Hutan ternyata tak selamanya menguntungkan buat warga sekitar. Maklumlah, selain dikuasai negara, hak untuk memanfaatkan hutan hanya dipegang oleh segelintir orang, Parahnya, bukannya ikut merawat malah cenderung merusak, Kadang, warga bahkan tak boleh masuk hutan meski hanya untuk mengambil kayu bakar.
Hasilnya, warga di sekitar hutan mengalami kemiskinan luar biasa. Belakangan, banyak pihak menawarkan konsep pengelolaan hutan oleh rakyat. Harapannya, hutan tetap dijaga oleh masyarakat sekitar hutan, tapi mereka juga bisa memanfaatkan sumber daya yang dihasilkan. Logikanya, jika warga diuntungkan oleh keberadaan hutan, mereka tak akan merusaknya. Hutan dan rakyat saling menguntungkan, maka merusak akan merugikan mereka. Keuntungan menjaga hutan yang dinikmati mereka pun banyak. Dari mulai jaminan tak kekeringan sampai pemanfaatan hasil hutan, sebut saja tanaman obat, rotan dan damar.
Nah, prinsip itulah yang ditawarkan oleh Serikat Paguyuban Petani Qarryah Thayibah (SPPQT). Konsep pengelolaan hutan ala SPPQT ini diberi label Sistem Pengelolaan Hutan Oleh Organisasi Rakyat (SPHOR). Konsep ini ditawarkan oleh SPPQT untuk mengelola hutan di tiga wilayah kawasan hutan Gunung Merbabu, kawasan hutan Gunung Dukun dan kawasan Rawa Pening, Idealnya, de-ngan konsep ini pengelolaan hutan dari mulai perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan kolektif oleh rakyat, yang diwadahi dalam sebuah organisasi rakyat. Di kawasan Gunung Merbabu, hutan yang dulunya di kelola rakyat dan di tanami beragam pohon, dari mulai akasia sampa cemara, kini di kuasai Perhutani. Parahnya, semua tanaman diganti pohon pinus. Belakangan, hampir semua pohon terkena penyakit hama, dan menyebar ke lahan pertanian rakyat.
Di daerah hutan Gunung Dukun ceritanya lain lagi, Di kawasan penyangga hutan Kedungombo ini ada lima bukit tandus, yang diusahakan untuk dihijaukan oleh Perhutani namun selalu gagal. Sementara itu, warga yang kebanyakan buruh tani dan petani miskin- juga berupaya mengelola tanah tandus di beberapawilayah Gunung Dukun. Hasilnya, mereka sudah bisa memanen kedelai, kacangjagung dan palawija. Kedepannya, mereka sedang mengusahakan untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan secara sah, yang takcuma akan meningkatkan taraf hidup mereka tapi juga menJ’aga konservasi kawasan Gunung Dukun dan waduk Kedungombo.
Konsep pengelolaan hutan berbasis komunitas inilah yang mereka tawarkan pada dua menteri kabinet Yusuf Kalla dan Dorodjatun Kjuntjoro Jakti yang berkunjung ke Salatiga 3-4 Mei silam. Tanggapannya? Lumayan positif. Paling tidak pengelolaan hutan ini dianggap bisa mendukung sustanaible development pembangunan yang berkelanjutan yang belakangan ramai dibincangkan. Kelanjutannya? Ya, kita lihat saja nanti.