Oleh Ade Tanesia
Bagi seorang ibu, kesehatan anak adalah hal yang teramat penting.Tak terbayangkan wajah sang ibu ketika anaknya mulai mengalami demam disertai batuk. Biasanya tanpa tedeng aling-aling, mereka langsung mencari dokter terdekat dan menebus resep obat di apotek. Dengan tulisan dokter yang masih saja sering kali seperti cakar ayam, orang tua pun sungguh percaya pada obat yang diberikan oleh sang dokter. Ketika sang dokter sedang menulis resep, orang tua yang hendak bertanya sering kali tidak ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Pokoknya pasien harus menerima dan membeli obat yang tertera pada resep. Padahal, sebagai konsumen, mereka berhak mengetahui informasi sedetail mungkin yang berhubungan dengan kesehatan anaknya. Berangkat dari kondisi yang secara umum telah dimaklumi, sejumlah dokter yang tergabung dalam Yayasan Orang Tua Peduli mendirikan sebuah website berisi mengenai pendidikan kesehatan anak untuk orang tua.Tidak berhenti di website, mereka juga mempunyai mailing list [email protected]. Mailing list yang awalnya hanya beranggotakan 21 orang, kini telah mempunyai 3.000 anggota. Melalui mailing list ini para ibu bisa bertanya apa pun
seputar kesehatan anak,termasuk menanyakan kembali resep obat yang diberikan oleh dokter. Semua keluhan ini ditanggapi oleh dokter-dokter ahli anak yang salah satu visinya adalah meminimalkan pemakaian obat antibiotik pada anak.
Kisah di atas mempeHihatkan peran dari teknologi informasi dan komunikasi pada bidang kesehatan. Melalui internet, masyarakat kini bisa berkonsultasi langsung dengan dokter secara gratis. Para ibu tidak perlu mengeluarkan ongkos ke dokter. Cukup hanya duduk di depan komputer, ia bisa membicarakan kekhawatirannya kepada dokter
dan berbagi pengalaman dengan para ibu lainnya secara online. Namun sayangnya, akses kesehatan semacam ini hanya bisa dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu. Persoalan akses informasi bukan hanya di tingkat masyarakat, bahkan kalangan kedokteran masih membutuhkan banyak pengetahuan untuk menolong masyarakat. Untuk soal yang satu ini kita bisa belajar dari Rumah Sakit Anak The Tygerberg di Afrika Selatan yang merancang proyek “Rotary Telemedicine”.
Proyek ini menghubungkan dokter spesialis dari Rumah Sakit Tygerberg dengan dokter-dokter umum di rumah sakit tingkat kabupaten dan kecamatan.Tujuannya untuk meningkatkan kondisi kesehatan di kawasan pedesaan. Proyek ini diluncurkan pada tahun
1999. Ketika pemerintah yang demokratis terpilih di Afrika Selatan, pada tahun 1994, salah satu persoalan besar yang harus diselesaikan adalah tidak meratanya akses masyarakat pada pelayanan kesehatan. Sebelumnya di bawah rezim apartheid, dana
kesehatan publik biasanya hanya mengalir ke rumah sakit di area perkotaan dan hanya melayani kelompok minoritas, yaitu kaum kulit putih. Pemerintah baru lalu berinisiatif untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh rakyat di berbagai
pelosok. Dalam kenyataannya, mendirikan rumah sakit bukan jalan keluar tanpa adanya dokter-dokter spesialis di daerah pedesaan. Mengatasi persoalan ini, Rumah Sakit Tygerberg lalu mencari jalan keluar untuk menolong dokter-dokter umum di pedesaan. Adalah Dr Etienne Nel dan Profesor Robert Gie dari Rumah Sakit Anak Tygerbeg membangun sistem telemedicine. Sistem ini menggunakan komputer Pentium 4, printer, scanner, software, digital camera, dan alat untuk melihat x-ray. Perangkat ini lalu dikoneksikan ke rumah sakit di kabupaten sehingga dokter bisa mengakses informasi dan
berkomunikasi selama 24 jam. Dokter di kabupaten bisa mengirimkan hasil rontgen, cek darah, foto digital, dan observasi klinis ke dokter spesialis di Rumah Sakit Tygerberg. Lalu, di sana ada satu orang yang memonitor setiap e-mail dan secara langsung akan menyerahkan dokumen ke dokter spesialis yang relevan. Kemudian dokter spesialis akan menganalisa informasi dan langsung memberikan diagnosa dan apa saja yang harus dilakukan oleh dokter di tingkat kabupaten. Seandainya membutuhkan respons yang cepat, mereka bisa mengirimkan SMS ke telepon seluler dokter spesialis.
Ada pula proyek “AfriAfya”–Jaringan Afrika mengenai Manajemen Pengetahuan dan Komunikasi Kesehatan–yang berdiri pada tahun 2000. Mereka bekerja dengan berbagai komunitas di Afrika dan membangun sistem komunikasi dua arah yang memungkinkan
terjadinya pertukaran informasi di antara mereka. AfriAfya telah menggunakan kombinasi teknologi seperti satelit, radio, video, cetak, komunikasi elektronik melalui e-mail, SMS, CD Rom, telepon, media pertunjukan, dan cerita rakyat untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi mengenai kesehatan, khususnya soal HIV/AIDS.
Dua contoh kasus di atas membuat kita bertanya-tanya, bagaimana dengan negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya belum mampu mengakses teknologi informasi dan komunikasi seperti internet? Sekali lagi kita bisa belajar dari program WHO (World Health Organization) yang bernama “Blue Trunk Library”. WHO menyadari bahwa di berbagai belahan ditnia akses internet masih sangat sulit. Di negara berkembang, mayoritas populasinya, termasuk para pekerja kesehatan, tidak mempunyai akses terhadap internet. Bahkan material cetak seperti buku, surat kabar, sering kali sulit diperoleh. Dalam situasi semacam ini, para pekerja kesehatan lebih banyak mengandalkan pengetahuan dari pelatihan untuk merawat pasien, mencegah penyakit, dan memromosikan hidup sehat. Di kebanyakan negara berkembang, pekerja kesehatan adalah suster, bidan yang baru menyelesaikan studi mereka sehingga masih membutuhkan banyak pengetah.uan. Kendalanya perpustakaan pun masih sangat minim. Distribusi materi pendidikan kesehatan melalui CD ROM ke negara berkembang sebenamya sangat bagus karena tidak mahal. Sayangnya banyak daerah yang tidak mempunyai aliran listrik. Jadi walaupun perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi berkembang pesat, tetap ada jurang antara yang mempunyai dan yang tidak mempunyai akses. Di area seperti ini, solusi yang tepat untuk akses informasi adalah materi cetak. Sebagai respons terhadap kebutuhan ini, perpustakaan WHO menciptakan proyek perpustakaan Blue Trunk.
Ide ini berangkat dari kesimpulan survei yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan dan kantor WHO di Guinea untuk melanjutkan pendidikan kesehatan bagi pekerja kesehatan yang bekerja di wilayah kabupaten dan pedesaan. Perpustakaan WHO lalu diminta untuk
mengompilasi koleksi bukunya dan menyesuaikannya dengan kebutuhan informasi para pekerja kesehatan. Perpustakaan WHO ini dimulai pada tahun 1998 dan Guinea adalah negara pertama yang mendapatkan fasilitas tersebut, kemudian diperluas ke negara Afrika lainnya. Blue Trunk Library (BTL) adalah dokumentasi modul yang siap pakai. Materi informasi ini diatur agar pengguna dapat secara mudah mengidentifikasi informasi yang mereka butuhkan. Empat belas topik telah dipilih, di antaranya adalah kesehatan masyarakat, pengetahuan kedokteran, dan perawatan secara umum. Para pekerja kesehatan belajar dari perpustakaan tersebut dan lebih optimal untuk melayani kesehatan masyarakat.
Indonesia yang masih menjadi bulan-bulanan beragam virus, dari mulai flu burung, demam berdarah, sampai HIV/AIDS masih belum memiliki infrastruktur penyebaran informasi kesehatan yang cukup kuat. Akibatnya masyarakat kadang belum memahami
bagaimana harus mencegah penularan virus. Cara berpikir “yang kena virus orang lain kok” juga sering membuat lengah. Untuk Indonesia, saya pikir bukan hanya persoalan minimnya akses masyarakat terhadap informasi kesehatan, tetapi juga bagaimana informasi itu dikemas sehingga bisa diterima masyarakat.Tidak heran jika ada pendapat bahwa kampanye-kampanye kesehatan lebih baik bersifat lokal dengan menggunakan bahasa dan simbol-simbol lokal. Siapa yang tertantang untuk melakukannya?