Radio komunitas sering dianggap penganggu. Bagi radio swasta pemerintah yang lainnya. Tapi, jangan salah banyak juga lho gunanya radio komunitas buat warga.
Belakangan ini muncul fenomena menarik. Pasca 98 ketika kran kebebasan mulai dibuka, radio-radio tanpa ijin alias radio gelap pun bermunculan. Ada yang memang berawal dari hobby, tapi tak jarang muncul yang radio yang punya misi tersendiri. Radio inilah yang belakangan mulai ramai diperbincangkan. Radio komunitas, begitu ia biasa disebut- mulai menjamur di belahan bumi Indonesia. Deklarasi Jaringan Radio Komunitas wilayah Jawa Barat saja dihadiri tidak kurang dari 18 radio komunitas, itu baru di Jawa Barat. Kalau ditambah daerah lainnya, bisa jadi jumlahnya ikut membengkak.
Tapi kenapa sih orang berminat untuk membangun sebuah radio komunitas? Menurut Nasir, salah satu pengelola buletin dan radio Angkringan di Timbulharjo, Yogyakarta, kesenjangan informasi menjadi salah satu penyebab. Apalagi banyak informasi yang tidak diliput media massa umum karena dianggap tidak menarik atau terbatasnya tempat. “Kalau presiden korupsi ada media nasional yang berbicara, bupati yang nyeleweng ada media daerah yang meliput, nah kalau lurahnya yang korup, siapa yang mau memuatnya?” tanya Nasir tegas. Intinya dibutuhkan media yang memeberi ruang bagi warga untuk membicarakan masalah sendiri. “Ada banyak ruang kosong karena keterbukaan politik pasca Soeharto, yang sekarang diisi oleh media komunitas, termasuk radio”, ujar Martinus Ujinato dari Forum LSM Yogya. Ruang itulah yang dulu direpresi negara.
Apalagi di Indonesia sendiri jumlah siaran radio dan televisi tidak memadai. “Nggak seimbang dengan jumlah penduduknya,” ujar Hinca P. Pandjaitan dari Indonesia Media Law and Policy Center (IMPLC). Idealnya, untuk 200 juta penduduk , minimal ada seribu TV dan sepuluh ribu radio yang mengudara. Nah, keberadaan radio komunitas justru memperkaya jumlah dan isi siaran radio yang ada. “Ini mendukung demokratisasi informasi,” tambah Hinca lagi.
Meski sifatnya lokal, namun kiprahnya nggak bisa diremehkan. Seperti layaknya media massa umum, radio komunitas mengemban banyak fungsi, dari mulai kontrol sosial sampai hiburan. Dari mulaj menyiarkan pengumuman sampai menengahi konflik. Nggak percaya? Tengok aja apa yang dilakukan Radio Simpang Tiga alias Rasi di Cisewu Garut. Dengan mengumumkan penerima bantuan bagi warga miskin di radio Rasi, warga bisa mengawasi siapa saja yang berhak menerima.
“Waktu itu ada istri kepala desa yang tercatat menjadi calon penerima bantuan,” ujar Kokon, salah satu pengelolanya. Ujung-ujungnya warga protes, dan penyimpangan pun bisa dihentikan. “Kita memang ingin jadi radio yang kritis, yang berpihak ke rakyat,” tambah Dasep, pengelola lainnya berapi-api.
Tak cuma jadi anjing penjaga seperti yang dilakukan Radio RASI, radio komunitas juga bisa memainkan peran lain. Radio Abilawa yang bermarkas di Kecamatan Cipeundeuy, Subang misalnya cukup sukses meredam tawuran yang memang marak. Sejak berdirinya Radio Abilawa tawuran antar warga nyaris tidak pernah terjadi.”Padahal dulu dangdutan pun dilarang polisi karena selalu ribut,” ujar Asep, pengelola radio Abilawa, “Maklumlah daerah preman,” ujarnya lagi tertawa.
Padahal, jurus sakti meredam tawuran tergolong simpel. “Kita jadikan ruang siaran sebagai tempat bertemu,” kataAsep. Siapa yang mau mengirim salam harus datang langsung ke radionya. Mau tidak mau disana mereka bertemu, “Tapi mungkin malu berantem di radio,” ujarnya lagi. Walhasil mereka pun saling berkenalan dan ujung-ujungnya bisa nongkrong bareng plus salam-salaman di udara. “Tawuran pun nggak pernah ada lagi,” kata Asep tertawa.
Tapi tidak sembarang radio mampu melakukan peran itu, “Untuk menjadi mediator, radio harus menjadi ruang interaksi antar warga,” ujar Kukuh Sanyoto, pemerhati masalah komunikasi.
Beberapa radio komunitas di Afrika Selatan juga terbukti cukup sukses meredam konflik. Untuk itu syaratnya mudah, “Biarkan warga bicarakan masalahnya, jika ada pertentangan juga harus didiskusikan, dan untuk itu radio harus bisa diakses semua orang, tanpa kecuali,” tukas mantan pembawa berita RCTI ini tegas. Radio yang bisa diakses semua orang adalah salah satu cirri yang membedakannya dengan radio-radio komersial lainnya.
“Radio komunitas memang dari warga, untuk warga,” ujar Gagan dari radio Cibangkong, Bandung. Cirinya bisa jadi adalah adanya pertanggungjawaban terhadap warga plus keleluasaan bagi warga untuk mengakses, “Untuk nyumbang siaran, ikut ngomong, atau hanya sekedar salam-salaman di udara,” ujar Gagan.
Menunjang Ekonomi Desa
Tak cuma itu, radio komunitas ternyata juga berpotensi merangsang ekonomi pedesaan, misalnya saja lewat ikian-iklan kelas desa.”Syaratnya usaha dilakukan murni oleh warga dan sesuai dengan visi radio tersebut,” ujar Iwan dari radio Kemala, Ciwidey tegas. Jadi jangan heran kalau radio komunitas berani menolak ikian perusahaan-perusahaan besar karena tak memenuhi syarat, meski uangnya cukup besar.
“Kita baru saja menolak ikian sebuah perusahaan penyalur pupuk organik,” tukas Sukino dari Suara Petani Klaten. Pasalnya sederhana, pupuk yang dijual ternyata bukan pupuk organik. “Cuma campuran pasir dan masih mengandung zat kimia.” tuturnya lagi. Produk macam itu bagi Radio Suara Petani layak ditolak karena salah satu i-nisi radio ini adalah memasyarakatkan pertanian organik lewat pemakaian pupuk organik.
Hal yang sama juga terjadi di Radio Kemala. Baru-baru ini mereka menolak ikian perusahaan penyalur tenaga kerja. Alasannya, ikian tersebut sudah ditayangkan oleh beberapa radio swasta.”Kita nggak mau jadi komersil, lalu apa bedanya kita sama radio swasta,” ujar Iwan tinggi. Sebagai gantinya mereka menayangkan ikian sebuah toko besi yang ada di sana.
Nah, dengan seabreg potensi tentu aneh rasanya jika keberadaan radio komunitas masih saja dicurigai. Jika selama ini warga hanya boleh mendengar, sekarang sudah saatnya warga ikut bicara. Dan radio komunitas bisa jadi salah satu medianya.