Mencari Hidup dari Kaleng Bekas

Oleh Supriatna

Siapa yang mau peduli dengan kaleng bekas yang terserak di tempat sampah? Tapi bagi Ayi Rahmat (43), warga Kampung Baru, Desa Sangkanhurip, Katapang, Bandung kaleng bekas mempunyai nilai ekonomi dan berpotensi menggerakkan sektor ekonomi kerakyatan. Jika ada warga sekitar yang mempunyai kaleng-kaleng bekas tak terpakai, Bapak Ayi Rahmat siap menampungnya dan mengelolanya menjadi bahan baku.

Awalnya, ia membidik potensi untuk menyediakan bahan baku bagi para perajin gesper, tutup botol, dan kancing yang ada di daerahnya. Ia pun lalu melirik kaleng bekas yang ada di sekitarnya. Menurutnya, dengan memanfaatkan kaleng bekas, selain lingkungan bisa lebih bersih, warga pun bisa memperoleh penghasilan. Ia lalu menghimpun kaleng bekas yang dibelinya dengan harga Rp 1.000/kg.

Kaleng-kaleng bekas yang sudah ditampung tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan serbuk atau sampah bekas penggergajian kayu. Setelah bersih, kaleng tersebut dipotong sesuai pesanan atau barang yang akan dibuatnya. Biaya pencucian, pembelian sampah penggergajian kayu serta biaya pemotongan mencapai Rp 850/kg. Kalengkaleng yang sudah bersih dan dipotong sesuai pesanan itu, dijual dengan harga Rp 2.000/kg, sedangkan sisa –sisa potongannya di jual kembali ke penampung barang bekas seharga Rp 400/kg. Dari pengelolaan kaleng bekas tersebut, Ayi Rahmat mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.350/kg. Sedangkan setiap hari ia bisa memroduksi sekitar 10 sampai 20 kg, tergantung jumlah pesanan serta bahan baku yang terkumpul. “Mengelola kaleng-kaleng bekas ini sudah saya tekuni sejak empat tahun yang lalu, walau tidak seberapa hasil penjualannya, namun ini adalah contoh kepada masyarakat bahwa mereka bisa mengolah kembali barang bekas sehingga jangan dibuang sembarangan,” tutur Ayi Rahmat, penampung kaleng bekas sekaligus ketua RW di dusun tersebut.

Dalam pengelolaan serta penyaluran kalengkaleng bekas tersebut Ayi Rakmat bekerja sama dengan Dede, salah satu perajin yang menggunakan kaleng bekas. Hasil kerja sama tersebut ternyata membuka peluang lapangan pekerjaan baru bagi orang lain di desanya.

Kaleng bekas disulap jadi barang baru
Di tangan Dede, kaleng bekas tersebut diolah menjadi gesper, tutup botol, serta kancing jaket atau blue jean, dan lain-lain. Berawal dari sulitnya mencari lapangan pekerjaan, Dede berusaha untuk keluar dari kemiskinan yang melilitnya. Ia pun diberi kepercayaan oleh seseorang bernama Jonny dari Cigonewa untuk mengelola empat mesin matres, dengan perjanjian hasil produksinya akan dijual kepadanya. Untuk modal, ia meminjam ke koperasi dan membongkar tabungannya, yang total nilainya sebesar Rp 13 juta.

Dari modal itulah ia membeli bahan baku dan biaya operasional untuk kegiatan produksi. Dalam perjalanannya Dede mengalami jatuh bangun agar bisa bertahan dan terus berproduksi. Menurutnya hasil yang didapat memang belum maksimal, tetapi tidak dipungkiri ia sudah mampu mengembangkan usaha ini. “Saya sekarang sudah mempunyai enam mesin matres (jegong) dengan status milik sendiri, dan sekarang bisa mempekerjakan orang lain sebanyak enam orang, walaupun gajinya masih jauh dibawah UMK Kabupaten Bandung. Hal ini memang saya sadari tapi ya…. hanya sebatas itu yang saya mampu…dan mereka pun cukup menyadarinya, tidak banyak tuntutan lain-lain, yang penting mereka bisa kerja,” ungkap Dede.

Dede biasanya mendapat pesanan dari agen-agen yang menyalurkannya kepada pabrik konveksi. Menurutnya, proses produksi pengelolaan kaleng bekas tersebut sangat tergantung dari pesanan atau banyaknya order yang didapat. Tiga bulan mendekati bulan puasa atau lebaran merupakan waktu membanjirnya pesanan. Yang paling banyak adalah pesanan kancing baju yang mampu menghasilkan 400 ribu kancing dalam sebulan. Harga jualnya pun murah, yaitu berkisar antara Rp 8 juta dengan keuntungan bersih sekitar Rp 800 ribu saja.

Sama seperti persoalan pengusaha kecil lainnya, maka Dede mengakui bahwa modal merupakan hambatan utama untuk mengembangkan usaha. Hal ini dirasakan ketika para agen memesan produk dalam jumlah banyak dan batas waktu yang pendek, maka sebenarnya dibutuhkan modal kerja tambahan. Tetapi sampai saat ini belum ada solusinya. “Kita harap ada yang bisa membantu kami, sehingga masalah modal ini bisa teratasi dan usaha kami semakin berkembang,” tandas Dede mengakhiri pembicaraan. Siapa yang tertarik menanamkan modal? ***

Supriatna adalah pengelola Radio Komunitas PASS, Bandung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud