Oleh : Ibnu Hajjar Al-Asqolani*
Menanti Komitmen Dewan Pers terhadap Media Komunitas
Pada 2015 lalu, laman merdeka.com melaporkan bahwa, sebanyak 220 kepala desa di Blitar menolak wawancara dari wartawan yang belum mengantongi sertifikat dari Dewan Pers. Berbekal Peraturan Dewan Pers No 1 Tahun 2010, penolakan wawancara dari wartawan tanpa sertifikat uji kompetensi dari Dewan Pers pun dilakukan. Alasannya, banyak “wartawan bodrex” (wartawan gadungan-red) berkeliaran seiring dengan penyaluran dana desa. Bahkan wartawan dari media abal-abal ini tak segan mengancam demi mendapat imbalan.
Tindakan tersebut tampak beralasan. Pasalnya, fenomena “wartawan bodrex” bukanlah hal baru. Selain itu, media-media penyebar informasi yang menyesatkan (hoaks) dan mengabaikan kaidah jurnalistik pun kian menjamur. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat tak kurang dari 800 ribu situs web di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech).
Berangkat dari kondisi itulah Peraturan Dewan Pers tentang uji kompetensi wartawan tersebut dikeluarkan. Salah satu poinnya, narasumber berhak menolak wawancara wartawan yang belum mengantongi sertifikat uji kompetensi dari Dewan Pers. Selain itu, Dewan Pers juga mengeluarkan kebijakan sertifikasi media. Secara bertahap Dewan Pers akan melakukan verifikasi terhadap institusi media. Media yang dinyatakan lolos verifikasi tersebut harus memenuhi 17 standar yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
Kebijakan tersebut layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, uji kompetensi wartawan dan verifikasi media dapat meminimalisir potensi “penumpang gelap” yang meraup keuntungan dengan kedok kebebasan pers. Di sisi lain, para pewarta warga dan pengelola media komunitas yang bekerja sesuai prinsip dan etika jurnalistik pun terancam. Pasalnya, standar-standar verifikasi media yang diterapkan Dewan pers tampaknya sangat sulit untuk dipenuhi media komunitas. Dengan kata lain, standar yang diterapkan Dewan Pers dikhawatirkan hanya akan mengakomodasi media arus utama.
Salah satu syarat yang ditetapkan Dewan Pers, misalnya, bahwa perusahaan pers harus memiliki modal dasar sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers. Syarat lain, perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.
Media komunitas bukan media industri
Jika merujuk pada syarat-syarat penertiban media dari Dewan Pers, sebagian besar media komunitas tidak akan mampu memenuhinya, khususnya terkait syarat berbadan hukum, modal, dan kemampuan menggaji wartawan. Imung Yuniardi dari Combine Resource Institution menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk “Media Komunitas Melawan Hoaks” di University Club, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu (4/2). “Ini karena dunia media komunitas berbeda dengan dunia perusahaan pers,” ungkap Imung yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.
Media komunitas tidak menjalankan kegiatannya dengan logika industri. Pemahaman bahwa media yang benar adalah media yang mampu menggaji karyawannya dan harus berbentuk badan hukum tidak mungkin diterapkan oleh media komunitas. Imung mengungkapkan, “Di media komunitas, bisa bayar tagihan listrik tiap bulan saja sudah bagus. Bagi wartawan media komunitas, yang dicari bukan gaji. Kalau jurnalis warga menerima gaji, dia sudah beralih menjadi jurnalis profesional.”
Media komunitas memiliki karakteristik yang membuatnya tak mungkin disamakan dengan media arus utama. Pertama, keterbukaan akses dan partisipasi. Dalam media arus utama, akses partisipasi publik tidak dibuka secara luas. Di sisi lain, dalam media komunitas partisipasi publik dibuka seluas-luasnya bagi komunitas tempat dia berada. “Dalam peraturan Dewan Pers, (partisipasi publik di media arus utama) hanya dalam bentuk hak jawab dan surat pembaca,” jelas Imung.
Senada dengan Imung, Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Sinam Sutarno, menjelaskan bahwa media komunitas yang sangat dekat dengan warga memiliki mekanisme pengawasan yang berbeda dari media arus utama. Media komunitas dijaga oleh moral dan etika yang ada di tingkatan komunitas. “Salah memberitakan bisa digeruduk (didatangi beramai-ramai). Saya yakin media komunitas dijaga oleh hal-hal yang bersifat komunitas karena kita dekat dengan komunitas,” papar Sinam yang menjadi peserta dalam diskusi itu.
Sinam lantas menegaskan bahwa penggiat media komunitas adalah orang-orang yang bekerja untuk komunitas, bukan untuk perusahaan. Dengan demikian, tidak mungkin standar verifikasi bagi perusahaan pers diterapkan terhadap media komunitas. “Jangan pers komunitas dipaksa mengikuti standar yang ada di perusahaan,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ahmad Rofahan, penggiat media komunitas Jingga Media di Cirebon, Jawa Barat yang menjadi salah satu narasumber diskusi. Sebagai pengelola media komunitas, ia meyakini bahwa apa apa yang dilakukan media komunitas semata-mata untuk melayani warga. “Ketika tujuan jurnalisme adalah untuk warga, mengapa warga tidak membuat media sendiri? Mengapa warga harus menjadi pihak yang diberitakan? Mengapa menunggu orang lain kalau kita bisa memberitakan sendiri?” ujarnya.
Lebih lanjut Rofahan mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak kebijakan sertifikasi media oleh Dewan Pers terhadap media komunitas. Ia mempertanyakan kesiapan Dewan Pers dalam mengakomodasi serta melindungi media komunitas. “Apakah nanti Dewan Pers akan mengakomodasi media komunitas, ataukah hanya media yang sudah disertifikasi?” ujarnya.
Komitmen Dewan Pers
Menanggapi berbagai kekhawatiran tersebut, Ahmad Djauhar selaku Wakil Ketua Dewan Pers menganggap kebijakan sertifikasi media semata-mata merupakan upaya mengawal kredibilitas institusi pers. Sebab, menurutnya, banyak terjadi penyalahgunaan institusi media untuk kepentingan tertentu. “Misalnya dua atau tiga orang membuat media online, tapi intensinya tidak jujur, melainkan untuk menggaet institusi tertentu untuk mengeluarkan berita yang bagus-bagus dengan sejumlah imbalan dana untuk untuk sosialisasi program,” ungkapnya.
Terkait kekhawatiran penggiat media komunitas atas standar sertifikasi media yang diterapkan Dewan Pers, Djauhar menanggapinya dengan sederhana. Menurutnya, jika media komunitas menerapkan dan mematuhi kaidah jurnalistik, maka para penggiatnya tidak perlu merasa khawatir. “Kalau Anda tidak melakukan kesalahan, tidak usah takut,” ujarnya.
Djauhar menambahkan, Dewan Pers masih berusaha supaya tidak ada celah untuk menutup institusi pers, termasuk bekerja sama dengan kepolisian dan TNI. “Nanti di Hari Pers Nasional di Ambon, tanggal 9 Februari, kami akan menandatangani perpanjangan MoU (Memorandum of Understanding/Nota Kesepahaman-red) antara Dewan Pers dan Polisi serta Dewan Pers dan TNI, supaya mereka tidak nggebukin (memukuli-red) wartawan lagi,” candanya.
Perlakuan sertifikasi media terhadap media komunitas masih berat sebelah. Djauhar menyarankan agar asosiasi media komunitas suatu hari bertemu Dewan Pers dan mendiskusikan langkah terbaik. “Karena ini juga merupakan hak warga negara. Kalau misalnya sama-sama dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen-red) dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia-red), bisa difasilitasi dan akan memperoleh perlindungan hukum sesuai aturan yang berlaku,” pesannya.
Dukungan untuk Media Komunitas
Suwarjono selaku Ketua AJI Indonesia turut menyatakan dukungannya terhadap para penggiat media komunitas. Dukungan tersebut disebabkan beberapa alasan. Menurutnya, tidak semua media arus utama bisa dijadikan rujukan. Pasalnya, di media arus utama selalu ada kepentingan bisnis dan berbagai kepentingan lainnya. Untuk itu, ia mendukung para penggiat media komunitas untuk terus berpartisipasi dalam menyebarkan informasi yang bermanfaat bagi publik. “Kami mendorong media alternatif (media komunitas-red) karena waktunya bagi teman-teman untuk membuat konten positif sebanyak mungkin,” tandas Suwarjono yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi itu.
Terkait dengan regulasi, Suwarjono menyarankan diselenggarakannya diskusi lebih lanjut tentang kemungkinan dirancangnya RUU Media Baru. Menurutnya, UU Penyiaran dan UU Pers sudah mulai tidak relevan dalam konteks media baru. Beberapa negara maju sudah menerapkan UU konvergensi media untuk mengakomodasi fenomena baru di dunia jurnalisme digital. Di Australia, Suwarjono mencontohkan, sudah dijalankan UU konvergensi media yang mencakup semua platform media. UU tersebut memberikan jalan keluar bagi setiap problem yang dihadapi. “Ke depan, kalau kita semua sudah (memasuki era) digitalisasi, standar-standar lama akan terasa ketinggalan,” jelasnya.
Agar bisa bertahan, media komunitas tetap harus punya pendapatan. Suwarjono mencontohkan media komunitas di Aceh yang ia dorong untuk menerapkan pendanaan dengan melibatkan masyarakat atau crowdsourcing. “Jadi media komunitas yang dibiayai oleh warga, mereka urunan untuk menghidupi itu,” paparnya. Beberapa negara telah menerapkan sistem crowdsourcing ini, termasuk laman referensi Wikipedia. “Ini (crowdosourcing) yang bisa mendorong agar media komunitas masuk ke standar agar teman-teman bisa masuk ke langkah selanjutnya,” urainya.
Berbeda dengan Suwarjono, Imung mengungkapkan, kerelawanan serta prinsip nonprofit yang diterapkan media komunitas justru menjadi kekuatan tersendiri. Dalam perspektif perusahaan pers arus utama, hal tersebut memang kerap dilihat sebagai kelemahan. Namun demikian, bagi media komunitas, kondisi tersebut justru merupakan keunggulan. Dengan prinsip nonprofit dan tidak mencari keuntungan, menunjukkan bahwa media komunitas tidak disetir oleh kepentingan modal, pasar, maupun politik praktis. “Justru jiwa kerelawanan dan semangat nonprofit yang menjadi peluang, menjadi andalan, menjadi kekuatan dari media komunitas. Kalau (prinsip) itu digeser, habis! Sekali saja jurnalis warga dibayar, kredibilitasnya di mata komunitas yang melayani komunitasnya akan hilang karena dia sudah menerima sesuatu dari apa yang dikerjakan,” tegasnya.
Terlepas dari berbagai pendapat tentang kebijakan sertifikasi media oleh Dewan Pers, Mario Antonius Birowo mengungkapkan kekhawatirannya terkait imbas kebijakan sertifikasi media toleh Dewan Pers terhadap media komunitas. “Bahasa yang muncul nantinya, media yang punya kompetensi adalah yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Padahal banyak bukti bahwa media komunitas cukup kredibel,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta tersebut.
Menurutnya, selama ini Dewan Pers masih cukup kaku untuk membahas tentang hadirnya media non-arus utama. Anton lantas menyarankan agar dukungan Dewan Pers terhadap media komunitas dapat dinyatakan secara terbuka. Lebih lanjut, perlu ada pembahasan antara asosiasi media komunitas dan Dewan Pers untuk mengakui keberadaan pemain-pemain di luar media arus utama. “Tadi dikatakan, jangan khawatir kalau tidak tersertifikasi oleh Dewan Pers akan otomatis mati. Tapi siapa yang harus menjelaskan bahwa media yang tidak tersertifikasi oleh dewan pers bukan media abal-abal?” pungkas Anton.
Diskusi “Media Komunitas Melawan hoaks” diselenggarakan oleh Combine Resource Institution. Ada empat pembicara dalam diskusi tersebut, yakni Ahmad Rofahan (penggiat media komunitas Jingga Media), Ahmad Djauhar (Wakil Ketua Dewan Pers), Imung Yuniardi (Direktur Combine Resource Institution), dan Suwardjono (Ketua AJI Indonesia). Diskusi tersebut dihadiri oleh para penggiat media komunitas, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.
*Staf Suara Warga CRI