Judul buku : Girls Make Media
Penulis : Mary Celeste Kearney
Tebal : 384 halaman
Penerbit : Routledge, New York, Amerika Serikat 2006
Dunia baru saja menyaksikan Malala Yousafzai terpilih sebagai salah satu penerima nobel perdamaian termuda dalam sejarah. Di usianya yang masih remaja, perempuan Pakistan itu berani menuntut hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan di tengah rezim yang tidak ramah terhadap perempuan. Nyawa menjadi taruhannya.
Kisah Malala, terlepas dari pro-kontra yang muncul untuk hadiah nobelnya, menunjukkan bahwa perjuangan menuntut pemenuhan hak perempuan tidak mengenal umur. Ini tentu saja tidak terlepas dari fakta ketidaksetaraan jender yang juga tidak memandang usia. Sejak dari dalam kandungan hingga menjadi dewasa, perempuan rentan menjadi obyek penderita dalam dunia yang didominasi budaya patriarki.
Kira-kira dalam konteks semacam itulah buku berjudul “Girls Make Media” ini ditulis. Jika umumnya para pemerhati kajian jender menjadikan perempuan dewasa dengan segala persoalan yang dihadapinya sebagai fokus utama, maka sejak awal Kearney memutuskan untuk fokus membahas remaja perempuan.
Setidaknya ada dua hal yang mendorong Kearney memilih fokus pada remaja perempuan. Pertama, karena dalam kajian jender, para peneliti dan pembuat kebijakan dipandang terlalu fokus pada persoalan perempuan dewasa sehingga kurang memperhatikan kebutuhan dan dinamika dunia perempuan yang masih remaja. Dan kedua, pada pengkaji budaya remaja (youth culture maupun subculture) kurang memberi perhatian pada budaya yang dikembangkan para remaja perempuan.
Melalui buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitian ini, Kearney berkisah tentang bagaimana para remaja perempuan khususnya di Amerika Serikat membangun budaya tandingan dalam posisi mereka yang tersubordinasi oleh budaya patriarki dan budaya perempuan dewasa pada awal tahun 1990-an. Mereka melakukannya melalui serangkaian kegiatan produksi pengetahuan.
Satu kelompok yang banyak ia kupas di buku ini adalah Riot Grrrl, gerakan remaja pengusung feminisme yang muncul pertama kali di Washington DC di 1991 dan dengan cepat menyebar ke kota-kota lain di Amerika Serikat. Gerakan ini mula-mula muncul dari sejumlah remaja perempuan yang terlibat dalam skena punk. Menyadari posisi mereka yang tersubordinasi oleh banyak hal, mereka mulai angkat bicara. Para remaja pernah mengalami kekerasan fisik, psikologis, maupun seksual semasa masih anak-anak, juga mereka yang bersimpati terhadap kasus-kasus semacam itu, mulai berkomunikasi lalu mengorganisasi diri.
Media tandingan
Media menjadi kata kata kunci yang menjadi penyebab meluasnya gerakan feminisme remaja tersebut. Ini karena gerakan Riot Grrrl aktif memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan melalui berbahai jenis media yang mereka kuasai. Mereka menyadari bahwa dunia remaja kerapkali disalahpahami oleh media-industri, oleh karena itu memproduksi media juga menjadi salah satu bentuk upaya mereka melawan dominasi media. Dengan memproduksi media, mereka mempertanyakan bahkan menantang kebenaran versi kelompok dominan.
Zine dan musik menjadi media andalan gerakan ini. Dalam zine yang bisa dibuat sendiri maupun berkelompok, mereka antara lain menulis bahwa para remaja perempuan harus berani bicara tentang dirinya sendiri agar kehadiran mereka diakui. Mereka juga mengajak remaja perempuan aktif menjadi produsen dengan mengusung prinsip “do it yourself (DIY)”.
Sebagai gerakan yang mula-mula muncul dari skena punk, mereka yang aktif dalam gerakan ini memang akrab dengan musik. Oleh karena itu, musik menjadi media yang tak kalah penting untuk menyatakan sikap mereka. Selain itu, gerakan ini juga aktif memproduksi film/video. Mereka memiliki jadwal pemutaran film rutin di sejumlah kota.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi disambut baik oleh gerakan ini. Mula-mula, surat elektronik menjadi andalan untuk mendistribusikan zine dalam jaringan mereka. Mengikuti perkembangan teknologi, mereka kemudian membuat blog dan website–bukan hanya sebagai pengisi konten namun juga pendesain (web designer).
Keakraban remaja perempuan dengan teknologi itu sekaligus menghapus stereotip bahwa perempuan berjarak dari teknologi. Jika dikenalkan sejak awal, perempuan akan mudah akrab dengan perkembangan teknologi.
Melalui beragam jenis media itu, mereka juga mendorong para perempuan untuk memproduksi barang-barang yang mereka butuhkan. Ini menjadi jawaban mereka terhadap posisi remaja perempuan yang menjadi sasaran produk-produk industri kapitalis. Dengan semangat DIY, kegiatan produksi barang-barang itupun meluas. Ini memantik semangat berwirausaha di kalangan remaja perempuan.
Pada akhirnya, media dan kultur produksi DIY itu adalah pernyataan untuk memberdayakan diri menjadi merdeka. Tentang hak remaja perempuan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri.
Meski fokus membahas gerakan remaja perempuan di tahun 1990-an, Kearney mencoba menelusuri gerakan serupa di era sebelumnya. Ia misalnya menemukan bahwa dalam budaya barat (terutama Inggris), remaja memang diposisikan untuk sekadar mengikuti apa kata orang dewasa. Pascaperang dunia kedua, remaja perempuan bahkan semakin diposisikan untuk lebih fokus ke rumah dibanding saudara laki-lakinya, guna menyiapkan diri menjadi istri dan ibu.
Di rumah, mereka diajari membuat kerajinan di bawah bimbingan ibu atau perempuan dewasa lainnya. Bagi remaja perempuan dari keluarga kaya, mereka juga diajari baca-tulis. Kearney mencatat, para remaja perempuan yang melek huruf didorong untuk menulis hal-hal yang berorientasi ke dalam dirinya sendiri di dalam buku harian, misalnya tentang perasaannya maupun hubungannya dengan Tuhan. Buku harian semacam itu kerapkali harus ditunjukkan kepada ibu maupun orang dewasa lainnya untuk dikoreksi. Sedangkan remaja laki-laki didorong untuk menulis hal-hal yang berorientasi ke luar.
Walaupun hidupnya dibatasi banyak hal, Kearney menemukan bahwa kegiatan membuat kerajinan maupun menulis buku harian semacam itu menyediakan ruang berekspresi bagi perempuan. Dan itu menjadi pondasi bagi gerakan perempuan yang muncul di era selanjutnya. Kearney juga menyebut bahwa kemunculan gerakan semacam Riot Grrrl tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan sosial di berbagai negara mulai pertengahan abad 20, yang juga menjadikan media sebagai salah satu bagian dari pergerakan.
Dalam buku ini, Kearney tidak memberi batasan tentang usia remaja. Namun di beberapa bagian ia menyebut bahwa gerakan remaja perempuan itu disokong oleh mereka yang duduk di bangku sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Ia juga mengutip peneliti yang membagi remaja dalam kelompok umur 9 – 18 tahun. Dijelaskan bahwa secara psikologis, remaja berumur 9 – 12 tahun lebih membutuhkan informasi tentang perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya saat beranjak dari anak menjadi remaja. Sedangkan remaja di usia 14 – 18 tahun dipandang lebih mudah diajak berdiskusi dan lebih cepat akrab dengan teknologi sehingga lebih bisa diajak berpartisipasi memproduksi media.
Selain itu, buku ini didasarkan pada penelitian terhadap kultur remaja perempuan kulit putih. Oleh karena itu, kompleksitas persoalan yang dihadapi remaja kulit hitam perempuan dengan identitas ras mereka hanya disinggung sekilas dalam buku ini.
Meski begitu, buku ini menyajikan informasi yang kaya tentang bagaimana upaya remaja perempuan membangun budaya tandingan. Buku ini bisa menjadi inspirasi bagi para peneliti serta pemerhati kajian jender, media dan budaya untuk melihat dunia remaja perempuan yang dinamis.
Peresensi : Idha Saraswati/Kombinasi Edisi 60-Februari 2015-Merajut Semangat Bersama Radio Darurat
Pegiat Combine Resource Institution