Oleh Budhi Hermanto
Kemunculan televisi komunitas di Indonesia, sebagai salah satu bentuk media komunitas, tidak terlepas dari situasi politik pascatumbangnya Orde Baru. Seiring dengan era keterbukaan tersebut, dinamika media mengalami perubahan setelah bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim itu. Pada masa Orde Baru, media hidup di bawah kondisi politik yang represif. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik rezim. Akibatnya, fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dijalankan dengan baik.Sebelum iklim keterbukaan media di Indonesia terjadi, media dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun, hanya ada satu siaran televisi yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun milik pemerintah. Baru pada tahun 1990-an, muncul media televisi nasional, yakni RCTI dan TPI, yang ternyata kedua media televisi swasta tersebut dimiliki anak dan kerabat rezim yang berkuasa waktu itu. Proses diseminasi informasi berjalan timpang, karena bersifat sentralistik, dan top-down. Semua hal yang dilakukan pemerintah menjadi benar, tidak ada ruang untuk mengritisi kebijakan negara melalui media televisi.
Setelah reformasi bergulir, seiring kebijakan politik yang terjadi, media tumbuh bak cendawan di musim hujan. Departemen Penerangan pada era kepemimpinan Habibie telah memberikan izin bagi lima stasiun TV baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No 286/SK/Menpen/1999, sehingga akhirnya, khalayak pemirsa TV di Indonesia tersuguhi berbagai tayangan dari 10 stasiun TV swasta komersial dan satu stasiun TV publik (TVRI), menyusul dikemudian hari berbagai layanan TV berbayar (kabel).
Pesatnya pertumbuhan televisi di Indonesia dengan hadirnya berbagai tayangan di layar kaca, ternyata juga menyisakan sejumlah persoalan. Berbagai analisa dampak siaran televisi menunjukan adanya permasalahan yang cukup rumit. Kekerasan, seksualitas, dan berbagai tayangan di televisi, dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap menjadi penyebab kemerosotan moral dan kemanusiaan. Perilaku kekerasan, hedonisme, konsumerisme, dan hilangnya insting kemanusiaan pun tumbuh dan berkembang di kalangan kehidupan sosial sehari-hari warga masyarakat. Itu, merupakan cermin perubahan nilai yang mulai bergeser. Hal tersebut memang tak terhindari, ketika televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai melalui penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan (Mc Quail, 1996:3).
Merespon kondisi itu, para pegiat lembaga swadaya masyarakat yang berbasis media mendorong tumbuhnya media alternatif sebagai bagian dari upaya pendidikan melek media (media literasi). Media alternatif itu dikenal dengan sebutan media komunitas, yang salah satunya berupa televisi komunitas.
Grabag TV, misalnya, TV komunitas itu dipelopori oleh pegiat media komunitas yang kebetulan juga berprofesi sebagai dosen di FFT IKJ bernama Hartanto. Menurutnya, TV komunitas di Grabag, Magelang berfungsi tidak hanya bermanfaat memberikan akses informasi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, namun juga sebagai media aktualisasi warga dalam pengembangan seni-budaya lokal dan pendidikan.Beberapa program siaran yang ditayangkan melalui Grabag TV berisi tentang aktivitas kehidupan masyarakat sekitar, seni pertunjukan lokal, dan memberikan kesempatan pada siswa-siswa sekolah sekitar untuk berekspresi melalui TV komunitas.
Dalam sebuah diskursus tentang TV komunitas yang difasilitasi oleh Kelompok Kerja (Pokja) TV Komunitas Indonesia di Yogyakarta, muncul perdebatan tentang batasan komunitas. Sebagian pegiat TV komunitas mengatakan bahwa batasan komunitas adalah pendekatan geografis (wilayah) sesuai dengan satu aturan perizinan pendirian lembaga penyiaran komunitas yang menyaratkan adanya dukungan 250 warga dewasa yang berdomisili di sekitar stasiun TV komunitas itu berada. Sementara bagi pegiat TV komunitas yang berbasis sekolah/kampus memiliki cara pandang yang berbeda. Kedua perbedaan pendapat itu mengerucut pada satu kesamaan visi, di mana TV komunitas sebagai media alternatif harus berperan dalam memberdayakan komunitasnya. Baik itu berbasis sekolah/kampus atau warga, kesemuanya memiliki tanggung jawab sosial pada komunitasnya. Di mana, warga tidak hanya menjadi “penonton” tayangan televisi, namun juga berperan sebagai subjek atau pelaku TV komunitas itu sendiri.
