Ketoprak Bakaran Melenggang bersama Zaman

Oleh Saroni Asikin

SIANG itu, panas matahari seperti memanggang sebuah desa di pedalaman Pati, Jawa Tengah. Angin yang menabrak-nabrak rerimbunan bambu yang bergerumbul-gerumbul di jalan desa membawa rasa gerah dan musik yang ringsang. Suasana seperti itu sangat membuat orang ingin rehat, mengiyup dalam lindungan rumah.Tapi tidak. Di ujung desa, orang-orang bergerombol di depan panggung ketoprak di bawah sebuah deklit sederhana. Deklit itu sengaja dipasang orang yang lagi menggelar perhelatan pernikahan, persis di depan panggung. Orang yang tak kebagian tempat di bawah deklit menepi, berlindung di bawah-bawah pohon pisang. Begitu semarak, begitu riuh-rendah. Para penjual yang mremo ikut menambah kesemarakan perhelatan.

Sementara di panggung, Damar Wulan lagi bercakap-cakap dengan dua abdinya, Sabdo Palon dan Noyogenggong. Sibuk membanding-bandingkan kecantikan Ratu Kenconowungu dengan Anjasmoro. Orang-orang yang berjubel, menyimak setiap kata para pemain Ketoprak Cahyo Mudho dari Desa Bakaran, Juwana, Pati (karena itu lebih dikenal dengan sebagai Ketoprak Bakaran) dengan saksama. Siang itu lakon yang dimainkan berjudul “Menak Jinggo Gugur”.

Di manakah sang ratu dan putri Patih Lohgender yang lagi diperbincangkan itu. Coba sibak jubelan penonton dan longoklah pada pekarangan kebun pisang yang ada di belakang panggung. Di situ, Ratu Kenconowungu dan Anjasmoro duduk berjejeran sambil mematut-matut diri di depan cermin kecil. Sibuk membenahi riasan. Sesekali bersenda gurau. Tak ada kesan keduanya saling bersaing merebut hati si tampan Damar Wulan. Sebab, mereka lagi tidak sedang di “alam cerita”. Mereka lagi menjadi diri mereka, perempuan paroh bayayang bertetanggaan di desanya.

Di sekitar dua perempuan itu, laki-laki dan perempuan, para awak Cahyo Mudho, sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Ada yang merias atau mematut-matut busana panggung. Tapi banyak pula yang berbaring sambil berkipas-kipas mengusir kegerahan.

Di sebuah bangku kayu, pemimpin kelompok ketoprak itu, Kabul Sutrisno (73), bertelanjang dada dengan muka masih beriasan pelakon bala dupakan, asyik merokok. Dadanya basah oleh keringat yang mengucur.

Kagak ada matinya
Suasana seperti itu di atas hampir selalu tertatap mata setiap kali sebuah grup ketoprak manggung di Pati. Agak eksklusif barangkali antusiasme orang Pati menonton sajian ketoprak. Tak heran ketika banyak grup ketoprak seperti mati suri, sebut saja Ketoprak Balekambang atau Sriwedari di Solo jumlah grup ketoprak di Pati begitu bejibun.

Selain Cahyo Mudho, sebut beberapa lainnya seperti Siswo Budoyo, Bangun Budoyo, Langen Marsudi Rini,atau Ronggo Budoyo. Bahkan, sebuah grup ketoprak yang semua anggotanya anak-anak pun ada di kota tersebut. Ari Budoyo, contohnya.

Jadi, zaman yang telah menawarkan beragam tontonan yang bersifat modern atau bahkan super-modern, agaknya tak mampu menggerus keberadaan mereka. Ketoprak Pati tak bisa mati, atau pinjam istilah populer anak muda kagak ada matinya.

Lebih menarik lagi bila kita mencermati bahwa panggung ketoprak tak semata sebuah manifestasi ekspresi kesenian, tapi juga gantungan hidup. Sebuah grup rata-rata memiliki kru lebih dari 60 orang, sementara jumlah grup ketoprak di Pati berada dalam hitungan belasan, maka Anda bisa membayangkan sendiri berapa orang yang “hidup” dari situ.

Dahsyatnya lagi bila kita menilik kebertahanan mereka menghadapi gerusan zaman dan arus perubahan msayarakat bukan semata dalam hitungan windu atau dasawarsa. Ada yang tetap bertahan hidup lebih dari separuh abad. Ketoprak Cahyo Mudho, misalnya, telah berdiri sejak tahun 1951. Boleh dibilang, grup tersebut paling tua kalau dibandingkan dengan grup-grup ketoprak yang ada di Pati sekarang.

Ini cerita dari Kabul Sutrisno, salah seorang pendiri grup ketoprak tersebut yang hingga kini masih memeras keringat dan pikiran menghidupi kelompok tersebut.

