Oleh Basri Andang
Banyak cara pengelola radio komunitas menggalang dana agar radio tetap on-air. Di Sulawesi Selatan, misalnya, banyak cerita sukses pengelola radio mengembangkan usaha-usaha yang ‘dihalalkan’ untuk membantu daya hidup radio mengingat peraturan telah ‘mengharamkan’ radio komunitas mencari uang, termasuk beriklan niaga. Hal itu pun memicu kreativitas para pengelola radio untuk terus berusaha mencari dana agar radio tetap on-air dan dapat melayani kebutuhan informasi komunitasnya.Beberapa cara penggalangan dana dan kiat radio komunitas menanggulangi biaya operasional, meliputi pembuatan kartu pendengar, pendaftaran pendengar dengan registrasi SMS, membangun kerja sama dengan pihak pemerintah desa atau kabupaten, hingga membangun kincir air agar bisa keluar dari beban pembayaran listrik setiap bulannya.
Studio permanen dari kartu pendengar
Cara penggalangan dana yang paling banyak dipakai pengelola radio adalah pembuatan kartu pilihan pendengar atau atensi pendengar. Harga kartu pendengar pun bervariasi di masing-masing radio. Setiap radio berhak menetapkan harga yang berbeda-beda mulai dari Rp 350-1.000 per lembar untuk sekali baca.
Dalam penggalangan dana melalui kartu pilihan pendengar, Radio Komunitas Iga FM yang terletak di Desa Lalabata, Kabupaten Barru, sejak berdiri pada 26 Juni 1999 lalu, radio itu mendapat pemasukan yang cukup besar dari hasil penjualan kartu pilihan pendengar. Iga FM cukup berhasil mengembangkan kartu pilihan pendengar selama tujuh tahun hingga mampu mendirikan studio permanen dari hasil penjualan kartu pilihan pendengar dengan pemasukan mencapai Rp 1 juta per bulan. Studio yang dulunya hanya gubuk berdinding bambu langsung tersulap menjadi studio permanen sejak tahun 2006. Selain itu, pengelola Radio Iga FM juga mengembangkan registrasi SMS sebanyak 200 orang pendengarnya dengan tarif Rp 10.000 per bulan. Juga, membangun kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Barru untuk Iklan Layanan Masyarakat (ILM) selama satu tahun dengan kesepakatan pembayaran Rp 100.000 per bulan.
Menurut Kepala Studio Iga FM Aliel, registrasi SMS dilakukan untuk mengakomodasi pendengar yang mau memberikan atensi, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat awam kalau radio komunitas tidak kampungan dengan teknologi informasi komunikasi yang sedang berkembang. “Ternyata lumayan juga peminatnya. Sekarang sudah mencapai 200 orang. Tapi kami tidak tinggalkan kartu pilihan pendengar dan jumlahnya masih lebih banyak,’’ katanya.
Kreativitas Teras
Radio Komunitas Teras FM juga memiliki cerita sukses menggalang dana. Radio yang berlokasi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Manggala, Kota Makassar itu ternyata memiliki pengelola yang cukup kreatif mengembangkan usaha-usaha untuk mempertahankan daya hidupnya. Sebut saja, penjualan kartu atensi harian seharga Rp 1.000 per lembar sekali baca, pendaftaran atensi bulanan dengan kontribusi sebesar Rp 10.000 per bulan, kontribusi komunitas terhadap radio untuk 100 orang sebesar Rp 1.000 per bulan, membuat program mingguan Kelera (Kenalan Lewat Radio) dengan pembayaran Rp 1.000 setiap minggu, program kerja sama talk show, pembuatan spot bagi usaha-usaha komunitas Rp 10.000 per bulan, dan pendaftaran keanggotaan komunitas yang dikenakan pembayaran Rp 5.000 selama 6 bulan, serta tidak ketinggalan kerja sama ILM dengan berbagai pihak tanpa tarif yang baku.
Dengan cara penggalangan dana seperti itu, kini, pengelola Teras FM sudah tidak lagi pusing memikirkan biaya operasional, terutama biaya pembayaran listrik setiap bulan. Bahkan, sejak dikembangkan model-model tersebut selama dua tahun terakhir, Radio Teras FM sudah mampu membayar listriknya sendiri, dan tidak lagi menggantungkan pembayaran listrik kepada Yayasan Pabbata Ummi sebagai lembaga pemrakarsa berdirinya rakom itu.
Paling tidak, Teras FM sudah dapat membayar sendiri pemakaian listriknya sebesar Rp 200 ribu per bulan. “Yah, paling tidak, kita tidak lagi pusing memikirkan biaya listrik yang selama ini menjadi masalah hampir setiap radio. Itu pun sudah mampu memberikan insentif kepada pengelola lainnya,’’ kata Ketua Umum BPPK Teras FM Bakti Gadingka.
Menurut Bakti, semua kiat penggalangan dana yang dilakukan Teras FM tidak lepas dari strategi memperkuat kepemilikan komunitas dengan radio sehingga hampir semua model yang dikembangkan selalu memberikan kontribusi balik bagi komunitas. Misalnya, kalau mereka memanfaatkan program mingguan Kelera dengan membayar Rp 1.000 per orang maka diberikan waktu selama dua jam untuk tampil wawancara dan kenalan dengan anggota komunitas lainnya di studio.
Begitu juga kalau mendaftar sebagai anggota komunitas dengan membayar Rp 5.000 yang berlaku selama lima bulan, maka mereka akan terus disapa pada acara yang dipilih. Belum lagi, spot usaha komunitas dengan memakai suara pimpinan usaha dengan konsepnya sendiri yang kemudian diproduksi oleh bagian produksi. “Jadi bukan suara penyiar atau pengelola radio. Kita memberikan kesempatan bagi komunitas untuk memromosikan usahanya dengan caranya sendiri,’’ terangnya.
Kincir air Sando Batu
Berbeda lagi dengan Radio Swara Sando Batu FM yang terbilang masih sangat muda yang praktis belum ada pengalaman soal penggalangan dana. Kecuali, hanya sedikit kiat masyarakat membantu pembangunan kincir untuk pasokan listrik bagi radio.
Radio masyarakat adat itu baru mulai beroperasi pada tanggal 9 Maret 2008 lalu. Proses inisiasi pendiriannya dilakukan sejak tahun 2006 melalui musyawarah kampung oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, yang merekomendasikan perlunya sistem informasi dan komunikasi masyarakat adat Sando Batu. Realisasinya, lantas diawali dengan pertemuan komunitas sebagai persiapan sosial dan membangun kelembagaan radio. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembuatan pesawat dan pembangunan kincir sebagai sumber listriknya. Guna mengemban visi sebagai sarana informasi dan komunikasi bagi masyarakat adat Sando Batu, maka radio itu dilengkapi RIG.
Mengingat lokasinya sangat jauh dari pusat Kota Sidrap, dan minim sarana transportasi, serta sulit dijangkau karena berada di deretan pegunungan Latimojong ditambah lagi belum adanya fasilitas listrik dari PLN makin memperkuat alasan ketidaklayakan mendirikan radio di desa itu. Desa Leppangeng memang termasuk kategori desa miskin dan sangat tertinggal di wilayah Kabupaten Sidrap.
Namun, hal itu tidak mematahkan motivasi masyarakat adat Sando Batu di Desa Leppangeng untuk mendirikan radio komunitas. Medan yang berat dengan kondisi jalan berupa jalan tanah dan berbukit-bukit serta tidak ada listrik, bukan menjadi penghalang. Peralatan radio dan komputer yang rawan kerusakan tidak diangkut pakai motor akan tetapi diangkut dengan jalan kaki sejauh 20 km demi menghindari kerusakan. Sementara, ketidak tersediaan listrik disiasati dengan membangun kincir air berkapasitas 3.000 watt. Aliran listrik dari kincir inilah yang kemudian dipakai mengoperasikan radio dan komputer serta dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar studio.
“Pokoknya, bagaimanapun caranya radio harus beroperasi di Desa Leppangeng,’’ begitu tekad Kepala Desa Leppangeng Anci.
Dalam hal penggalangan dana untuk mendukung keberlanjutan hidupnya, radio yang berada di wilayah adat Sando Batu, Desa Leppangeng, Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap itu mempunyai cerita tersendiri dalam menanggulangi kekurangan dana pembuatan kincir. Keswadayaan komunitas juga terlihat ketika dana pembangunan kincir yang tersedia dari Pemkab Sidrap hanya Rp 6,1 juta dan ternyata itu tidak cukup untuk merampungkan sebuah kincir. Pasalnya, hampir semua dana pembangunan kincir hanya bisa dipakai membeli kabel sekitar Rp 4 juta dan dinamo sebesar Rp 1 juta. Membengkaknya biaya kabel karena disebabkan jarak kincir dengan studio yang terlalu jauh, mencapai 1,5 km.
Sementara, bangunan bak air, saluran air dari sungai ke bak, pipa, kincir, dan gardunya semua belum tersedia. Jika dihitung, jumlah totalnya masih membutuhkan dana sekitar Rp 4 juta. Hal itu kemudian dibahas dalam pertemuan komunitas, pemuka adat, aparat pemdes, BPD, LKMD, serta masyarakat, dan berhasil menyepakati untuk ‘menswadayakan’ kekurangan pembangunan kincir. Lantas, ada yang menyumbang semen, seng, dana, dan tidak kalah pentingnya tenaga kerja.
Alasannya sederhana saja, kincir harus segera selesai karena tanpa kincir maka radio tidak bisa beroperasi dan masyarakat tidak bisa menikmati penerangan. “Tidak ada masalah kita berswadaya guna menutup kekurangannya untuk kepentingan bersama dan hanya satu kali kita membayar, setelah itu kita tidak repot-repot lagi membayar listrik tiap bulan,’’ kata Ketua LKMD Desa Leppangeng Syamsuddin.
Sekarang, masyarakat yang berdomisili di Dusun Wala-Wala, Desa Leppangeng sudah menikmati listrik dan bercuap-cuap di udara melalui Radio Swara Sando Batu. Dengan mengudaranya Radio Swara Sando Batu FM (RSSB) pada tanggal 09 Maret 2008 di gelombang 107,7 MHz dengan motto Saddanna Sando Batu Lako Tau Buda’ yang berarti “suara Sando Batu untuk semua orang” makin memperkuat gerakan masyarakat adat dan radio komunitas.
Dari segi keberlanjutan radio, pengelola RSSB FM agak enteng karena tidak membayar listrik setiap bulan. Tidak seperti radio lain yang memakai listrik PLN yang harus mengeluarkan kocek ratusan ribu setiap bulannya. Mungkin saja di seluruh Indonesia, Radio Swara Sando Batu itu satu-satunya radio komunitas yang memakai listrik dari kincir air.