Maka salah satu ciri dari TV komunitas sebagai lembaga penyiaran komunitas adalah keberadaan lembaga penyiaran dari, oleh, dan untuk komunitasnya. Istilah lain adalah sebagai media partisipatif yang menyaratkan keterlibatan komunitas di dalamnya. Semakin banyak keterlibatan warga dalam lembaga penyiaran komunitas (diversity of ownership), akan mendorong adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) yang semakin baik.
Keberadaaan TV komunitas jika terkait dengan regulasi pemerintah, saat ini belum menggembirakan. Implementasi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran banyak ditentang, khususnya oleh kalangan industri penyiaran (televisi komersial) karena dianggap menghambat “bisnis” para konglomerat media di Indonesia karena harus berjaringan, larangan monopoli, dan berbagai aturan peralihan yang dianggap bisa menghambat laju bisnis mereka.
Sementara, bagi kalangan masyarakat sipil prodemokrasi, UU Penyiaran merupakan keniscayaan agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat reformasi. Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat yang cukup efektif. Media juga mampu mengonstruksi realitas sosial (Malik, 1997:15), sehingga bisa memengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku massa. Oleh karena itu, kepemilikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada mekanisme kontrol terhadapnya. Dikhawatirkan kepemilikan yang dimonopoli oleh kalangan pebisnis terhadap media penyiaran, akan menjadikan media itu sebagai katup pengaman bisnisnya dari kritikan masyarakat. Beberapa fenomena sosial, misalnya, kasus lumpur Lapindo di Pasuruan, Jawa Timur membuktikan hal itu. Salah satu televisi swasta di Indonesia sangat jarang memberitakan soal Lapindo, dan bahkan tidak pernah menyebut kata “Brantas”, karena dianggap terlalu “dekat” dengan induk perusahaan tempat stasiun televisi tersebut bernaung.
Salah satu semangat dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, adalah desentralisasi penyiaran, di mana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai/norma setempat. Undang-undang itu juga memberikan celah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Pendek kata, masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi objek penyiaran, namun bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran. Salah satu poin penting bagi masyarakat adalah ketersediaan aturan mengenai media penyiaran bagi mereka. Menurut UU tersebut, keberadaan Lembaga Penyiaran Komunitas (TV dan radio komunitas), bersanding dengan tiga lembaga lain yakni Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI), Lembaga Penyiaran Swasta (radio dan TV swasta), serta Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Carut-marut regulasi penyiaran di Indonesia semakin panjang, setelah silang sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Depkominfo, tentang pembagian kewenangan dan diberlakukannya beberapa peraturan pemerintah yang dianggap bertolak belakang dengan semangat dalam UU Penyiaran tersebut di atas.
Kemunculan televisi komunitas, sesungguhnya merupakan tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Media komunitas hadir sebagai wujud pendidikan literasi media, setelah pada masa sebelumnya (Orde Baru dan pascareformasi), masyarakat terpinggirkan dalam penggunaan frekuensi sebagai bagian dari ranah publik. Jika pada masa Orde Baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton dan objek sasaran penanaman ideologi politik otoritarianisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian menjadi objek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku konsumtif oleh media-media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subjek yang memilah, memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
TV komunitas diharapkan menjawab ketimpangan yang terjadi sekarang. Di mana, perkembangan media seharusnya diikuti oleh tuntutan kepada media itu untuk memiliki suatu tanggung jawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media perlu disertai tanggung jawab sosial dan kecenderungan berorientasi pada kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok (Wibowo, 1997: 58).
Karena itulah, TV komunitas harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Media komunitas itu diharapkan juga mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi dan kontrol sosial, selain memberikan akses kearifan bagi budaya lokal. TV komunitas hadir sebagai media pemberdayaan bagi warga sekitar. Ia memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat tentang hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, hiburan yang mendidik, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, perekat sosial, hingga penghargaan terhadap kebudayaan serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat.
Melalui TV komunitas, khalayak pemisa TV bukan hanya menjadi objek sasaran siaran televisi, melainkan juga sebagai subjek dan terlibat dalam program siaran televisi komunitas. Khalayak pemirsa menentukan isi siaran yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya setempat. Pendek kata, kedaulatan media komunitas berada di tangan khalayaknya. Jika selama ini khalayak pemirsa TV hanya mampu menjadi penonton, melalui TV komunitas mereka berkesempatan untuk berekspresi, memberikan nilai dan penghargaan pada entitas lokal, sekaligus menilai, menganalisis, serta memilah informasi dan hiburan yang disajikan oleh televisi komunitas. ***
Daftar bacaan:
1.MC Quail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 1996.
2.Malik, Dedy Jamaluddin, Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah, Bentang, Yogakarta, 1997.
3.Wibowo, Fred, Dasar-dasar Produksi Program Televisi, Gramedia, Jakarta, 1997.
4.Berita Kompas 30/5/2007, TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan Informasi.
5.Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
6.Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas.