Oleh Basri Andang
Injo natahan borongnga ri Kajang ka pasang napatantang Rettopi tanayya rettoi ada”
Inilah salah satu aturan adat (pasang ring kajang) yang diutarakan oleh Ammatoa (pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang) ketika menerima penulis bersama rombongan Share Learning (SHL) Konsorsium Ornop untuk Hutan Sulsel (Konstan) pada awal Juli 2005. Dengan memakai Bahasa Konjo, yaitu bahasa Makassar kuno yang masih dipakai masyarakat pedalaman di kawasan hutan, Ammatoa menegaskan bahwa aturan adat itu harus dipatuhi, dipegang teguh dan dilaksanakan masyarakat Kajang dalam kehidupan sehari-harinya.
Pemukiman masyarakat Kajang berada di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka berdiam di tujuh dusun dalam wilayah Desa Tanatoa dan Desa Maleleng. Jaraknya sekitar 200 km dari dari ibukota provinsi (Makassar). Komunitas adat ini dikenal sebagai kelompok masyarakat adat tertua di Sulawesi. Di sanalah sekitar 800 keluarga bermukim di bawah kepemimpinan seorang Ammatoa.
Memasuki kawasan adat Kajang, siapapun, tak pandang bulu harus mematuhi aturan-aturannya. Dari mulai memakai pakaian komunitas Kajang hingga passapu (semacam kain penutup kepala) yang berwarna serba hitam. Seperti halnya suku Baduy di Jawa Barat, komunitas adat Kajang juga menolak segala bentuk arus modernisasi. Tak satupun kendaraan bermotor, termasuk sepeda, diperbolehkan masuk ke wilayahnya. Jika memperhatikan lingkungan rumahnya, maka seluruh rumahnya terbuat dari kayu dan bambu. Komunitas Kajang juga tidak perlu pusing dengan matinya listrik yang kini kerap melanda Jawa dan Bali. Untuk penerangnya, mereka tak butuh listrik, tetapi hanya mengandalkan “lampu alam” yaitu bintang , bulan dan juga api.
Kesatuan Manusia dan Hutan
Komunitas adat Kajang juga terkenal memegang teguh adat istiadat pengelolaan hutan sehingga bisa terpelihara. Simak saja beberapa aturan yang berkaitan langsung dengan hutan, antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia): ”Manusia dan hutan adalah satu yang harus saling melindungi. Hutan dan manusia sama-sama diciptakan Tuhan untuk saling memberi kehidupan. Tanpa hutan manusia tidak bisa hidup, karenanya manusia harus menjaga hutan agar bisa tetap hidup”.
Bagi masyarakat Kajang ada empat sumber kebutuhan pokok manusia yang berasal dari hutan, yaitu kaju (kayu), uhe (rotan), bani (lebah) dan doang (udang). Seperti yang tertuang dalam bunyi aturan di bawah ini: ”Raunna ngonta’ bosi, aka’na ngonta’ tumbusu” yang berarti ”Dari daun pohon/kayu mengikat mendatangkan hujan, kemudian dari akarnya muncul mata air”. Selanjutnya, air dari mata air itu mengalir dari hutan yang berada di atas gunung (hulu) hingga ke empat wilayah yang ada di bagian hilir. Air itu lalu dipakai untuk bercocok tanam, memenuhi kebutuhan air minum dan untuk keperluan sehari-hari.
Hutan menjadi sesuatu yang sangat sakral karena masyarakat Kajang percaya bahwa ada “penjaga hutan” di setiap penjuru mata angin. Di sebelah utara dijaga oleh Dangempa, di selatan oleh Damangnga Salang, di timur dijaga oleh Dakodo dan Dalonjo yang menjaga hutan di sebelah barat. Khusus hutan yang ada di dalam kawasan adat dijaga oleh Tumutung.
Sebagian besar wilayah kawasan Adat Ammatoa terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah hutan yang dapat digarap atau disebut hutan rakyat, luasnya sekitar 98 hektar. Warga menggarap bersama dan menikmati hasil bersama. Ada pula hutan kemasyarakatan, 144 hektar, yang boleh digarap dengan syarat harus lebih dulu menanam bibit pohon pengganti pohon yang ditebang. Yang terakhir adalah hutan adat atau hutan pusaka seluas 317 hektar yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual pemilihan Ammatoa. Untuk hutan adat ini, yang melanggar akan dikenai sanksi sesuai aturan adatnya.
Sanksi atau hukuman terberat akan dijatuhkan bagi setiap orang yang menebang kayu. Mereka yang melakukan itu dikenakan denda berupa membayar denda sebanyak 12 real dan 12 siku kain kafan. Angka 12 (duabelas) ini memiliki makna tersendiri yang sangat sakral bagi komunitas adat Kajang. Karena menebang pohon merupakan pelanggaran terberat, sehingga pemberian sanksinya tidak melalui beberapa tahapan.
Sepintas, sanksi tersebut dianggap mudah dipenuhi. Semuanya bisa diperoleh di mana-mana, akan tetapi bagi komunitas adat Kajang, sanksi itu sangat berat karena real yang dimaksud itu tidak sama nilainya dengan mata uang Arab sekarang. Real tersebut sebuah alat jual beli masa lalu menyerupai kepingan yang sekarang sangat sulit ditemukan, kecuali orang-orang tertentu saja. Demikian pula kain kafannya. Bukanlah kain kafan yang dijual di pasaran yang dipakai mengkafani orang kebanyakan ketika meninggal dunia, namun kain kafan tersebut adalah kain kafan khusus yang dipakai untuk membungkus setiap warga Kajang yang meninggal dunia, dan harus ditenun sendiri oleh si pelanggar. Semua pelaksanaan sanksi/hukuman bagi si pelanggar pasang atau adat selalu dilakukan melalui ritual yang begitu khidmat dengan dihadiri Ammatoa bersama perangkat adat Kajang, serta disaksikan oleh seluruh anggota komunitas.
Dalam adat Kajang dikenal pula pemberian hukuman yang disebut tunu passau, semacam ritual yang dilakukan untuk seseorang yang mencuri (termasuk mencuri kayu) tapi tidak mau mengaku. Setelah acara tersebut dilakukan maka si pencuri akan kena bala (bahaya), penyakit, bahkan tidak sedikit yang mengalami kematian.
Mempertahankan yang Tersisa
Dengan memakai bahasa Konjo, Ammatoa menuturkan bahwa kehancuran hutan berawal dari intervensi negara terhadap pengelolaan hutan. Semua urusan hutan dan hal-hal yang berkaitan dengan hutan berada dalam kewenangan pemerintah (Departemen dan Dinas Kehutanan). Ammatoa tidak yakin hutan bisa lestari dengan cara demikian, karena negara/pemerintah yang mengurus hutan, sehingga suatu waktu mereka (pemerintah) mau menebangnya atau merubahnya menjadi kawasan perkebunan atau perumahan dan lain-lain, maka tidak ada yang bisa lagi melarang. ”Tidak seperti kalau hutan itu diurus oleh adat, maka adat pula yang akan menjaganya,” kata Ammatoa.
Masih membekas dalam ingatan seorang tokoh masyarakat adat Kajang yang kini menjabat sebagai Galla Puto (juru bicara Ammatoa) bahwa awal kerusakan hutan di daerah Kajang mulai terjadi setelah tahun 1945. Pada saat itu, ratusan hektar hutan masyarakat adat Kajang harus dilepas ke tangan perusahaan perkebunan karet yang saat ini dikelola PT Lonsum, dan sebagian lagi dikapling-kapling aparat ABRI (tentara dan polisi) untuk dijadikan areal perkebunan. Padahal pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, hutan adat Kajang tidak pernah mengalami penyusutan dan kerusakan. Pasalnya, pada saat itu, masyarakat adat Kajang sendiri yang mengelola hutannya. Tidak sedikitpun ada intervensi Belanda dan Nippon (Jepang).
Akibat amblasnya ratusan hektar hutan adat Kajang pasca tahun 1945, sekarang untuk membangun rumah saja, masyarakat adat Kajang harus mendatangkan kayu dari luar. Penyebabnya, pertama; tidak boleh menebang kayu di kawasan hutan adat Kajang. Kecuali pohon yang memang mereka tanam sejak bayi sebagai simpanan kebutuhannya kelak setelah dewasa. Jangankan masyarakat adat, Ammatoa beserta pemangku adat Kajang sama sekali tidak diperbolehkan mengambil kayu di hutan untuk ramuan rumah (membangun rumah). Kedua, hutan yang dulu tempatnya mengambil kayu untuk keperluan membangun rumah sudah habis dibabat kemudian ditanami karet dan dijadikan kebun yang dikapling tentara dan pejabat.
Kini, berbagai kalangan yang berasal dari pelosok di tanah air berkunjung ke kawasan ini untuk mengetahui pengelolaan hutan yang dilakukan oleh mayarakat adat Kajang. Komunitas adat Kajang tidak mau ‘memelas’ kepada pemerintah agar mengakui kawasan hutan adatnya hanya karena ‘budi baiknya’ melestarikan hutan yang ada di kawasan Pegunungan Bulukumba. Akan tetapi mereka membutuhkan pengakuan atas wilayah adat yang sekarang mereka tempati, karena dengan adanya pengakuan atas wilayah adat maka akan semakin luas hutan yang lestari dan terjaga. Yang terpenting lagi, ada kepastian akan hak kelola hutan oleh masyarakat adat Kajang. ***
Penulis:
Anggota Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan Sulawesi (Jurnal Celebes)
Juga aktif sebagai: Wartawan Tabloid DEMOS Makassar & Pemimpin Redaksi Majalah CAGAR Jurnal Celebes