Apabila ditelusuri secara sekilas, penggunaan lema “disaster” (bencana) dalam sekira tiga abad mundur (1800–2008) tampaknya lebih ditautkan pada isu pengelolaan bencana.
Data dari Google Ngram Viewer terhadap pangkalan buku Google Books yang memuat lema “disaster” (khusus naskah bahasa Inggris) menunjukkan dengan jitu kecenderungan tersebut: halaman pertama pada naskah periode 1800–1841 menampilkan teks-teks yang menautkan diri dengan bencana akibat kegiatan industri. Sekadar catatan tambahan, naskah pertama yang muncul ialah buletin yang diterbitkan pada 1831 oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat mengenai industri air raksa. Sementara sejak halaman pertama untuk naskah periode 1994–2008, teks-teks yang disuguhkan hampir selalu mengenai pengelolaan bencana.
Dari data itu, kecenderungan yang kita dapatkan adalah, pertama, adanya kehendak untuk mengendalikan bencana. Kedua, sulit untuk dimungkiri bahwa terdapat keterkaitan erat antara bencana dan pertumbuhan industri dalam kelompok masyarakat tertentu di Barat. Pesatnya industri adalah perubahan paling mendasar kehidupan umat manusia dalam sejarah, yang dalam satu abad ini dipromosikan sebagai pembangunan (development). Jadi, tidak keliru bila Mark D. Anderson (2011) mengatakan bahwa pengetahuan modern tentang bencana (modern grammar of disaster) semakin ke sini semakin dipergunakan sebagai pisau untuk membaca, memahami, dan menanggulangi kejadian-kejadian malapetaka besar.
Namun, seiring dengan makin gencarnya internalisasi proyek pembangunan di berbagai belahan bumi, ada kontradiksi atas upaya manusia untuk mengendalikan bencana dibanding dengan kekuatan yang bersifat menghancurkan yang melekat dalam proyek pembangunan itu sendiri. Bencana susulan pun tidak jarang menghantam kelompok masyarakat tertentu yang disentuh oleh proyek pembangunan. Tak heran jika Allan Lavell (1994) sampai menyerukan supaya persoalan bencana menjadi komponen intrinsik dalam skema-skema pembangunan. Dengan kata lain, meski agak berlebihan, tak bisa dimungkiri bahwa manusia pada zaman ini sebenarnya manusia yang terancam oleh mara bahaya. Manusia menghuni, dalam istilah Greg Bankoff (2007), dunia yang tak aman (the world unsafe).
Dari Tropicality ke Natural Disaster
Dari manakah tarikan sejarah penggambaran dunia yang berbahaya mesti ditelusuri? Greg Bankoff (2001) bersandar dari uraian David Arnold (1996) tentang obat yang diramu oleh ahli medis Eropa sebagai obat penyakit iklim panas (warm climate). Penelitian obat dimulai dan berkembang bersamaan dengan pelepasan kapal-kapal bangsa Eropa ke kawasan tropis pada abad ke-16 dan ke-17, yang saat ini notabene negara bekas jajahan dari negara-negara Eropa kolonial. Bagi Eropa kolonialis, kawasan khatulistiwa adalah kawasan yang berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan nyawa bangsanya.
Melalui survei peta bumi dan sejumlah dampak patologis dan fisiologis iklim panas, kata David Arnold (2004), kawasan tropis didefinisikan sebagai ruang eksotis, tempat tak dikenal yang berbahaya, sebagian besar tidak nyaman untuk digunakan sebagai lokasi hunian yang permanen bagi bangsa kulit putih. Oleh David Arnold (1996), diskursus yang membentuk sikap nilai semacam itu disebut tropicality, yakni langgam Eropa yang secara kultural dan politik memandang sesuatu sebagai barang asing dibandingkan dengan Eropa dan kawasan lain di bumi yang beriklim sedang.
Setelah pergantian sekian abad, yakni setelah tumbuhnya negara-negara merdeka di Asia dan Afrika—periode yang muncul usai senjakala kolonialisme-imperialisme Eropa, diskursus tropicality bergeser menuju diskursus serupa berikutnya, yakni pembangunan (development). Persisnya, setelah Perang Dunia II, para teoretikus Barat sibuk memikirkan kondisi sosial dan ekonomi yang semakin parah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Tetapi, rivalitas Perang Dingin dan upaya membendung penyebaran komunisme telah membuat program-program investasi dan bantuan dari Barat diberi batas jarak secara konseptual; antara negara donor dan negera resipien, antara negara maju dan negara belum berkembang. Di sinilah tampak bahwa esensi ke-liyan-an antara tropicality dan development sama sekali tak berbeda.
Kini bencana alam (natural disaster) menjadi diskursus yang paling mendominasi sejak akhir abad ke-20. Negara-negara baru yang merdeka pasca-Perang Dunia II, notabene negara berkembang, yang diterjang bencana dikarenakan kejadian alam ekstrem, dianggap sebagai kawasan berbahaya karena jumlah korban secara statistik melambung tinggi dibandingkan akibat dari bencana yang terjadi di negara maju.
Mary B. Anderson (1985) pernah memberi ilustrasi dari kajian United Nations of Disaster Relief Co-ordinator pada 1976. Lembaga itu menunjukkan, pada tahun itu, 95 persen kematian yang terjadi karena bencana menimpa 66 persen warga yang tinggal di negara berkembang. Belum berhenti sampai di situ, pada 1985, saat rata-rata kematian oleh karena bencana dari fenomena alam di Jepang tercatat 63 orang, di Peru terdata hingga 2.900 orang. Belum lagi data World Risk Index yang dirilis pada 2013, yang menyebutkan bahwa negara-negara yang paling rentan terhadap bencana alam adalah negara-negara berkembang.
Namun, bagaimana kita melihat fenomena bahwa negara mana pun kini kelihatan bisa mengambil peran untuk menyalurkan bantuan?
Indonesia bisa saja menyalurkan bantuan ke Filipina, meskipun Filipina merupakan situs basah bagi bantuan kebencanaan berbagai negara maju. Hanya saja, hal itu tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang dan secara terencana oleh negara berkembang. Sementara itu, negara-negara maju mempunyai instrumen organisasi bantuan di internal negara mereka maupun badan-badan internasional untuk membangun semakin kokohnya diskursus bencana alam, memperkenalkan pemanfaatan kecanggihan ilmu eksakta pada masa-masa prabencana, dan menjadi pemandu dalam strategi penanggulangan pascabencana.
Bukti nyatanya dapat ditelisik dari berbagai program kebencanaan yang digalakkan oleh pemerintah maupun organisasi nonpemerintah dan masyarakat sipil bersandarkan dana dan pendampingan lembaga donor negara-negara maju. Sesudah tsunami 2004, misalnya, Lynn Letukas dan John Barnshaw (2008) mencatat, delapan donor terbesar bantuan tsunami adalah negara maju: Amerika Serikat, Australia, Jerman, Uni Eropa, Jepang, Inggris, Kanada, dan Belanda.
Di Indonesia, tren ini mulai mencolok setelah kejadian tsunami Aceh pada 2004 dan gempa bumi Yogyakarta-Jawa Tengah pada 2006. Saat ini, tren tersebut merambah kawasan-kawasan yang pernah digulung malapetaka alam besar, menyusul kawasan-kawasan lain yang menurut peta kawasan bahaya dan penilaian risiko (risk assessment) adalah kawasan dengan penduduk yang dihantui oleh kerentanan.
Kerentanan terhadap Bencana
Kerentanan, kata Mark D. Anderson (2011), ialah konsep yang menyokong keseluruhan sistem mengenai risk assessment. Risk assessment memang merupakan perangkat penting dalam dokumen proyek pengelolaan bencana. Risk assessment menjadi penopang sekaligus penyaring dari keberlangsungan seluruh sistem yang penuh limit dan menafikan relasi politik atas hadirnya risk assessment di tengah komunitas.
Selain itu, dalam narasi-narasi program pengelolaan bencana, meminjam kalimat Jonathan Joseph (2013), terpampang pula argumen yang semakin banal mengenai perubahan alam di dunia dan kebutuhan akan perlindungan di setiap hari—suatu perlindungan dari mara bahaya. Jadi, sederet upaya untuk mengidentifikasi kerentanan terhadap bencana adalah suatu tindakan yang bukannya apolitis, melainkan proses yang pada lintasan sejarahnya sangatlah politis.
Oleh : Lubabun Ni’am*/Kombinasi Edisi 60-Februari 2015-Merajut Semangat Bersama Radio Darurat
*Alumnus Jurusan Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada