“Hak untuk Tahu? Belum pernah dengar,” Bagus Hally (22), mahasiswa salah satu universitas swasta di Kota Yogyakarta.
Sebanyak delapan dari sepuluh orang memberikan jawaban yang persis dengan Bagus saat redaksi Kombinasi menanyakan tentang pemahaman mereka terhadap hak memperoleh informasi dari badan publik atau Hak untuk Tahu (HUT). Kesepuluh narasumber itu berasal dari berbagai latar belakang profesi dan tempat tinggal, mulai dari PNS, guru swasta, mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga pekerja swasta di wilayah DI Yogyakarta. Sebagian besar ternyata belum menyadari bahwa mereka memiliki HUT.
Kita harus tahu bahwa kita mempunyai HUT terkait dengan informasi publik yang dimiliki oleh badan publik, baik milik negara maupun swasta. Ada banyak informasi publik yang bisa kita akses dari badan publik utamanya milik negara, mulai dari tingkat pusat hingga desa. Saat bicara tentang informasi publik di desa, misalnya, warga berhak mengetahui alokasi anggaran pembangunan jalan di desa dan bagaimana realisasinya. (Selengkapnya tentang sejarah HUT di Indonesia, baca Jurnalisme Warga dan Hak untuk Tahu).
Contoh informasi publik lain yang kini sedang marak terjadi baik di Yogyakarta maupun wilayah lainnya adalah masalah investasi industri skala besar, mulai dari pembangunan pabrik hingga hotel. Masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung dari rencana pembangunan tersebut, berhak tahu informasi terkait rencana pembangunan dan keputusan pemberian izinnya, baik IMB (Izin Membangun Bangunan), Amdal (Analisis Dampak Lingkungan), izin usaha, maupun perizinan lain menyangkut rencana pembangunan itu. (baca juga: Jalan Panjang Memperjuangkan Hak Atas Informasi).
Mengapa HUT penting untuk kita ketahui?
HUT merupakan hak setiap warga negara. Dengan adanya hak tersebut, setiap warga negara memiliki akses untuk mengetahui informasi publik. Akses terhadap informasi akan memungkinkan setiap warga memiliki bekal yang cukup untuk menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidupnya. Akses terhadap informasi juga bisa menjamin warga berpartisipasi aktif dalam mengawal kebijakan dan rencana pembangunan yang akan berdampak bagi dirinya. Partisipasi itu juga merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Sementara di sisi lain, badan publik memiliki kewajiban untuk membuka akses informasi bagi warga. Landasan kewajiban tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Publik (UU KIP) yang mulai diberlakukan pada 2008. Lembaga negara yang mengawal keterbukaan informasi publik adalah Komisi Informasi (KI) yang saat ini ada di tingkat pusat atau Komisi Informasi Pusat dan di tingkat provinsi.
Adam Wijoyo Sukarno, dosen Ilmu Komunikasi UGM menjelaskan, delapan tahun sejak dibentuknya KI provinsi, secara kuantitas sebagian badan publik telah menerapkan beberapa klausul yang diatur dalam UU No 14 tahun 2008. Badan publik pemerintah misalnya, telah menerapkan beberapa hal terutama terkait dengan informasi yang wajib disediakan dan disiarkan sesuai amanat pasal 9 UU KIP. “Badan publik nonpemerintah (misalnya partai politik, institusi pendidikan, dll) sebagian telah menerapkan UU KIP, sementara sebagian lainnya belum,” urainya saat menjawab wawancara tertulis, Selasa (20/6).
Di DI Yogyakarta, KI lebih dikenal dengan Komisi Informasi Daerah Istimewa Yogyakarta (KI DIY). KI di tingkat pusat dan daerah bertugas melakukan sosialisasi dan edukasi keterbukaan informasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak mereka atas informasi publik. Selain itu, KI juga bertugas menerima aduan, memeriksa dan memutus sengketa informasi publik. Tugas lainnya, KI juga mengevaluasi pelaksanaan layanan informasi publik dan penerapan keterbukaan informasi publik.
Rendah, penggunaan HUT di Yogyakarta
Belum semua warga negara memiliki kesadaran untuk menggunakan hak untuk meminta informasi, termasuk di DI Yogyakarta. Adam mengatakan, meskipun ada beberapa terobosan yang dilakukan oleh KI DIY melalui media cetak dan media audio untuk mendongkrak pengetahuan masyarakat, namun permohonan informasi belum cukup meningkat secara signifikan.
Masih rendahnya jumlah warga yang sadar akan HUT diakui Martan Kiswoto selaku Komisioner KI DIY bidang Kelembagaan. Menurutnya, tingkat kesadaran masyarakat akan HUT masih sebatas pada pemahaman. Padahal, lebih dari sekadar memahami, masyarakat juga bisa menggunakan HUT untuk mengajukan sengketa informasi, baik itu antarperorangan maupun antara perorangan dengan badan publik. “Warga yang tahu Hak untuk Tahu masih sedikit. Itupun hanya sebatas pemahaman, belum pada penggunaan hak mereka,” aku Martan Kiswoto saat ditemui, Rabu (19/4).
Rendahnya penggunaan HUT di DIY bisa dilihat dari minimnya pengajuan sengketa informasi ke KI DIY. Sepanjang 2016, hanya ada 13 sengketa informasi yang diajukan masyarakat ke lembaga ini. Jumlah itupun menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 14 sengketa informasi. Mayoritas pengajuan sengketa informasi adalah seputar sengketa agraria. “Kalau pada penggunaannya (HUT-red), lebih banyak yang terkait dengan keuntungan ekonomis. Kalau itu (pengajuan sengketa informasi-red) tidak langsung terkait kepentingan ekonomi, (HUT-red) sekadar menjadi pemahaman saja,” katanya.
Salah satu penyebab rendahnya penggunaan HUT di Yogyakarta ini ternyata tidak lepas dari budaya “ewuh pakewuh” alias sungkan pada masyarakatnya. Martan Kiswoto mengungkapkan, budaya ini seringkali membuat masyarakat mengurungkan niat untuk mengajukan sengketa informasi karena merasa sungkan dengan termohon. Kentalnya budaya “sasmita” atau penggunaan lambang-lambang (baik melalui sikap maupun kata-kata) pada masyarakat Yogyakarta juga menjadi penghambat pengajuan sengketa informasi. Budaya sasmita ini membuat masyarakat lebih kerap mengggunakan lambang-lambang tertentu ketika menghadapi suatu sengketa informasi. Kata Martan, ”Tidak to the point.”
Sosialisasi yang dilakukan KI DIY, selain menyasar badan publik, juga menyasar masyarakat, baik melalui pertemuan langsung, penyebaran leaflet, buku, brosur maupun melalui gelaran pameran pembangunan dan car free day di kabupaten. Pada peringatan Hari Keterbukaan Informasi Nasional yang jatuh pada 30 April lalu, misalnya, KI DIY mengadakan sosialisasi keterbukaan informasi publik dengan mengemasnya dalam senam massal bertajuk ‘Senam Sak Isane’. Kegiatan tersebut digelar di lokasi Car Free Day Harian Kedaulatan Rakyat di Kota Yogyakarta pada Minggu (7/5) pagi. “(sosialisasi-red) Baik yang memang ada anggarannya (melalui seksi fasilitasi KIP), maupun yang dilakukan tanpa anggaran (nonbudgeter). Kegiatan nonbugedter tidak mungkin dihindari mengingat terbatasnya anggaran,” tulis Suharnanik Listiana selaku komisioner KI DIY Bidang Advokasi, Sosialisasi dan Edukasi di Buletin Tinarbuka edisi 14 yang diterbitkan KI DIY.
Persoalan birokrasi, menurut Adam, menjadi salah satu penyebab minimnya kualitas implementasi UU KIP di DI Yogyakarta. Sebabnya, KI provinsi berada di bawah koordinasi Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi (Dishubkominfo) DI Yogyakarta. Hal itu berimbas pada rumitnya tata cara perencanaan anggaran dan relasi yang tidak seimbang antara komisioner dan dinas. “Seolah-olah KI menjadi bagian dari dinas dan ‘harus’ memahami kepentingan birokrasi. Ekstrimnya KI harus manut pada dinas,” pungkasnya. (Apriliana Susanti).
Baca juga:
- Bekal Informasi untuk Advokasi
- PPID, Garda Terdepan atau Beban Tambahan?
- Infografis: Cara Memperoleh Informasi Publik
Tulisan ini diterbitkan di Kombinasi cetak edisi 68 bulan April-Juni 2017.
One thought on “Kita Harus Tahu Hak untuk Tahu!”