Oleh: Dwi Nugroho, S.Hut *
Walaupun telah diyakini masyarakat telah mengelola hutan secara lestari, banyak yang mengatakan bahwa bicara pengelolaan hutan rakyat sulit karena adanya tebang butuh. Berawal dari sebuah komunitas yang berkomitmen melakukan pengelolaan hutan rakyat lestari, ancaman tebang butuh dapat dikontrol sehingga hutan dapat lestari.
Udara sejuk Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul siang itu menerpa wajah kami bersama 30 pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Jasema. Rumah bergaya Limasan dengan kayu-kayunya yang kokoh menambah teduh diskusi siang itu. Suasana yang sejuk dan teduh itu lambat laun menghangat. Hangatnya suasana bukan karena pohon-pohon di Desa Terong habis ditebang, tetapi karena adanya diskusi serius antar pengurus KTH Jasema untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan hutan rakyat. Mereka mendiskusikan tentang penebangan pohon di hutan rakyat yang dilakukan karena kebutuhan ekonomi anggotanya, atau sering diistilahkan tebang butuh.
Sugiyono selaku ketua KTH Jasema mengungkapkan, permasalahan tebang butuh di Desa Terong tidak bisa dibiarkan. Ia mengkhawatirkan penebangan berdasarkan kebutuhan tersebut berpotensi menghancurkan hutan rakyat.
“Kalau menebangnya masih wajar, tidak jadi masalah. Tapi bagaimana kalau ada kebutuhan masyarakat yang hampir bersamaan pada tahun yang sama? Bisa-bisa hutan rakyat kita hancur!†ungkap Sugiyono.
Pengurus KTH Jasema yang akrab disapa Mbah Umpluk mengamini pernyataan Sugiyono. Dia menambahkan meski tebang butuh menjadi masalah besar, KTH tidak memiliki kewenangan untuk melarang warga atau anggota yang ingin menebang pohon.
Sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak dibidang reformasi tata kelola kehutanan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, AruPA sepakat bahwa tebang butuh bisa diliat ancaman dan tantangan. Sejak tahun 2012 lalu, AruPA mendampingi KTH Jasema dalam mengelola hutan rakyat di Desa Terong. Tebang butuh bisa menjadi ancaman jika tidak dikontrol dengan benar. Hutan rakyat akan benar-benar habis jika semua masyarakat berbondong-bondong ingin menebangnya. Namun, tebang butuh juga bisa menjadi tantangan bagi masyarakat karena tingginya harga kayu membuat masyarakat mau menanam pohon-pohonnya. Konsekuensinya, kontrol tebang butuh wajib dilakukan untuk mencegah rusaknya hutan rakyat.
Solusi terkait masalah tebang butuh pun akhirnya mengerucut pada kesepakatan untuk membangun lembaga simpan pinjam. Tujuannya adalah untuk mengatasi tebang butuh di Desa Terong.
Empat bulan setelah pertemuan tersebut, pembentukan lembaga keuangan tunda tebang pun dimulai. Prosesnya diawali dengan penguatan kapasitas berkolaborasi dengan Pemdes Terong dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul. Mulai dari pelatihan administrasi lembaga keuangan, pengelolaan keuangan lembaga simpan pinjam, penyusunan standart operational procedur (SOP) dan diskusi-diskusi terkait teknis pelaksanaan untuk meminimalisir masalah yang dihadapi nantinya.
Pada 23 Juli 2014 terbentuklah Koperasi Tunda Tebang (KTT) Jasema. KTT tersebut merupakan lembaga keuangan untuk mengurangi tebang butuh yang dilakukan oleh anggota KTH Jasema. KTT Jasema ini telah mendapatkan izin dari Dinas Perindustrian dan Koperasi Bantul.
Modal awal KTT Jasema adalah sebesar Rp 87 juta yang merupakan tabungan awal anggota KTH Jasema sebanyak 556 anggota. Proses pengumpulan modal tersebut menjadi sesuatu yang menarik dan merupakan pembelajaran di masyarakat. Hal tersebut karena adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan sehingga KTT Jasema dapat terbentuk. Walaupun belum bisa memberikan pinjaman kepada seluruh anggota Jasema, setidaknya sudah ada sekitar 50 anggota yang meminjam dan mengagunkan pohonnya kepada KTT Jasema untuk mendapatkan pinjaman. Hingga saat ini jumlah pohon yang telah diagunkan sebanyak 500 pohon kayu.
Dengan adanya KTT Jasema ini, masyarakat tidak perlu lagi menebang pohon jika membutuhkan uang, tetapi bisa meminjam kepada KTT Jasema. Ini merupakan proses yang menarik dimana sebuah permasalahan besar dalam pengelolaan hutan bisa diselesaikan melalui proses diskusi oleh komunitas masyarakat, untuk komunitas.
*Direktur Eksekutif ARuPA