu itu bisa� memenuhi kebutuhan air bersih untuk rumah tangganya.
Sejumlah warga dari keempat kampung itu menuturkan, baru tahun 2014 itulah mereka mendapati sumur mereka sampai benar-benar asat.� Padahal, selama puluhan bahkan setengah abad bermukim di kampung itu, mereka tak pernah mengalami hal itu.
Banyaknya sumur warga menjadi gambaran padatnya Kota Jogja dengan setengah juta penghuni di dalamnya. Setiap sumur itu dipasangi 2 sampai 3 mesin pompa. Seperti halnya sumur dengan timba, sumur yang dipasangi mesin pompa itu pun juga dimanfaatkan oleh lebih dari satu keluarga. Memang, saat musim kemarau debit air sumur mengalami penyusutan, namun itu tak sampai berujung hilangnya sama sekali pasokan air bersih. Kalaupun sumur-sumur itu susah dipompa atau ditimba, tak sampai berlangsung berhari-hari seperti tahun 2014. Biasanya, setelah satu sampai dua jam tak dipompa atau ditimba, debit air akan kembali bertambah.
Ternyata Karena �Tetangga Baru�
Usut punya usut, kehadiran �tetangga baru� di kampung wargalah yang ternyata menjadi biang keladi asatnya sumur warga. Ya, tetangga baru itu tak lain dan tak bukan adalah hotel yang berdiri di seputaran kampung mereka.
Kecurigaan warga itu bukannya tanpa alasan. Pasalnya, kebutuhan air hotel sangatlah banyak. Untuk memenuhi kebutuhan air kamar mandi satu kamar saja, sebuah hotel� bisa menghabiskan sampai 380 liter air. Padahal, sebuah hotel tentu memiliki belasan, puluhan, bahkan ratusan kamar. Kebutuhan itu belum termasuk untuk kolam renang, kebersihan lingkungan kompleks gedung, keperluan dapur, hingga keperluan laundri. Bandingkan dengan kebutuhan air rumah tangga warga yang rata-rata hanya menghabiskan 100 liter air saja per harinya. Untuk mencukupi kebutuhan airnya yang sangat banyak itu, pihak hotel sanggup membuat sumur bor yang jauh lebih dalam daripada sumur-sumur warga.� Dengan kekuatan finansialnya yang jauh lebih besar, pihak hotel mampu memasang mesin pompa yang sedotan airnya jauh lebih kuat daripada mesin pompa biasa yang dipakai warga pada umumnya.
�Tetangga baru� itu ternyata tak hanya menghuni kampung� Penumping, Gowongan, Miliran, dan Kotagede saja. �Tetangga-tetangga baru� lainnya juga bermunculan di berbagai penjuru kota Jogja. Dalam kurun waktu 10 tahun dari 2003 sampai 2013 saja, ada 3000 hotel baru yang berdiri di Kota Budaya ini. Itu berarti, ada 10.000 hotel yang berjejalan di kota ini. Meski tahun 2013 lalu Pemerintah Kota Yogyakarta telah mengeluarkan moratorium izin pembangunan hotel, tetap saja jumlah itu semakin bertambah tahun 2015 ini. Pasalnya, sejumlah hotel telah mengantongi izin pembangunan sebelum moratorium itu diteken. Bahkan, beberapa diantaranya kini sedang dalam proses pembangunan.
Tak ayal lagi, menjamurnya hotel-hotel itu telah mengubah lanskap Kota Jogja. Bangunan hotel baru baik besar maupun kecil, baik di kiri kanan jalan utama maupun gang-gang kecil di tengah perkampungan kian mudah ditemukan di penjuru kota ini. Keberadaan hotel-hotel dengan bangunannya yang glamor dan megah terlihat kontras dengan bangunan-bangunan lama dan kecil rumah milik warga di sekitarnya. Belakang Hotel menyuguhkan gambaran lanskap baru Kota Jogja tadi dengan lugas. Bahkan, drone yang melayang di ketinggian ratusan meter pun dikerahkan untuk membuat gambaran tadi semakin lugas.
Protes dengan Mandi Tanah
Ketidaknyamanan warga karena kesulitan memperoleh air bersih sejak kehadiran hotel-hotel baru itupun berujung pada aksi protes.� Warga menuntut pengecekan sumur bor hingga penghentian operasional hotel.
Salah satu ketua RT kampung Gowongan mulai membuat poster protes sederhana dari karton dan cat serta spidol. Poster itu sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai alat berunjuk rasa ke pihak hotel di sekitar kampungnya. Tak sampai di situ, pria itu juga menjalin komunikasi dengan sejumlah warga dari kampung-kampung lain yang juga mengalami permasalah yang sama dengan kampungnya.
Sementara itu, pada waktu yang berdekatan, warga Miliran dan mahasiswa penghuni asrama di Jalan Kusumanegara beramai-ramai mendemo Fave Hotel. Hotel itu disinyalir menjadi biang keladi asatnya sumur-sumur di Miliran. Tak sebatas unjuk rasa dengan menggelar berbagai poster saja, warga bahkan sampai melakukan aksi teatrikal mandi dan menggosok gigi dengan tanah. Aksi yang dilakukan Dodo Putra Bangsa merupakan simbolisasi sulitnya warga Miliran memperoleh air bersih sejak Fave Hotel berdiri. Dodo melakukan aksinya itu di depan papan nama nama Fave Hotel.
Awalnya, Pemerintah Kota Jogja tak sepaham dengan kesimpulan warga yang mengadukan hotel sebagai penyebab asatnya sumur mereka. Badan Lingkungan Hidup Pemkot Jogja berpendapat, asatnya sumur warga lebih banyak disebabkan karena pengaruh kemarau panjang 2014 saat itu. Namun, warga tetap bersikukuh pada keyakinan mereka bahwa kemarau panjang bukanlah penyebab utama asatnya sumur mereka, melainkan karena operasional sumur hotel yang lebih dalam dengan pompa yang juga lebih bertenaga.
Hingga akhirnya, perjuangan warga Miliran pun terbayar. Seminggu setelah sumur Fave Hotel disegel pada September 2014, sumur-sumur warga pun kembali mengeluarkan air. Nah.