Memperjuangkan Akses Kesehatan Kaum Pinggiran

Oleh Biduk Rokhmani

Masih ingat saat pemerintah hendak menaikkan BBM? Saat itu mereka berjanji akan ada program kompensasi dana BBM untuk meringankan beban biaya kesehatan bagi warga miskin. Kenyataannya masih banyak warga miskin yang tetap sulit mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Berpijak dari berbagai perlakuan diskriminatif oleh petugas kesehatan kepada warga miskin, beberapa komunitas dari berbagai kalangan dan profesi di Solo membentuk Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (SOMPIS) pada Juli 2001 yang mulanya digawangi oleh Sammy Samual Rory dari kelompok tukang parkir dan Edi Sarnyata dari komunitas pedagang kaki lima (PKL). Selain itu ada juga komunitas tukang becak, difabel (penyandang cacat), pengamen, pekerja rumah tangga (PRT), PSK, dan pedagang asongan. Ide membentuk SOMPIS itu awalnya muncul karena adanya keprihatinan atas kebijakan yang disusun oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sering tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat miskin kota, termasuk bentuk-bentuk diskriminasi dalam pelayanan kesehatan. Bahkan adanya jaminan asuransi kesehatan keluarga miskin (Askes Gakin) pun ternyata masih belum bisa dijadikan garansi bahwa mereka akan mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang layak.

“Meskipun kami telah memegang kartu Askes Gakin, namun saat berurusan dengan pihak rumah sakit selalu saja terbentur persoalan birokrasi. Kami tidak tahu, apakah sebelumnya memang tidak ada sosialisasi dari pemerintah kepada petugas kesehatan, hingga sepertinya kok selalu saja dipersulit oleh pihak rumah sakit. Itu belum ketika harus melunasi biaya administrasi setelah berobat, bahkan baru mau mendaftar di rumah sakit saja sudah dipersulit,” keluh Edi Sarnyata yang berjualan barang-barang elektronik di Pasar Klithikan Silir, Solo.

Seringnya, lanjut Edi, bentuk mempersulit akses oleh petugas kesehatan itu biasanya dengan penolakan pasien saat hendak masuk ke rumah sakit yang kerap berdalih sudah penuh atau tidak ada kamar kosong.”Padahal kami toh tidak akan meminta yang muluk-muluk, kami sudah cukup terima jika ditempatkan di kamar kelas bangsal, yang penting kami diberi pelayanan yang layak dan memadai,” terangnya.

Tidak hanya pihak rumah sakit yang mempersulit warga pinggiran itu mendapat akses kesehatan yang layak, ketidakmudahan itu juga diberikan oleh pihak aparat pemerintah desa yang justru sering menghambat warganya memperoleh kartu Askes Gakin. “Untuk mengurus surat-surat guna mendapat kartu Askes Gakin itu juga sering dibikin ribet, padahal kalau memang sudah ada keterangan tidak mampu dari pihak RT dan RW kan itu cukup sebagai bukti to bahwa dia memang benar-benar miskin, tapi nyatanya… Pernah ada kasus salah seorang anggota SOMPIS dari kalangan PSK dan PRT yang mengajukan permohonan Askes Gakin itu, tapi kata petugasnya selalu dijawab habis melulu,” tutur bendahara SOMPIS itu dengan nada kesal.

Selain itu, imbuhnya, pernah juga terjadi ada pasien yang sudah memiliki kartu Askes Gakin tapi ternyata tetap harus membayar biaya perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit Dr Muwardi, Solo secara penuh. Untunglah setelah ada advokasi dari SOMPIS semua biaya itu diganti 100 persen oleh Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo.”Kami sampai mengadakan hearing di dewan (DPRD-red) dengan mengundang Wali Kota Joko Widodo dan Kepala DKK Solo dr Purnomo Dwi Putro Mkes yang difasilitasi oleh anggota dewan. Sebab kalau tidak begitu biaya itu tidak akan diganti.” ucapnya.

Sebenarnya kontribusi Pemkot Surakarta untuk meminimalisasikan persoalan kesehatan itu cukup bisa diacungi jempol. Meskipun belum maksimal, namun upaya untuk mengikis gap pelayanan kesehatan di Kota Solo itu patut diacungi jempol. Paling tidak, dalam APBD 2007 telah ada alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp 7,8 miliar, lebih banyak dibanding alokasi pada APBD 2006 yang hanya Rp 2,8 miliar. Apalagi saat ini di Solo juga tengah diupayakan program Puskesmas 24 Jam, yakni Puskesmas yang membuka layanannya hingga 24 jam nonstop yang telah dimulai di Puskesmas Pajang.

Selain itu ke depan, SOMPIS masih mengharapkan adanya akses yang berlaku global.
Jadi, pemegang kartu Askes Gakin itu bisa menggunakannya tidak hanya di rumah sakit
milik pemerintah, melainkan bisa berlaku juga di rumah sakit-rumah sakit swasta dan dokter praktek.”Bahkan kalau memungkinkan juga bisa antarwilayah, misalnya saya warga Solo tapi tiba-tiba sakit di Surabaya bisa langsung dirawat di sana dengan keringanan biaya yang telah dijamin oleh Askes Gakin,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud