Oleh Nuraini Juliastuti
Penggunaan telepon genggam atau hand phone kian marak di kalangan remaja. Teknologi komunikasi ini bahkan telah menjadi bagian dalam keseharian kaum remaja. Selain dompet, telepon genggam selalu melekat di saku atau tasnya. Bahkan tidak jarang mereka membawanya ke sekolah kendati sudah ada larangan dari pihak sekolah. Bahkan kini telepon genggam dengan fasilitas kamera telah menjadi medium baru, baik sebagai alat komunikasi maupun sarana untuk mengekspresikan sesuatu. melakukannya. Sampai akhirnya seorang teman mengajaknya untuk mencoba alat itu, dan ternyata sangat menyenangkan. Ia hanya tinggal meletakkan telepon genggamnya di lubang kecil di mesin itu, dan seperti sulap, semua file-file foto yang tersimpan dalam telepon genggamnya berpindah tempat ke dalam mesin tersebut. Ia tinggal memencet tombol untuk menentukan berapa jumlah lembar foto yang ingin dicetak, dan yang lebih menyenangkan lagi ia bisa memilih-milih frame yang menurutnya akan cocok dengan foto yang ia buat. Akhirnya ia berani untuk pergi ke mesin pencetak foto itu sendirian.
Sesampainya di rumah, ia sering memamerkan foto-foto cetakannya sendiri-karena seperti tukang cetak foto profesional di studio foto, ia sendiri yang melakukan proses cetak (dengan memencet-mencet tombol) dan menghias fotonya dengan frame yang dipilihnya sendiri-kepada para tetangga sekitar rumahnya. Banyak tetangga yang kemudian minta Ida untuk memotret mereka sendiri atau anak dan cucu mereka. Hasil dari foto-foto tersebut kemudian diberikan Ida kepada mereka untuk disimpan sebagai kenang-kenangan. Sejak mempunyai telepon genggam kamera, Ida mengembangkan cara baru untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jika dulu ia bisa melalui telepon dan SMS, kini ia bisa berkomunikasi melalui memotret. Tentunya cara komunikasi baru ini berdampak pada pengeluaran rutinnya setiap bulan. Total biaya yang dikeluarkan Ida untuk telepon genggam kameranya mencapai sekitar Rp 110.000 (10 April-10 Mei 2005).
Lain lagi dengan Angra (17). Ia mempunyai telepon genggam kamera sejak 1 tahun yang lalu yang digunakannya untuk mendokumentasikan kehidupan sehari-harinya. Ia telah mengelompokkan semua hasil jepretannya dalam folder-folder khusus dalam telepon genggam kameranya:
Menurut pengakuannya, ia jarang sekali mencetak foto-foto itu. Biasanya ia langsung mentransfer ke dalam komputer, dan kemudian dicetak dalam kepingan CD. Selain itu ia hanya saling tukar menukar foto/gambar lewat Friendster atau antar telepon genggam dengan sarana bluetooth. Nilai penting telepon genggam yang dimilikinya selain untuk berkomunikasi dengan teman-sangat penting untuk mengatur janjian-adalah juga untuk bergaya. Karena itu, kepemilikan telepon genggam keluaran terbaru di kalangan pergaulan teman-temannya sangat penting.
Sebagai suatu gaya hidup, citra-citra yang dibangun lewat iklan telepon genggam juga sangat mempengaruhi pilihan-pilihan pada jenis HP. Misalnya bagaimana Nokia mencitrakan pemakai produknya sebagai orang yang aktif, mobile, sukses secara ekonomi-paling tidak dari nilai benda-benda yang dimilikinya, dan technologized. Istilah untuk menyebut anak muda zaman sekarang yang ‘keranjingan’ segala sesuatu yang berbau teknologi adalah ‘gadget mania’. Efek samping dari perkembangan ini adalah adanya program televisi yang mengupas perkembangan teknologi terbaru seperti “Boys are Toys” (Global TV) serta “Planet Seluler” (TV 7). Selain mengupas perkembangan terbaru teknologi komunikasi, pada acara ‘Planet Seluler’ misalnya, berisi bagaimana kalangan artis sinetron/penyanyi/selebritis Indonesia berhubungan dengan telepon genggam atau dengan apa pun alat teknologi komunikasi yang mereka miliki.
Melalui iklan-iklannya, Nokia juga menggambarkan bahwa masyarakat pemakai produknya juga orang-orang yang tidak hanya peduli pada penampilan dan teknologi, tapi juga mempunyai perhatian pada persoalan sosial, peka terhadap persoalan lingkungan, dan sekaligus mempunyai selera seni tinggi. Penyatuan iklan Nokia dengan langkah-langkah konservasi alam ala WWF (2001)–dengan cara penjualan casing bertema pelestarian lingkungan yang hasilnya disumbangkan untuk dana pelestarian hutan–dan usaha pemberian bantuan kepada anak-anak lewat Unicef (2000), penyelenggaraan kompetisi seni rupa Nokia Arts Awards (2000), dan akhir-akhir ini melalui penyelenggaraan Nokia Fashion Award (2005), bisa dilihat sebagai usaha-usaha yang dilakukan untuk memberi kesan bahwa pemakai Nokia bukanlah orang-orang yang hanya mementingkan kesuksesan materi saja tetapi juga orang-orang yang pemurah, suka bersedekah, dan mempunyai selera seni tinggi. Masyarakat Nokia adalah orang-orang yang sejahtera, kaya, berwawasan luas dan tinggi, sekaligus juga trendi dan gaya. Sekaligus itulah salah satu kunci gagasan kemajuan dalam kultur anak muda yaitu, keren dan gaya.
Saat ini kemajuan teknologi komunikasi memang mendapat tempat paling luas dalam budaya anak muda Indonesia. Kepercayaan diri anak muda untuk berpendapat dengan sudut pandangnya sendiri mempercepat penyerapan mereka atas beragam bentuk teknologi komunikasi. Jika di masa kolonial kemampuan berbahasa Belanda adalah kunci modernitas seperti yang direpresentasikan lewat novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo, maka modernitas di zaman ini disimbolkan dengan penguasaan yang penuh atas teknologi. Dan anak muda adalah pemegangnya.