“Jika ada yang bertanya di mana Pattani, di sinilah Pattani,” ungkap Muhamad Ayub sambil menunjukkan janggutnya yang sudah memutih.
Meskipun sedang berkelarkar, Muhamad Ayub dari Pattani, Thailand selatan, merefleksikan kebingungan identitas yang sedang dialami oleh masyarakat Pattani secara umum. Janggut merupakan salah satu simbol dari identitas muslim bagi laki-laki. Di satu sisi, janggut, jilbab, telah menjadi simbol Islam, tetapi juga identik dengan citra kekerasan yang telah dikonstruksi melalui peristiwa-peristiwa terkait terorisme. Identitas inilah yang sedang diperjuangkan, tetapi juga sudah telanjur memperoleh stigma negatif di tengah masyarakat dunia.
Pada titik inilah masyarakat internasional perlu diberikan informasi yang komprehensif mengenai ketidakadilan yang terjadi di kawasan tersebut. Persoalan Thailand Selatan bukanlah masalah berkembangnya Islam garis keras yang dikaitkan dengan terorisme, tetapi telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Hal inilah ingin ditawarkan dalam dua seminar di Tokyo, Jepang, pertama pada ajang Medifes di Sekei University dengan judul “Conflict and Peace Building in Southeast Asia – initiatives by Citizen Media.” Kedua adalah seminar di forum Sasakawa Peace Foundation dengan judul “Peace Building in Southern Thailand – The Role of Citizen Media.”
Hadir dalam kedua seminar tersebut narasumber dari Thailand Selatan yaitu Soraya Jamjuree dari Prince of Songkla University, Pattani Campus/Koordinator Friend of the Victimized Families Group,Muhamad Ayub Pathon,Editor-in-Chief of Deep South Watch, Dr.Srisombop, Director of Deep South Watch (DSW)/Assistant Professor, Faculty of Political Science, Prince of Songkla University, Pattani Campus. Pembicara lain adalah Ade Tanesia dari COMBINE (Community Based Information Network) Resource Institution, Indonesia, dan Eurico Pereira dari Radio Rakambia, Timor Leste.
Kedua seminar ini memang fokus pada masalah di Thailand Selatan dan bagaimana media komunitas bisa berperan untuk membangun perdamaian. Kehadiran Indonesia dan Timor Leste merupakan upaya berbagi pengalaman di forum ini, karena dua wilayah tersebut memiliki pengalaman konflik yang begitu panjang serta telah melewati masa tersebut. Media komunitas, terutama radio komunitas pun sangat berperan dalam membangun perdamaian di dua wilayah tersebut.
Deep South Watch & Perdamaian di Thailand Selatan
Dr.Srisompbop sebagai pembicara pertama memaparkan sejarah panjang Pattani yang seribu tahun silam telah menjadi pusat agama Islam di Asia Tenggara serta memiliki kerajaannya sendiri. Konflik antara masyarakat Pattani dengan Kerajaan Siam pun dimulai sejak kerajaan Pattani ditundukkan pada tahun 1786 dan akhirnya pada tahun 1909 dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Pemerintahan Thailand melalui Traktat Anglo Siam yang melibatkan Inggris.
Etnis, agama, maupun kultur di Thailand selatan memang berbeda dengan mayoritas penduduk Thailand. Persoalan bukan pada perbedaan itu sendiri, tetapi terjadi saat hak masyarakat Pattani untuk mengekspresikan identitasnya dibatasi oleh sistem yang diberlakukan oleh pemerintahan Thailand. Sebagai contoh pemimpin lokal yang dalam konteks ini adalah kesultanan telah diganti dengan sistem gubernur yang ditunjuk langsung dari pemerintah pusat di Bangkok. Syariat Islam dan hukum adat juga tidak diakomodir dalam sistem hukum formal. Pengajaran bahasa melayu hanya diperbolehkan di sekolah-sekolah agama seperti Pondok. Sementara di sekolah resmi milik pemerintah, tidak ada pelajaran bahasa Melayu dan warga Pattani harus belajar bahasa Thailand sebagai bahasa resmi negara. Hal ini menyebabkan semakin banyak masyarakat Pattani yang tidak mengenal bahasa melayu sebagai bahasa ibu.
Kondisi inilah yang menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat Pattani yang akhirnya memunculkan kelompok-kelompok perlawanan, seperti dua kelompok separatis yang paling kuat adalah BRN dan PULO. Dengan semakin menguatnya perlawanan dari para gerilyawan, maka pemerintah Thailand pun melakukan pendekatan militer dengan mengirimkan pasukan ke Thailand Selatan. Ada 60,000 pasukan yang disebar ke wilayah Pattani, Yala, dan Narathiwat. Tahun 2004 merupakan peristiwa yang tidak bisa dilupakan masyarakat Pattani ketika terjadi tindak kekerasan yang telah menewaskan 107 orang dan insiden penembakan saat warga sedang sembahyang di Mesjid. Masyarakat Pattani yang sangat menjunjung tinggi Islam dan menjadikannya sebagai identitasnya sangat terluka. Sejak itu pula aksi kekerasan semakin tinggi, dan mengakibatkan sekitar 4.302 orang tewas sampai tahun ini.
Melalui presentasi Dr. Srisombop, peserta seminar memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi Pattani. Selama ini kondisi Thailand Selatan telah dikonstruksi sebagai persoalan melawan teroris sehingga tidak terbangun empati dari masyarakat dunia. Disinilah peran media alternatif seperti Deep South Watch (DSW) sangat penting untuk memberikan informasi yang detil dan akurat mengenai apa yang terjadi di Pattani. Presentasi mengenai Deep South Watch (DSW) oleh Muhamad Ayub menunjukkan bagaimana media alternatif ini telah membangun jaringan dari kalangan media, organisasi masyarakat sipil, maupun akademisi.
Deep South Watch (DSW) berdiri pada bulan september 2006. DSW, yang awalnya disebut Intellectual Deep South Watch (IDSW), merupakan jaringan koordinasi dari berbagai lembaga dan akademisi. Tujuannya untuk menganalisis kekerasan di Thailand Selatan melalui data dan analisis yang rasional dan jernih. DSW juga bertujuan menempatkan situasi konflik di Thailand selatan ke ranah publik yang lebih luas agar masyarakat ikut mengamati dan memahami situasi yang terus mengalami perubahan. Melalui jaringan kerjasama dengan jaringannya, DSW membangun basis data untuk mengamati situasi Thailand selatan yang sangat dinamis. Dalam prosesnya, basis data ini akan dikembangkan menjadi pusat sumber pengetahuan dan penelitian mengenai kebijakan di Thailand Selatan yang bisa digunakan oleh jurnalis dan akademisi. Di tingkat elit pemerintah, DSW menerbitkan Deep South Bookzines yang disebarkan di lingkaran militer dan pemerintah untuk mendorong kebijakan yang lebih reformis kepada Thailand Selatan sebagai lawan dari pendekatan militeristik.
DSW memang lebih berperan di tingkat kelas menengah, tetapi belum terlalu menyentuh masyarakat akar rumput. Namun DSW telah memulainya dengan bekerjasama dengan Friend of the Victimized Families Group yang dikelola oleh Soraya Jamjuree. Friend of the Victimized Families Group merupakan program action-research terhadap keluarga yang menderita akibat kekerasan militer. Sebelumnya pemerintah tidak memperhatikan nasib mereka, serta membangun stigma bahwa mereka adalah bagian dari pemberontak. Namun melalui Friend of the Victimized Families Group, Soraya bersama teman-temannya berupaya melakukan advokasi hak-hak mereka sebagai warganegara Thailand. Selain melakukan kegiatan advokasi, program ini juga melibatkan perempuan korban kekerasan dalam penelitian dan produksi program radio. Mereka membuat talkshow, drama radio, serta wawancara dengan korban kekerasan lainnya. Audio ini disiarkan oleh 15 radio komunitas yang ada di kawasan Pattani. Mereka juga menyiarkan program audio ini melalui website DSW.
Peluang Radio Komunitas Membangun Perdamaian
Presentasi dari Indonesia dan Timor Leste fokus pada bagaimana radio komunitas yang berada di wilayah konflik dapat berperan dalam upaya perdamaian. Ade Tanesia dari COMBINE Resource Institution (CRI) memaparkan peran radio komunitas di Aceh, contohnya Radio Khairatunissa di Desa Alue Tadee, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Meskipun tidak secara khusus memiliki program damai, namun radio ini secara aktif memroduksi kampanye perdamaian, memilihkan lagu-lagu yang mendukung perdamaian. Aceh yang pada tahun 2005 berhasil menyepakati MoU Perdamaian dengan Pemerintah Indonesia telah memberikan perubahan besar bagi masa depan aceh. Namun perdamaian tidak hanya di atas kertas, tetapi harus secara kontinyu di pelihara oleh masyarakat sendiri. Pada titik inilah radio komunitas berperan besar dalam upaya memelihara perdamaian. Hal ini juga terjadi pada Radio Rama di Pontianak, Kalimantan Barat. Konflik horizontal antara etnis di Kalimantan Barat menjadi alasan kuat untuk berdirinya Radio Rama FM yang mewadahi berbagai etnis untuk berekspresi melalui radionya. Lalu dengan portal suarakomunitas.net yang telah berjejaring dengan sekitar 300 media komunitas (sebagian besar adalah radio komunitas), maka upaya perdamaian juga bisa menjadi agenda bersama. Hal ini sangat penting untuk Indonesia yang sangat beragam dan tetap menyimpan potensi konflik.
Eurico Pereira dari Timor Leste mempresentasikan peran Radio Rakambia pada masa sebelum merdeka dan masa sekarang. Di masa rezim Soeharto dari Indonesia, Radio Rakambia menjadi salah satu saluran informasi bagi warga yang berada di pelosok. Saat itu Radio Rakambia menggunakan mobile radio, karena saat itu infrastruktur telekomunikasi di Timor Leste tidak ada. Kini setelah merdeka, Timor Leste menghadapi berbagai permasalahan, seperti pembangunan, rendahnya tingkat pendidikan, relasi antara pengungsi di Timor Barat yang menjadi bagian dari Indonesia dengan kerabatnya di Timor Leste, dan lain-lain. Menarik sekali pengalaman Radio Rakambia yang menggunakan mobile radio untuk memberitakan kerabat yang ada di Timor Leste kepada para pengungsi di daerah perbatasan. Mereka memancarkan radionya dari wilayah Timor Leste, dan pengungsi di Timor Barat bisa mendengarkan kabar keluarga dan mengirimkan salam serta memberitakan kondisinya. Radio Rakambia tetap berupaya memberikan informasi yang tentunya dikemas dengan hiburan untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. Jika hal-hal mendasar yang dibutuhkan manusia ini tidak bisa dipenuhi secara perlahan, maka dikhawatirkan perdamaian yang telah dirasakan oleh masyarakat Timor Leste bisa terancam.
Berdasarkan perbandingan dua kasus inilah, maka radio komunitas sangat strategis untuk membangun perdamaian di level komunitas. Namun hal ini tidak mudah, karena radio harus menjaga netralitasnya di sebuah wilayah yang dilanda konflik. Radio Rama misalnya, pada awalnya sempat dicurigai oleh salah satu pihak yang sedang bertikai, bahkan sudah ada aksi nyata yang menentang kehadirannya. Tetapi melalui dialog yang intens, keberadaan radio ini bisa diterima oleh berbagai kelompok yang ada. Bahkan pemilihan lokasi juga sangat menentukan kenetralan radio komunitas tersebut.
Tidak hanya diwilayah yang telah terjadi konflik, radio komunitas juga sangat penting untuk memelihara perdamaian di sebuah wilayah yang dihuni oleh berbagai etnik. Radio Komunitas Mitra FM di Deli Serdang, Sumatera Utara hidup diantara berbagai etnik seperti suku Jawa, Banjar, Melayu, Batak, Minang. Peka akan pentingnya hubungan antaretnik yang harmonis, maka radio komunitas ini telah menjadi sarana bertemunya warga dari berbagai etnis. secara khusus Mitra FM menyiarkan program-program hiburan dan informasi dengan bahasa Jawa, Banjar, Minang, dan Melayu. Mereka pun memiliki pengelolaan pendengar yang sangat bagus, yaitu dengan cara membuat Kelompok Dengar dari berbagai desa yang menjadi anggota tetap Mitra FM. Pada wakil dari kelompok pendengar ini diminta untuk menyumbangkan satu penyiar dan satu orang yang menjadi anggota dewan penasihat radio komunitas mitra fm. Pertemuan-pertemuan antara kelompok pendengar ini lah yang menjadi sarana berbagai etnik untuk berkomunikasi dan menjalin pertemanan yang harmonis.
Media di Seluruh Level
Kembali pada tema utama seminar, maka respons peserta diskusi di Jepang sangat beragam. Banyak yang sangat tertarik dan ingin belajar lebih dalam lagi mengenai kondisi perempuan korban konflik di Pattani seperti yang telah dipresentasikan oleh Soraya. Ada yang mempertanyakan sikap dari teman-teman Pattani, apakah mereka sendiri mau merdeka atau otonomi. Posisi Deep South Watch sebagai media tentunya tetap netral, dan mendukung aspirasi mayoritas warga Pattani. Namun mereka berpegang pada prinsip perdamaian. Juga melalui jaringan media mereka ingin mendorong agar pendekatan berbagai pihak pada persoalan Pattani dilakukan melalui jalan damai, bukan melalui kekerasan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun gerilyawan dari Thailand Selatan. Jumlah korban yang tewas dalam konflik tersebut juga dipertanyakan akurasi datanya. Dr. Srisompbop menjelaskan bahwa data angka itu sudah dicek ke berbagai pihak seperti kepolisian, rumah sakit.
Dalam seminar kedua, peran presenter dari COMBINE dan Radio Rakambia adalah sebagai penanggap yang secara khusus memberikan komentar mengenai peran media komunitas dalam konflik di Thailand Selatan. Menurut saya, Deep South Watch telah memainkan peran yang besar di tingkat akademisi, media, dan juga kalangan elit seperti militer dan pemerintah. Namun masih perlu memperkuat peran di tingkat masyarakat akar rumput. Mediasi di tingkat masyarakat akar rumput sangat dibutuhkan karena konflik yang terjadi sudah mengarah pada konflik horizontal antara orang Muslim Pattani dengan Thai Budhist. Dalam konteks ini, perlu melakukan survey mengenai media-media komunitas yang digunakan masyarakat akar rumput. Misalnya radio komunitas yang jumlahnya cukup banyak di Thailand. Dr. Srisompbob mengatakan bahwa ada radio komunitas yang juga digunakan oleh militer, pemerintah, sehingga perlu dilakukan survey radio komunitas yang memenuhi syarat,misalnya netral, visi yang menentang tindak ketidak adilan, dan lain-lain. Radio komunitas yang dikelola oleh masyarakat Pattani dan Thai di luar wilayah Pattani pun harus menjalin relasi yang kuat.
Jika COMBINE menitikberatkan pada pentingnya membangun media di level akar rumput, maka Radio Rakambia menceritakan pengalamannya bagaimana isu Timor Leste bisa diangkat ke level internasional. Strategi isu merupakan hal penting yang harus dipikirkan jika mau mengangkat ke dunia internasional. Menurutnya, isu hak asasi manusia lebih tepat agar masyarakat internasional lebih mudah memahami dan berempati terhadap persoalan di Thailand Selatan. Kemudian dibutuhkan adanya pembentukan jejaring antarmedia internasional yang ada di Thailand. Perhatian media internasional diharapkan dapat menyoroti pendekatan pemerintah Thailand dalam menyelesaikan masalah di Thailand Selatan.
Kesimpulan
Banyak orang berpikir bahwa dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa, dibanding dengan seluruh rakyat thailand yang mencapai 60 juta jiwa, maka ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Pattani bukan masalah internasional. Bagi kawasan Asia Tenggara, persoalan ini seharusnya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena dapat mempengaruhi kestabilan kawasan. Menurut Muhamad Ayub, cukup banyak gerilyawan Pattani yang berelasi dengan orang Indonesia. Hal ini tentunya bisa mempengaruhi hubungan Thailand dan Indonesia. Oleh karena itu, media di kawasan Asia Tenggara mempunyai kepentingan besar terhadap isu Thailand Selatan yang bertujuan membangun perdamaian. Sementara di level nasional, media arus utama dan media komunitas di Thailand bisa bersinergi untuk mengadvokasi pelanggaran HAM serta mempengaruhi kebijakan pemerintah Thailand. Di level komunitas, untuk menjaga agar pertikaian ini tidak berlarut-larut menjadi pertikaian antarkomunitas, maka media komunitas seperti radio bisa berperan untuk membangun dialog yang damai antara masyarakat Pattani dan Thai. Dalam konteks inilah seluruh jenis media bisa digunakan secara strategis untuk membangun perdamaian serta solusi yang baik untuk Thailand Selatan.
Penulis adalah program manager media di COMBINE Resource Institution, Indonesia