Judul Buku : Komunitas-komunitas Terbayang
Judul Asli : Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism)
Penulis : Benedict Anderson
Penerbit : Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun Terbit : Cetakan III, September 2008
Jumlah Halaman: 336 hal., ditambah i-liv (54 hal. kata pengantar dll.)
Nasionalisme, sebuah kata yang saat ini sudah begitu lacur. Nasionalisme yang sebenarnya begitu kompleks kini begitu absurd baik dari segi pemaknaan maupun tujuan sehingga lebih sering digunakan sebagai pemanis semata dalam berbagai tulisan dan kegiatan. Membongkar kembali makna dari nasionalisme bukanlah perkara yang mudah. Benedict Anderson dalam Komunitas-komunitas Terbayang (diterjemahkan dari judul asli Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism) telah membuktikan betapa upaya pembedahan ulang akan makna nasionalisme sama dilematisnya dengan membongkar kembali luka sejarah yang telah terjadi atau bahkan yang masih berlangsung di sebuah negara.
Nasionalisme yang dimaksudkan sebagai pemersatu, justru seringkali mengkhianati suku bangsa yang dipaksa bernaung di bawahnya. Tritunggal suci yang tertuang dalam sumpah pemuda tahun 1928 yaitu satu bahasa, bangsa dan tanah air, kini terusik. Korelasi dari sumpah satu bahasa, bangsa, dan tanah air justru memantik kegundahan akan apa yang dimaksud bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan itu sendiri. Satu bahasa tidaklah membuat Indonesia menjadi satu bangsa, dan satu bangsa tidaklah mengharuskan kita berbicara satu bahasa. Begitu pula sumpah satu tanah air juga tidak dengan sendirinya membuat Indonesia menjadi satu bangsa. “Aceh adalah contoh paling berdarah, Papua pentasan paling mengusik nurani dan rasa kemanusiaan, dan akhirnya, tentu saja, Timor Timur adalah contoh paling menyakitkan dan menyiksa dari semuanya,” tulis Daniel Dhakidae dalam kata pengantar buku ini.
Komunitas-komunitas Terbayang yang terbit pertama kali pada tahun 1983 ini menggarisbawahi bahwa bangsa merupakan komunitas yang melampaui suatu proses radikal berupa konstruksi sosial menjadi komunitas politik terbayang, bersifat terbatas secara inheren, dan berkedaulatan.
“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu.” (Benedict Anderson, Komunitas-komunitas Terbayang, hal. 11.)
Dalam gagasan di atas jelas terlihat bahwa nasionalisme lebih dihubungkan dengan kesetiakawanan dan persaudaraan yang merupakan makna komunitas dalam pengertian modern. Sebagai tambahan namun tidak mengurangi peran, Anderson juga melihat hubungan erat antara kapitalisme media sebagai unsur pembentuk nasionalisme. Jika komunitas bergerak dalam kerangka kesetiakawanan dan persaudaraan, maka media membingkai gerakan tersebut menjadi sebuah kesadaran baru yaitu kebangsaan.
Lalu mengapa Anderson memaknai bangsa sebagai komunitas-komunitas terbayang? Menurut Anderson, dikatakan terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak akan tahu dan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Bangsa merupakan sebuah proyeksi ruang dan waktu, yang membuat semua orang membayangkan dirinya terlibat dalam sebuah bangsa dan kebangsaan.
Hilang sesat dalam memaknai kebangsaan inilah yang membuat tragedi berdarah terjadi di banyak negara seperti RRC, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia. Nasionalisme sebagai sebuah “bangun-rasa” atas kebersamaan yang terbayang namun terbatas, kerap disalahpahami oleh negara sehingga terjadilah pemaksaan atau yang diistilahkan Bung Karno sebagai nasionalisme yang menyerang-nyerang terhadap wilayah lain. Nasionalisme berubah menjadi sempit dan sombong.
Dalam buku ini tragik nasionalisme ditampilkan melalui tragedi antara sesama negara Marxist yaitu RRC, Vietnam dan Kamboja. Tragedi Vietnam dan Kamboja yang saling menggorok leher tersebut memang menjadi titik pendorong dalam penyusunan buku ini, disamping banyak contoh dari negara lainnya yang ditampilkan termasuk Indonesia. Sebagai seorang profesor dan antropolog yang paling banyak meluangkan waktunya untuk meneliti mengenai Indonesia, tidak heran Anderson kerap mencomot berbagai kasus yang terjadi di Indonesia untuk menguatkan gagasannya atau sebagai contoh yang membantu pembaca dalam memahami permasalahan kebangsaan di negara lain. Tragedi Timor Timur misalnya, yang melenyapkan 100.000-200.000 nyawa rakyat bumi lorosai dan puluhan ribu tentara Indonesia dalam invasi besar-besaran mulai 24 Desember tahun 1975, menjadi studi kasus paling menarik mengenai kesombongan nasionalisme Indonesia dan kerap disinggung dalam buku ini.
Meskipun menjadikan tragedi Vietnam dan Kamboja sebagai titik tolak utama, Anderson tidak membiarkan pembaca tersesat paham mengenai nasionalisme dengan memberikan gagasan-gagasan mengenai akar dan pembentukan nasionalisme. Buku ini kaya akan pembedahan gagasan kebangsaan dengan mengambil contoh dari kelahiran nasionalisme di begitu banyak negara mulai dari Rusia, Perancis, Inggris, Turki, Spanyol, Jepang, dan negara lainnya. Di sisi lain, kekayaan gagasan dan contoh tersebut membuat buku yang seolah menjanjikan Vietnam dan Kamboja sebagai menu utama ini akan menjadi sedikit membingungkan bagi pembaca yang kurang sabar. Persoalan Vietnam dan Kamboja tidak tersentralisasi dalam bab khusus sehingga pembaca yang ingin mencari secara spesifik mengenai tragedi Vietnam dan Kamboja harus cermat memilah-milah gagasan yang merujuk pada kasus tersebut. Belum lagi bahasa dan istilah yang sangat akademis membuat pembaca akan cukup sering mengerenyitkan dahi dan mencari informasi tambahan dari sumber lain hanya untuk memahami istilah atau contoh kasus tertentu.
Buku yang serupa pisau bedah ini cukup penting untuk mengkaji ulang mengenai makna komunitas, bangsa, dan kebangsaan bagi setiap individu agar nasionalisme tidak dimaknai secara sempit dan sombong. Luka sejarah yang dibongkar melalui perspektif kebangsaan dalam buku ini, akan terus mengingatkan kita mengenai pemusnahan jiwa secara masal (holocaust) yang lahir dari salah tafsir mengenai nasionalisme. Jika bangsa ini masih mencemooh kehancuran nasionalisme negara-negara lain dan memuja-muja nasionalismenya sendiri secara banal sementara praktik kekerasan masih kerap terjadi atas namanya, maka meminjam kata-kata pujangga Latin Quintus Horatius Flaccus: Quid rides, Indonesia? Mutato nomine, de te fabula narratur! Mengapa engkau tertawa, Indonesia? Hanya dengan mengubah nama, tentang engkaulah hikayat ini dituturkan!
Peresensi : Duala Oktoriani
Pegiat Combine Resource Institution
Terimakasih CRI telah merehal buku terbitan kami. Link tulisan kami lansirkan ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=12122&lang=id