Judul Buku : Matinya Media; Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi
Judul Asli : The Death of Media and The Fight to Save Democracy
Penulis : Danny Schechter
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : I, 2007
Jumlah Halaman : xiv + 117 halaman
ISBN : 978-979-461-648-2
Media yang digadang-gadang sebagai sarana untuk demokrasi akhir-akhir ini malah menggerogoti demokrasi. Melalui cara-cara tertentu mereka menukar demokrasi dengan “mediaokrasi” yang diatur lewat kekuatan penentu agenda (agenda setting) korporasi media milik segelintir pemain swasta (halaman 2).
Schechter pada bab pertama buku ini mengupas tuntas hari-hari terakhir media lama di Amerika. Persoalannya adalah dinamika kepemilikan dan konsentrasi media. Dinamika kepemilikan berupaya menggenjot laba setinggi-tingginya sehingga program diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan laba, tersebut. Konsentrasi media lagi-lagi meningkatkan komersialisasi dan menurunnya wacana publik. Gagasan tentang pelayanan publik, liputan politik, kesenjangan ekonomi dan persoalan gender, kelas sosial, ras, dan program anak-anak pun merosot tajam.
Padahal ketika menoleh ke belakang, di Amerika mengalami zaman keemasan pluralisme media yang demokratis. Karena kebanyakan pemilik media memiliki pandangan ideologis yang serupa sehingga mengabaikan kepentingan kekuasaan, komersial. Media memegang peranan penting dalam menyampaikan suara rakyat. Selain itu media juga berfungsi sebagai the watchdog of the government (lembaga kontrol atas kebijakan pemerintah). Tayangan-tayangan pemilu menjadi hal yang sering ditayangkan di saluran televisi.
Namun, itu hanyalah mimpi manis yang pernah terjadi. Schechter membawa kita akhirnya ke mimpi buruk media di Amerika. Ruang-ruang berita semakin tahun semakin menipis. Jurnalis pun tertekan. Berita-berita yang berasal darinya dipangkas sedemikian rupa. Panjang berita dipersingkat, isinya diperdangkal, dan penyajiannya pun semakin tak karuan.
Perusahaan pengendali media mengontrol isi dan memilih program yang mencerminkan nilai dan kepentingan mereka, semuanya harus laris di pasaran. Dominasi tayangan berorientasi pada pencariaan keuntungan semata.
Padahal, ketika menengok Undang-undang Komunikasi disebutkan bahwa kepentingan publik di media adalah kepentingan yang utama dan gelombang frekuensi adalah milik publik. Artinya, kepentingan publik adalah kepentingan terbaik daripada kepentingan kapitalis atau kepentingan pihak lembaga penyiaran.
Tidak hanya memaparkan kelamnya media di Amerika dengan geramnya, Schechter juga menawarkan solusi agar media tidak mati begitu saja. Semakin terpuruknya media arus utama menimbulkan gerakan yang meyakini bahwa masyarakat berhak menuntut lebih kepada media dan bahkan untuk memperoleh media yang lebih baik. Pada halaman 35 buku ini, Schechter menyerukan agaar monopoli media dibongkar dan warga lebih dilibatkan yang tertulis dalam buku pertamanya The More You Watch, The Less You Know (Semakin Banyak Anda Menonton, Semakin Sedikit Anda Tahu),
Sistem yang selama ini berjalan di media arus utama di Amerika juga perlu dirubah. Caranya dengan memasukkan para pemain baru di dalamnya. Tanpa adanya kepimilikan media yang lebih luas variasi program akan terus berkurang. Revitalisasi berita juga diperlukan. Kaum muda harus menunjukkan minat mereka menjadi lebih dari sekedar penerima informasi yang pasif menjadi jurnalis.
Gerakan media dan demokrasi juga dibutuhkan dan kini berkembang dari akar rumput. Masyarakat menciptakan medianya sendiri. Semakin banyak konsumen berita yang ingin berpartisipasi dalam medianya sendiri, bukan lagi sebagai penerima berita yang pasif. Konsep-konsep seperti jurnalisme warga (citizen journalism) kini ada di atas meja (halaman 87).
Selanjutnya blogging menjadi sangaatlah populer karena mereka memiliki gagasan untuk menjadi media itu sendiri, bukan sekedar menikmati pemberitaan yang ada. Schechter juga menyampaikan bahwa “setiap warga adalah seorang jurnalis”(every citizen is a reporter).
Schechter juga menyampaikan prinsip-prinsip dasar upaya reformasi media yang juga dijadikan pegangan berbagai lembaga media, yakni tinggalkan sikap partisan, fokus pada solusi, melihat ke depan (era digital), non komersial, dan memberdayakan aktivis.
Schecter juga menawarkan untuk mengedukasi anggota-anggota organisasi dan kelompok masyarakt tentang dimensi dari sebuah isu, bergabung dengan gerakan Reformasi Media untuk melobi pemerintah dan perusahaan demi mengurangi konsentrasi kepemilikan media, berkampanye dalam komunitas untuk memasukkan pendidikan melek media di sekolah-sekolah dan program-program pendidikan masyarakat, jadilah media dengan membangun keterampilan membuat media. Dukungan seperti finansial, curahan pendapat juga perlu diberikan agar media tersebut dapat terus hidup secara mandiri.
Tawaran Schechter dalam buku ini membawa angin segar bagi Amerika bahkan juga bagi masyarakat Indonesia. Kondisi media di Indonesia pun saat ini juga sama halnya dengan Amerika, jatuh ke tangan kapitalis. Kekuasaan media pun ada di tangan pemilik media itu sendiri maupun tangan para pemilik modal. Kapitalisme media terus menerus menggerogoti demokrasi. Tentu saja terlihat jelas pemberitaan menjelang pilkada maupun pilpres 2014 kemarin. Pemberitaan khususnya di televisi sangat ditumpangi oleh kepentingan politik yang memanfaatkan kekuatan kepemilikan media. Bukan berhenti pada itu saja, akhir-akhir ini masyarakat juga disuguhi dengan tayangan langsung pernikahan dan kelahiran bayi pasangan artis. Jangan sampai media mengalami kematian dan terus menerus menggerogoti demokrasi. Buku ini bisa memberikan inspirasi bagi sang penyelamat demokrasi. Saatnya berbuat untuk menyelamatkan demokrasi !
Peresensi : Maryani
Pegiat Combine Resource Institution