Warga bisa menonton puluhan saluran televisi baik nasional maupun internasional. Tetapi warga sebenarnya membutuhkan berita tentang wilayahnya sendiri,” Bau Bau Televisi.
Indonesia adalah negara kepulauan. Infrastruktur teknologi komunikasi mutlak dibutuhkan untuk mempermudah komunikasi antarwarga. Akses telematika merupakan salah satu sarana yang bisa mempermudah warga Indonesia untuk saling berkomunikasi. Oleh karena kebutuhan ini untuk kepentingan hajat hidup orang banyak maka negara wajib untuk menyediakan akses tersebut. Di dalam Buku Putih “Komunikasi dan Informatika tahun 2010” yang dilansir oleh Kominfo, tertera hingga tahun 2008, desa di wilayah Jawa merupakan kawasan yang paling banyak memiliki infrastruktur telepon kabel. Lalu menyusul wilayah Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Papua, dan Maluku. Kepemilikan telepon kabel sebesar 84,79% paling banyak berada di wilayah Jawa dan Sumatera. Untuk infrastruktur backbone serat optik pun masih terkonsentrasi di Jaaw, diikuti oleh Sumatera dan Kalimantan. Wilayah indonesia timur (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua belum terjangkau sama sekali. Data Susenas 2006-2008 menyebutkan bahwa akses internet mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya, tetapi Jawa masih memiliki akses tertinggi terhadap internet diantara rumah tangga di seluruh Indonesia. Jika merujuk pada UU 36/1999 yang menyebutkan bahwa tujuan dari telekomunikasi adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka data ini menunjukkan masih terjadinya ketimpangan akses telekomunikasi di Indonesia.
Di sisi lain penggunaan telepon seluler di Indonesia semakin meningkat. Data terbaru dari Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menunjukkan bahwa jumlah pelanggan seluler tahun 2011 mencapai 240 juta pelanggan. Terjadi kenaikan 60 juta pelanggan dibanding tahun 2010. Pesatnya jumlah pengguna teknologi telepon seluler telah mendorong penyebaran konten lokal pada masyarakat melalui SMS (Short Message System). Medium SMS telah digunakan oleh berbagai lembaga untuk kampanye topik tertentu, seperti di Kalimantan Barat, televisi lokal Ruai TV telah mengembangkan jurnalis warga yang akan mengirimkan berita-berita daerahnya melalui SMS. Program ini dinamakan Ruai SMS yang menerima berita dari warga, dan kemudian menyebarkannya lagi ke pihak-pihak yang relevan dengan satu persoalan. Ruai SMS di Kalimantan Barat berhasil mendorong terjadinya kesepakatan dan penyelesaian beberapa kasus masyarakat terkait konflik dengan perusahaan kelapa sawit.
Mengatasi miskinnya konten lokal, masyarakat kepulauan di Sulawesi Tenggara tidak tinggal diam. Dengan segala daya dan dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang ada, para pemuda membangun medianya sendiri yang sarat konten lokal. Pasca reformasi, media komunitas pun mulai bermunculan di Sulawesi tenggara. Sejak tahun 2005 lahir beberapa radio komunitas di berbagai daerah, misalnya Radio Suara Marannu di Pulau Saponda, Radio Pasituang fm di Desa Mekar Kacematan Soropia, Radio Talombo fm di pulau Tomia wakatobi, Radio Komunitas Vatalolo di Pulau Kahedupa, Wakatobi, dan masih banyak lagi radio komunitas lain yang ada di berbagai dearah dalam lingkup Sulawesi Tenggara. Untuk daerah Sulawesi tenggara, pada tahun 2007 telah di deklarasikan Jaringan Radio Komunitas Sulawesi Tenggara (JRK Sultra) yang di dalamnya terdiri dari 14 radio komunitas dari berbagai kabupaten. Sebagian keberadaan media komunitas ini ditujukan untuk pemeliharaan lingkungan laut. Sebagai contoh di Pulau Saponda, Radio Suara Marannu bersama Yayasan Bahari (YARI) berkampanye pemeliharaan terumbu karang dan memberikan pendidikan pada warga untuk tidak menggunakan bom ikan yang akan merusak habitat laut.
Para petani di Desa Lapandewa, Pulau Buton mendirikan Radio Komunitas Suara Lapandewa. Dengan peralatan radio yang sangat sederhana, Suara Lapandewa telah memberikan informasi soal pertanian dan adat sesuai kebutuhan masyarakatnya. Saat desa mereka hendak dimekarkan maka radio menjadi alat yang efektif untuk mengorganisir warga dalam penolakan perda pemekaran. Kesatuan kampung adat Lapandewa menolak dengan keras pemekaran tersebut karena akan memecah belah entitas masyarakat adatnya. Pada titik kritis semacam inilah, radio komunitas sangat berperan memperkuat kesatuan warga dalam menyatukan sikap.
Masyarakat Bajo di Desa Mekar, Konawe, Sulawesi Tenggara juga mengembangkan Radio Pasituang FM dan menerbitkan buletin bernama “Bajo Bangkit.” Sejumlah pemuda dari Suku Bajo menjadi buletin ini untuk memperkuat identitasnya. Selama ini masyarakat Bajo dianggap terbelakang, tidak berpendidikan, dan sering merusak habitat laut akibat metode pencarian ikan dengan bom. Buletin Bajo Bangkit merupakan respon positif dari berbagai stigma yang dilekatkan pada masyarakat Bajo. Melalui buletin ini anak muda menggali lagi kearifan Suku Bajo dengan budaya laut yang telah mereka hidupkan selama ratusan tahun. Hal yang menarik, buletin ini disebarkan oleh para nelayan yang sedang melaut sehingga sampai ke berbagai pulau yang dihuni masyarakat Bajo di kawasan Sulawesi Tenggara hingga Sulawesi Tengah. Sementara untuk masyarakat Suku Bajo di luar Indonesia ada website Bajo Bangkit. Semangat membangun media sebagai bagian dari penguatan masyarakat lokal biasanya berasal dari anak-anak muda kepulauan yang melanjutkan sekolah di jenjang universitas, seperti Universtas Haluleo di Kendari. Dengan adanya jaringan internet yang cukup baik di kota propinsi seperti Kendari, maka banyak dari mahasiswa yang membuat grup di facebook berdasarkan asal usulnya. Bajo Bangkit juga memperoleh banyak data dari grup facebook anak muda Bajo. Biasanya mereka menceritakan kondisi kampung halamannya, dan hal ini memungkinkan Bajo Bangkit untuk memperoleh informasi mengenai orang Bajo di pulau lain. Geliat masyarakat di kepulauan untuk memperoleh akses informasi dan komunikasi tak akan pernah berhenti. (Ade Tanesia)