Makanan Opak dan Kolontong; Memutar Roda Ekonomi Masyarakat Bojongkunci

Oleh Supriatna

Kampung Sukamanah, Desa Bojongkunci, Kabupaten Bandung boleh bangga karena mereka memiliki makanan khas daerahnya, yaitu opak dan kolontong. Sekitar 30 kepala keluarga yang berada di wilayah tersebut menekuni profesinya sebagai pembuat makanan tradisional ini. Ujang Jaya Diman (50) adalah salah satu warga RT 01 RW 03 Desa Bojongkunci yang menekuni pembuatan makanan opak dan kolontong. Ayah delapan anak ini mengaku, keahlian ini ia peroleh secara turun temurun yang diwariskan oleh kedua orang tuanya. “Saya tidak tahu kapan daerah kami mengembangkan makanan opak dan kolontong. Seingat saya, dari mulai kakek dan buyut pun sudah dilakukan. Saya sendiri terjun langsung ke usaha ini sejak tahun 1977 melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh orang tua saya dulu,” ungkap Ujang. Tak hanya Ujang, saudara maupun tetangganya pun mencari nafkah sebagai pembuat makanan tradisional. Bisa dikatakan, opak dan kolontong telah menjadi potensi yang dapat menghidupkan roda perekonomian masyarakat Desa Bojongkunci.

Bahan baku utama untuk membuat opak dan kolontong adalah beras ketan. Setiap bulan, para perajin biasanya membutuhkan setengah sampai satu ton beras ketan, bahkan kalau di musim ramai seperti menjelang lebaran dibutuhkan satu hingga dua ton. Namun menjelang bulan puasa atau saat musim kemarau, sulit sekali memperoleh beras ketan. Kalaupun ada, harganya sudah naik. Misalnya, jika beras ketan harganya Rp 560 ribu per ton, menjelang bulan puasa harganya bisa menjadi Rp 650 ribu per ton.Tentu, masalah ini menjadi kendala tersendiri bagi para perajin.

Setelah beras ketan sebagai bahan baku utama tersedia, maka para perajin mulai memroduksi makanan ini. Awalnya beras ketan direndam kurang lebih sehari semalam. Setelah ditanak sampai matang, ketan tersebut ditumbuk hingga halus menggunakan alat yang disebut halu dan diletakkan di sebuah tempat khusus bernama jubleg.

Ketan yang sudah halus kemudian dicetak sesuai besaran jenis panganan. Untuk opak ukurannya kurang lebih 10 cm, sedangkan yang akan dibuat makanan kolontong ukurannya berdiameter 30 sampai 50 cm yang nantinya akan dipotong-potong sesuai ukuran kolontong.

Usai dicetak, makanan tersebut dijemur selama satu hari, tetapi jika cuaca tidak baik, pengeringan bisa dilakukan di tungku pemanas. Setelah kering, bahan opak langsung dimasak, tetapi kolontong harus dilakukan proses pemotongan terlebih dahulu.

Proses pemasakan kolontong dan opak dilakukan dengan cara disangrei, prosesnya hampir sama dengan dengan cara disangrei, prosesnya hampir sama dengan menggoreng tapi bedanya tidak menggunakan minyak goreng, melainkan pasir sebagai media penggorengnya.
“Sebenarnya saya ingin sekali mengembangkan peralatan yang lebih baik. Misalnya untuk proses penumbukan ketan, saya ingin mengubah alat tumbuk manual dengan mesin atau alat yang lebih bagus agar prosesnya bisa cepat, ” tutur Ujang. Cara kerja yang tradisional tersebut memang memengaruhi jumlah pekerja. Ujang, misalnya, ia menggunakan 8 sampai 13 tenaga kerja. Rata-rata produksinya mencapai 15 sampai 20 kg per orang per hari. Upah rata-rata per bulan Rp 200 sampai 250 ribu tergantung pada banyak atau tidaknya produksi yang dia hasilkan.

Setelah selesai diproduksi maka para perajin biasanya memasarkannya secara langsung dijual ke konsumen, melalui agen, atau menerima pesanan langsung dari konsumen. Order pembuatan opak dan kolontong terbanyak biasanya menjelang hari raya Lebaran dan Idul Adha.

Menjelang hari raya itu, biasanya perajin mempersiapkan stok yang cukup banyak untuk dipasarkan. Pemasaran yang lebih rutin adalah melalui agen atau distributor. Wilayah pemasaran opak dan kolontong sudah mencakup hampir 80% pasar di wilayah Kabupaten Bandung. Dari agen atau distributor itu pula makanan opak dan kolontong bisa dijual hingga ke seluruh wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten.

Untuk menjalankan usaha semacam ini memang membutuhkan modal yang cukup besar. Pak Ujang, misalnya, ia mengaku bahwa modal usahanya mencapai Rp 50 juta. “Modal awal memang cukup rendah, tapi karena kami berharap agar usaha ini dapat menghidupi keluarga maka kami berusaha minta bantuan dari Bank. Bank yang sekarang memberikan pinjaman pada kami adalah BRI dan BPD Jabar,” jelasnya. Awalnya, BRI memberikan bantuan sebesar Rp 2 juta yang kini sudah bisa dikembalikan. Oleh karena kami disiplin, BRI meningkatkan kucuran dananya pada tahun 2005 sebesar Rp 20 juta. Bank Jabar juga memberikan bantuan sebesar Rp 15 juta pada tahun 2000 dan di tahun 2006 ditingkatkan menjadi Rp 40 juta. Dari modal yang dikembangkan tersebut Pak Ujang mengaku bisa mendapat keuntungan bersih berkisar antara 15% sampai 25% tergantung dari ramai atau tidaknya pasar. Dari keuntungan itulah Ujang menghidupi keluarga dan menyekolahkan delapan anaknya.

“Sebenarnya perhatian dari pihak pemerintah sudah cukup banyak, misalnya dalam membantu persyaratan pencarian dana bantuan dari pihak bank.Tapi diperlukan suatu pembenahan jika komoditi ini mau dijadikan potensi daerah. Misalnya, kami berharap ada wadah atau organisasi yang dapat menampung permasalahan-permasalahan kami, seperti pengadaan bahan baku, pengembangan alat dari manual menjadi mesin, pencarian penambahan modal kerja, pemasaran, serta manajemen pengelolaan yang lebih baik
kembali,” ujar Ujang, salah satu perwakilan perajin.

Permasalahan ini memang di tanggapi secara serius oleh Kepala Desa Bojongkunci, Mohamad Ilyas, yang menyebutkan, bahwa untuk mengembangkan potensi ini akan dimasukkan dalam usulan APBD hingga bisa membantu masyarakat dalam hal permodalan. Disebutkan pula bahwa ke depan akan dicoba dirintis sebuah koperasi guna menampung serta mengembangkan usaha pembuatan makanan opak dan kolontong.Jika didukung dari segala lini, maka opak dan kolontong bisa menjadi primadona baru bagi Kabupaten Bandung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud