Oleh Ketut Sutawijaya
“Flu burung? Ah… paling ndak jauh beda dengan tetelo. Gejalanya sama kok, tiba-tiba ada ayam yang mati mendadak,” ungkap seorang bapak dengan tenang. Sebagaimana kebiasaan orang Jawa secara umum, ia pun memelihara unggas, seperti burung merpati dan ayam yang kerap berjalan-jalan di pekarangannya. Unggas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Benaknya tetap tak bisa memercayai bahwa hewan kecintaannya bisa membawa maut. Entah berapa ribu orang yang masih mempunyai cara pikir serupa seperti sepotong kisah di atas. Bahkan di Pasar Burung Ngasem di Yogyakarta, ada spanduk tertulis “Flu Burung: Penyakit Lama Kemasan Baru”, artinya mereka menganggap bahwa flu burung samadengan penyakitburung lainnya. Hal-hal semacam ini menambah ketidakwaspadaan warga terhadap ancaman flu burung. Di mana letak permasalahan yang menyebabkan warga belum juga waspada akan bahaya wabah penyakit ini? Padahal kasus kematian di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, yaitu dari 78 kasus, 60 orang telah meninggal dunia.
Menganalisa flu burung di Indonesia harus dikontekskan pada sektor-sektor atau sistem pemeliharaan unggas yang ada. Menurut FAO dan OIE (World Organization for Animal Health), sektor-sektor pemeliharaan unggas dapat dikategorikan menjadi 4 sektor. Sederhananya,sektor 1 dan 2 adalah sektor industri dengan skala produksi yang besar. Sektor 3 merupakan sistem pemeliharaan rakyat dengan skala jumlah pemeliharaan yang kecil. Dan sektor 4 adalah sistem pemeliharaan unggas yang dilakukan di halaman atau pekarangan rumah, sering dikenal dengan nama back-yard poultry system.
Sektor terakhir inilah yang menjadi momok penyebaran virus flu burung dan paling sulit ditangani. Terdapat beberapa alasan mengapa sektor 4 ini menjadi pusat permasalahan dalam penanganan flu burung; pertama, unggas (ayam) yang dipelihara pada sektor 4 sebagian besar tidak dikandangkan, sehingga sulit untuk melakukan pengontrolan atau pengawasan. Hal ini juga menyulitkan vaksinasi dan pengontrolan pascavaksinisasi. Kedua, virus akan sangat mudah menyebar pada sektor ini karena adanya kontak atau tidak adanya pemisah antara unggas sakit dengan yang sehat. Ketiga, ayam sering dipelihara dengan bebek yang notabene bebek sering membawa virus yang menyerang ayam sedangkan bebek tersebut tidak mendapat pengaruh berarti dari virus itu. Keempat, pada sektor 4 sering terjadi human case karena adanya kedekatan kontak antara manusia dengan unggas. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari telah terbiasa hidup berdampingan dengan unggas. Kelima, masyarakat yang memelihara unggas di sektor 4 ini sebagian besar memiliki pengetahuan (tentang flu burung) yang rendah.
Berbagai kampanye kerap menginformasikan bahwa salah satu bentuk pencegahan virus flu burung adalah mengandangkan unggas dan menjaga kebersihannya. Tetapi untuk masyarakat di kategori sektor 4 tidak begitu saja mudah melakukan pengandangan karena membutuhkan bahan material, dan harus disediakan makanan khusus untuk ayam yang selama ini permukiman. Pemeliharaan yang berjumlah di bawah 20 ekor di permukiman akan dimusnahkan dengan kompensasi sebesar Rp 12.500 per ekor. Sedangkan yang lebih dari 20 ekor, harus dikandangkan minimal 250 meter dari permukiman. Pelarangan ini diberlakukan di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten mengingat tingginya kasus yang terjadi di daerah-daerah ini. Pelarangan berlaku sampai enam bulan ke depan (Kompas, 16 Januari 2007).
Media strategis untuk kampanye
Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya wabah ini, maka sejak tahun 2006 telah bermunculan kampanye-kampanye pencegahan flu burung. Sebut saja iklan layanan masyarakat yang ditayangkan melalui TV, radio, dan media cetak, yang dibuat oleh Komisi Nasional Avian Influenza (Komnas AI) yang di-launching pada tanggal 1 September 2006, dan iklan-iklan yang dilakukan oleh UNICEF, dan lembaga-lembaga lainnya.
Jika kita mengamati iklan atau kampanye flu but-ung maka biasanya latar belakangnya adalah masyarakat pedesaan dengan ayam-ayam atau burung di pekarangan. Konten yang disampaikan pun tidak lebih seputar kehidupan masyarakat berkaitan dengan pemeliharaan unggas dalam hal menjaga kebersihan dan mengonsumsi unggas yang aman dengan memasaknya sampai matang. Jelas dari iklan kampanye tersebut ditujukan pada masyarakat yang berada di kategori sektor 4. Yang menjadi pertanyaan, apakah iklan tersebut sudah mampu memengamhi langkah pemberantasan flu burung pada masyarakat akar rumput. Apakah masyarakat bisa menangkap pesan dari kampanye tersebut, mengingat iklan di televisi durasinya sangat cepat dan bersaing dengan beragam informasi lainnya.
Ada hal menarik yang dapat digunakan untuk mengritisi iklan atau kampanye flu burung di Indonesia. Belajar dari Jawa Barat sebagai daerah dengan kasus kematian unggas dan manusia tertinggi di Indonesia telah dilakukan beberapa modifikasi terhadap kampanye. Seperti yang dinyatakan dalam berita di Media Indonesia bahwa kampanye dan iklan flu berkeliaran bebas mencari makanannya sendiri di pekarangan rumah atau tempat sampah. Artinya dibutuhkan biaya dan waktu luang khusus dalam pemeliharaannya. Biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sebanding dengan pemasukan mengingat tujuan pemeliharaan unggas ini hanya untuk hobi dan hiburan semata. Akhirnya langkab ekstrim cenderung dilakukan, yaitu dengan adanya pelarangan pemeliharaan unggas nonkomersial di daerah burung di Jawa Barat tidaklah sukses. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lain untuk melakukan kampanye. Kampanye yang akan digalakkan adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat, termasuk para siswa di sekolah.
Dalam film dokumentasi tentang opini petani yang dibuat oleh FAO, terlihat bahwa ada perbedaan mendasar tentang pemahaman masyarakat terhadap flu burung di wilayah yang pernah ditemukan kejadian positif flu burung dan dilakukan intervensi pengontrolan di wilayah tersebut dengan wilayah yang belum terinfeksi flu burung dan belum mendapatkan intervensi pengontrolan. Pada wilayah yang diintervensi dengan metode partisipatif dan dialog, terlihat jelas pemahaman dan kekritisan masyarakat terhadap flu burung sangat tinggi. Sebaliknya di daerah yang belum mendapatkan intervensi aktif, sangat acuh terhadap flu burung.
Modifikasi metode kampanye di Jawa Barat dan dilakukannya intervensi dalam bentuk partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam pemberantasan flu burung, merupakan salah satu pertimbangan dalam mengoptimalkan kampanye untuk meningkatkan pemahaman dan kekritisan. Jika ini dibandingkan dengan iklan dan kampanye yang disiarkan di TV, radio, maupun media cetak yang bersifat monolog, maka metode melibatkan peran aktif masyarakat akan jauh lebih optimal.Walaupun, metode partisipasi ini membutuhkan biaya dan SDM yang besar.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena isu flu burung dalam kasus Indonesia merupakan isu grassroots, seperti yang dijelaskan di bagian awal tentang sektor 4. Sedangkan, pada level grassroots ini tingkat ekonomi dan pendidikan sangat rendah, yang menganggap flu burung tidak penting dibandingkan dengan kepentingan mengisi perut mereka. Sulit untuk mengharapkan mereka mempunyai respons yang bagus, kecuali membangun pemahaman sedikit demi sedikit melalui dialog-dialog.
Selain metode partisipasi terdapat metode lain dalam meningkatkan kesadaran tentang flu burung, yaitu mendekatkan sumber informasi. Iklan layanan masyarakat yang dibuat di Jakarta, sangat jauh dengan sumber masalah. Semakin lokal sumber informasi semakin baik, karena kedekatan secara geografis dan kultural sangat membantu penyebaran informasi pada masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada Poskeswan (pos kesehatan hewan) yang ada di kabupaten maupun di kecamatan. Walaupun instansi pemerintah sering kali memiliki citra yang kurang baik di mata masyarakat, tetapi minimal dapat menjadi pintu untuk mendekatkan sumber informasi pada sumber masalah. Keterlibatan lembaga-lembaga lokal untuk mengambil: peran sebagai sumber informasi juga sangat membantu. Terlebih lagi jika ada radio komunitasyangmengambil peran sebagai sumber informasi dan menyebarkannya kepada komunitas.