Tulisan ini diilhami dari pengalaman penulis sewaktu bergabung dengan salah satu institusi lembaga nonprofit di Yogyakarta. Apa yang ingin disampaikan dalam tulisan ini hanyalah refleksi pribadi dan hasil tukar gagasan informal dengan beberapa kawan serta didukung pengamatan penulis dalam melihat kejadian sehari-hari.
Kita semua tahu bahwa semua orang menginginkan prestasi kerja yang tinggi. Dalam kenyataannya tidak semua orang mampu mencapai prestasi kerja yang tinggi itu. Tetapi tidak jarang seseorang telah merasa mencapai prestasi tinggi, orang lain menilainya biasa-biasa saja, atau bahkan menganggap tidak berprestasi apa-apa. Ada juga memang seseorang yang tidak merasa berprestasi, tetapi orang lain melihatnya bahwa dia itu telah berprestasi.
Dalam pandangan sehari-hari tolak ukur prestasi tidak jarang dikaitkan dengan tingkat ekonomi ataupun status sosial seseorang. Bagi yang ekonomi termasuk kategori berada di atas rata-rata dan tidak termasuk orang kebanyakan, maka dia dicap sebagai orang yang berprestasi. Padahal tidak selamanya demikian, sebab cukup banyak kasus seseorang hidup dengan tingkat ekonomi yang lumayan, tidak lain karena warisan orang tua. Sebaliknya tidak dengan sendirinya orang yang ekonominya di bawah rata-rata lantas dikatakan tidak berprestasi.
Demikian juga dalam status sosial, orang yang status sosialnya tinggi lantas dianggap berprestasi. Namun terkadang, ada juga orang yang status sosialnya baik hanya karena senioritas dalam pergaulan kemasyarakatan.
Dalam sebuah organisasi (baik profit maupun nonprofit), seseorang dianggap berprestasi apabila ia mampu mencapai target-target yang ditetapkan, dalam kurun waktu tertentu dan dengan sistematika kerja yang jelas. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mampu mencapai target, tidak mampu bekerja dengan sistematika yang jelas, maka ia dianggap tidak berprestasi.
Berawal dari ungkapan di atas, maka menurut penulis dalam hal mencapai prestasi ada dua hal kecenderungan manusia, pertama prestasi atas inisiatif sendiri dan kedua atas dorongan orang lain.
Seorang yang mampu mencapai prestasi tinggi atas inisiatif sendiri (internal), biasanya adalah orang-orang yang biasanya aktif, dinamis, ingin selalu memperoleh kepuasan baru, ingin selalu berkembang, ingin memperoleh panghargaan yang tulus, menuntut kebebasan bertindak dan sebagainya. Sedangkan orang yang meraih prestasi atas dorongan orang lain (eksternal), cenderung memilih pekerjaan yang ringan, tidak susah, bila perlu baru akan mengerjakannya setelah diberi contoh, atau kalau perlu ditekan dengan ancaman.
Mana yang lebih berpengaruh, apakah faktor internal, atau faktor eksternal memang agak sulit memisahkannya. Tetapi diyakini bila seseorang secara kejiwaan mempunyai semangat untuk berprestasi yang tinggi, dengan ciri kerja yang serius dan sungguh-sungguh, maka ia akan lebih mudah mewujudkan prestasi tingginya, ketimbang orang yang tidak memunyai kejiwaan prestasi. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa seseorang yang potensial berprestasi, tetapi kurang dirangsang oleh orang lain, maka potensi itu akan tetap terpendam sebagai potensi.
Betapapun tingginya rangsangan dari luar, tanpa didorong oleh faktor internal untuk berprestasi, kiranya sulit prestasi itu akan tercapai. Artinya faktor kejiwaan jauh lebih penting, karena merupakan inti penggerak tingkah laku manusia. Intinya, penumbuhan kejiwaan secara internal dalam diri seseorang yang selalu berorientasi kepada prestasi, sangat efektif ditumbuhkan dan dikembangkan sejak dini. Untuk itu faktor ketepatan pendekatan dan strategi pendampingan kepada staf seharusnya menjadi perhatian utama para pelaku di manajemen tingkat atas, direktur misalnya.
Haryana, Kontributor lepas Kombinasi
Beberapa macam cara diakukan orang untuk mengaktualisasikan dirinya, tapi….beruntunglah orang yang punya inisiatif, namun inisiatif belum tentu sama dengan garis lurusnya…
Lebih dekat mungkin lebih baik untuk menggapai prestasi.