Tahun 1950, Mas Gari, Pak Supat, dan Pak Sarwo mendirikan grup ketoprak bernama Budi Sampurno. Kabul saat itu sudah terlibat sebagai pemain dugangan (istilah khas Pati untuk menyebut pelakon bala dupakan seperti yang dikenal pada Ketoprak Solo). Kalau lihat perannya yang tak memegang rol (pelakon utama), boleh jadi dia tak bisa dicatat sebagai seorang pioner.

Tapi dia jugalah yang lalu memelopori pendirian Cahyo Mudho pada tahun berikutnya. Itu sebenamya hanya nama baru dari Budi Sampurno, sebab krunya tetap sama. Perannya semakin menonjol begitu dia memimpin grup pada tahun 1965. Hingga sekarang itu, tak terbilang jumlahnya pemain dan kru yang datang dan pergi.Tapi tak sedikit pula yang tetap setia bersama Kabul mengibarkan bendera Cahyo Mudho.

Gantungan hidup
Apakah mereka, khususnya pemain dan kru Cahyo Mudho, benar-benar hanya hidup dari manggungnya grup tersebut? Apakah menjadi pemain atau kru ketoprak adalah mata pencaharian mereka sehari-hari?

“Ah, ya gak. Sebagian besar kami ini petani,” tandas Kabul Sutrisno dalam dialek Pati yang kental.

Dia sendiri selain menjadi salah seorang “pejabat” di Desa Bakaran Kulon, juga seorang petambak udang windu.Tapi diakui atau tidak, Cahyo Mudho telah memberikan “sambungan nyawa” pada semua orang yang terlibat. Apalagi grup ketoprak itu seperti tak mengenal istilah “sepi tanggapan”. Dalam setahun, barangkali cuma bulan Sura atau Muharram yang sepi tanggapan karena memang orang Jawa jarang yang punya hajat di bulan tersebut. Dalam sebulan saja, Cahyo Mudho ditanggap rata-rata 21 kali di hampir seantero eks-Karesidenan Pati mencakup Pati, Rembang, Blora, Jepara, dan Kudus.

Dengan jumlah tanggapan seperti itu, Anda bisa mengalkulasi berapa honor yang masuk pada semuayangterlibat.Jadi,meskipun mata pencaharian pokok mereka adalah bertani dan bertambak, grup ketoprak pun jadi ajang mengais rezeki.

Apalagi Kabul blak-blakan membuka rincian perolehan masing-masing orang yang dia pimpin. Tak sama memang perolehan masing-masing orang. Sebab mereka dihargai sesuai perannya.

Kata Kabul, pembayaran honor dibagi dalam kelompok-kelompok. Itu berlaku pada hampir semua grup ketoprak. Di kelompoknya, honor pelakon atau pemain terbagi dalam empat kategori. Untuk sekali main, kategori A berhonor Rp 125 ribu, B dihargai Rp 100 ribu, kategori C sebesar Rp 75 ribu, dan D seharga Rp 50 ribu.

“Pemain rol paling gede bayarannya. Saya saja kalah wong cuma jadi dugangan. Saya cuma dapat Rp 50 ribu sekali main,” ujarnya sambil terkekeh.

Masih ada pembagian honor lain. Penarik kelir yang jumlahnya enam orang dibayar Rp 220 ribu. Itu dibagi sendiri di antara mereka. Untuk niyaga atau pengiring musik, kategorinya terbagi dalam tiga kelompok dengan rincian honor Rp 70 ribu, Rp 60 ribu, dan Rp 50 ribu.

Silakan kalkulasi sendiri berapa yang masuk ke kocek masing-masing orang. Apalagi biasanya, sekali tanggapan ketoprak main dua kali: siang dan malam. Ada selisih harga main siang dengan main malam. Siang hari Cahyo Mudho dibayar Rp 4,7 juta, sementara malam Rp 4,5 juta. Dengan jumlah kru yang mencapai 70 orang, kata Kabul, yang tersisa hanya untuk kas grup yang dipatok Rp 200 ribu sekali tanggapan. Adakalanya bahkan habis total dibagi-bagi, sebab sering benar ada “pihak ketiga” yang ikut memanen. Itu biasanya dilakukan orang-orang yang dengan tanpa malu meminta layaknya preman-pemalak.

“Kami kadang tak bisa menolak mereka.Yah, hitung-hitung bagi-bagi rezeki,” ujar Kabul,tetap dengan riang terbahak.

Gampangkah mengelola ketoprak dengan jumlah anggota puluhan orang?

“Gampang-gampang susah.Tapi kami berprinsip, semua yang ada dalam grup adalah saudara. Hubungan kami tak sebatas hubungan peran,tapi juga dalam keseharian. Kalau ada yang sakit atau tertimpa musibah, kami saling membantu.”

Dengan dinamika seperti itu, optimistiskah ketoprak mereka bisa bertahan terus? Mantap Kabul menjawab, “Optimistis. Buktinya sudah banyak tontonan, kami masih dicari juga.” Semoga saja, ya Pak Kabul.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud