Oleh Arfi
Siapa yang tak kenal Bahrudin di Kalibening? Malah bisa jadi namanya cukup beken di kalangan petani Salatiga. Terbukti ketika KOMBINASI “nyasar”, penduduk yang ditanya dengan senang hati menjawab, “oh, pak Bahrudin yang aktivis petani itu ya?”, alhasil, sebuah kesan yang akrab terbayang dari tokoh satu ini mengingat kedekatannya dengan warga.
Kiprah Bahruddin dimulai sejak awal 1990-an. Ketika itu ia terlibat dalam pendirian Paguyuban Petani AI-Barokah. Awalnya, paguyuban Al-Barokah hanya melakukan pertanian agrobisnis dengan penekanan pada produk pertanian berorien-tasi pasar. Sehingga mereka memilih untuk mengambil benih non-used yang ditawarkan oleh perusahaan pemasok benih yang sangat tergantung pada pupuk kimia.
Pertanian awal ini gagal. Munculah ide untuk kembali ke sistem pertanian tradisional yang tidak tergantung pada zat-zat kimia. “Sebuah keputusan luar biasa yang diambil petani selama saya mendampingi mereka,” kenang Bahrudin. Akhirnya, Bahrudin bersama-sama dengan Paguyuban Petani Al-Barokah memilih pertanian organik sebagai konsep pertaniannya.
Caranya adalah dengan memaksimalkan potensi tanah melalui pengujian kesuburan tanah, pemanfaatan kotoran binatang ternak untuk kompos dan pemakaian predator alarm untuk memerangi hama. Hasilnya, tahun 1993, Paguyuban Al Barokah telah menggunakan pupuk organik dalam bertani. Meski setelah dihitung-hitung menggunakan pupuk organik ternyata lebih mahal daripada pupuk kimia. Biaya lebih mahal muncul karena efektivitas yang menurun, biaya transportasi dan waktu panen yang lebih lama. Namun penggunaan pupuk organik tetap diteruskan karena mampu menghasilkan kualitas padi yang lebih baik daripada menggunakan pupuk kimia. Hasilnya harga panennya terdongkrak di pasaran.
Pada perkembangannya, organic farming yang dikembangkan berlanjut menjadi integrated farming, alias pertanian terpadu. Karena munculnya kebutuhan pupuk organik dari pupuk kandang selain dari pupuk hijau (kompos). Petani-petani yang tergabung dalam Al-Barokah kemudian memilih beternak sapi perah.
Keuntungan beternak sapi perah bag! petani Al Barokah cukup banyak. Pertama, hasilnya bisa dirasakan terus menerus karena menghasilkan susu, Kedua, kotorannya jika diperlakukan secara tepat guna tidak akan terbuang secara percuma.
Kotoran ini melalui teknologi biodigester, akan mengolah kotoran ternak menjadi cairan selury yang selanjutnya akan Jadi tak dialirkan ke lahan pertanian sebagai pupuk organik cair. Selain pupuk, teknologi biodigester ini juga menghasilkan bio gas yang sehari-hari dipergunakan sebagai gas untuk memasak dan pembangkit listrik tenaga gas. Konsep pertanian model ini lama-lama ditirujuga oleh petani-petani di luar Al-Barokah. Bahkan oleh mereka yang bukan petani, seperti persatuan sais dokar Salatiga. Mereka mengadopsi teknologi biodigester untuk mengolah kotoran kuda.
Di sisi lain, paguyuban pun berkembang pesat, Dari yang dulunya hanya beranggotakan 27 orang, itupun hanya dari desa Kalibening- sekarang ini paguyuban Al-Barokah telah berkembang menjadi paguyuban petani yang beranggotakan 181 orang. Hebatnya, keterlibatan perempuan lumayan tinggi, mencapai 135 dan terse-bar di dua kecamatan: Argomulyo dan Tingkir.
Belakangan, Paguyuban Petani Al-Barokah juga mempelopori berdirinya Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) pada tanggal 14 Agustus 1999, dan Bahrudin, terpilih menjadi ketua dewan pelaksana SPPQT masa jabatan tahun 2000-2004.
Tidak Anti Pluralisme
Dilahirkan 37 tahun lalu, tepatnya pada 9 Februari 1965 di desa Kalibening kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Bahrudin tumbuh sebagai seseorang yang dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat, warisan orang tuanya, jadi wajar kalau ia menghabiskan masa sekolahnya di sekolah agama. Terakhir, ia kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga. Tapi ia mengaku tak jadi sektarian dan anti-pluralisme. “Dalam membangun proses pemberdayaan sama sekali tidak ada rumusan memilah; ini kaum muslim dan itu kaum di luar muslim,” ujarnya menegaskan. Apalagi Islam juga mengajarkan kesetaraan. “Menghargai dan menghormati orang lain adalah ajaran kemanu-siaan universal yang harus dipegang oleh setiap manusia,” ujarnya lagi,
Prinsip itulah yang selalu dipegangnya dalam setiap kesem-patan. Walaupun serikat petani Qaryah Thayyibah (artinya Desa yang Damai) menggunakan bahasa Arab sehingga identik dengan Islam, namun bukan berarti serikat ini tertutup bagi orang non Islam. Heran kalau di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) terdapat juga petani yang beragama Budha, Kristen, atau Katolik yang tersebar di enam daerah tingkat II di Propinsi Jawa Tengah.
Bagi Bahruddin, terjun ke dunia petani tidaklah mudah. Apalagi ia bukan petani. Namun keprihatinannya terhadap petani yang kehidupannya tak pernah beranjak baik mene-guhkan hatinya.
Kesulitan yang ada diatasi dengan bekal ilmu dari bangku sekolah, plus diskusi, serta pergaulan yang akrab dengan’petani. “Dalam pendampingan, yang ditekankan bukan pengembangan pertanian tapi pengembangan petani,” tukas Bahrudin.
Alhasil, Bahrudin pun bisa diterima di lingkungan petani bahkan terlibat dalam pendirian Paguyuban Petani Al Barokah. Kini serikat petani yang dipimpinnya pun ber-kembang pesat.
Pendidikan Rakyat Sebagai Tujuan
Kini, SPPQT telah berkembang pesat. Beranggotakan 5117 SPPQT juga memberi perhatian penting bagi pendidikan petani, tak sekedar jumlah anggota yang besar. Bagi Bahrudin, pendidikan bagi rakyat merupakan hal terpenting untuk menegakkan harkat dan martabat mereka, Termasuk pendidikan ba gaimana melakukan kegiatan secara berkelompok atau bersama. “Pertemuan terus berjalan. Dalam diri mereka, mulai tertanam semangat kolektif; semangat yang menyiratkan keharusan hidup berkelompok antara satu dengan yang lain, Karena hidup berjama’ah dianggap pendekatan strategis untuk menghadapi persoalan-persoalan yang ada,” tegasnya.
Pernah juga beberapa kali Bahrudin harus berhadapan dengan pemerintah. Berselisih pendapat juga sering terjadi. “Penataan irigasi dan konsep integrated farming misalnya sudah lama kami perbincangkan, tapi tak ada satu kesimpulan yang sama. Ujung-ujungnya, kami selalu berbeda dengan pemerintah,” kata Bahrudin.
Pemerintah, katanya, sering tidak mendengarkan kebutuhan petani, sehingga masih sering top down dalam mengambil keputusan. “Pemerintah tidak memberi ruang inisiatif bagi petani untuk merembuk masalah sendiri, padahal kami menyukai keterlibatan secara bersama-sama untuk memecahkan sesuatu masalah sehingga akibatnya dirasakan bersama. Jadi kata “bersama” merupakan kata kunci yang selalu menjadi acuan,” tandas Bahrudin menutup pembicaraan.